A-Mature: Amateur and Mature

Hampir 2,6k kata. Enjoy


Menikah. Satu hal yang tidak pernah Johnny Satya bayangkan di usia muda, lalu tiba-tiba menjadi prioritasnya kala menemukan tambatan hati yang tepat. Johnny bukan penggila kerja, hanya melakukan pekerjaan sesuai tugasnya dengan harapan masih menyempatkan untuk me time. Di waktu sengang itu Johnny tidak terpikirkan untuk mencari jodoh. Bukan karena dia belum melupakan cinta lama—yang sekarang sudah sirna—hanya sulit menemukan yang klik di hati karena semua perempuan di sekitarnya terlihat sama. Menarik, tapi membosankan.

Hingga di satu malam Johnny bertemu dengan seorang perempuan yang tidak terduga, adik sepupu rekannya. Menarik dan membuatnya penasaran. Lebih menarik lagi kala Johnny merasa klik hanya dalam satu pertemuan dengan perkenalan singkat, yang mungkin bagi perempuan itu bukanlah hal spesial. Namun, lain bagi Johnny yang sulit menghapus memori satu malam di hati.

Durasi singkat yang tertanam sempurna hingga Johnny tidak mau basa-basi. Dia nekat bertemu orang tua perempuan itu yang awalnya langsung memperjelas bahwa dia ingin mempersunting putri tunggal mereka, lalu berubah menjadi izin untuk mendekatkan diri sebagai langkah awal menuju hubungan lain. Suka dan duka sudah dicecap. Pernah hampir berpisah, hingga akhirnya saling terikat.

Judy Keandra namanya, yang kini telah resmi menjadi istrinya. Perempuan yang bertaut enam tahun dengan dirinya itu kini tengah sibuk merapikan bukunya ke dalam rak. Tubuh mungilnya berpindah dari kardus menuju rak, begitu seterusnya yang betah dipandang oleh Johnny Satya.

Pria itu duduk anteng di tepi kasur, memperhatikan gerak-gerik sang istri yang gesit tanpa penat. Sudah beberapa kali Johnny menawarkan bantuan, tapi ditolak dengan alasan itu adalah bukunya. Jadi nantinya Keandra akan tahu harus diletakkan di mana saja agar mudah diambil. Kalau dihitung, ini baru dua hari mereka menjadi suami istri. Hari pertama setelah resmi mengikat janji suci dan bermalam di rumah orang tua Keandra. Hari kedua—yaitu hari ini—Keandra diangkut ke kediaman Johnny untuk menjadi tempat tinggal barunya.

“Sebenernya kamu bisa beresin itu nanti, lho,” ujar Johnny yang tidak tahan hanya duduk pasif dan menghampiri sang istri. “Ini udah malem. Mendingan kamu istirahat.”

“Bentar lagi, ya,” balas Keandra selagi menghitung jumlah bukunya yang ada di kardus. “Tinggal sepuluh buku, setelah itu beres.”

Keandra meraih dua buku sekaligus, lalu memandang rak buku Johnny yang sudah terisi penuh di bagian bawah—bagian yang mudah Keandra akses dengan tinggi badan rata-ratanya. Keandra memandang Johnny dengan tatapan jail, membuat yang ditatap malah bingung sebab tingkat kepekaannya sangat tipis.

“Kenapa?” tanya Johnny heran. “Bukunya mau aku simpen di sana?”

Alih-alih menerima tawaran itu, Keandra malah meminta hal lain. “Tolong gendong aku, dong. Biar aku yang nyimpen bukunya di situ,” pintanya sembari menunjuk bagian atas yang sulit digapai.

Seandainya mereka masih pacaran, Johnny si kaku pasti akan menolak karena terlalu canggung. Mengingat kini mereka sudah menikah, Johnny tidak ragu untuk mengabulkan. Johnny berlutut, lalu Keandra yang kegirangan segera naik ke punggung kokoh suaminya. Johnny berdiri dengan tubuh Keandra yang melilitnya, kemudian sang istri meletakkan dua bukunya di rak yang dituju. Begitu seterusnya sampai seluruh buku Keandra berada di tempat seharusnya. Keandra akhirnya turun dengan senyum semringah, sedangkan Johnny bisa bernapas lega tidak perlu melihat istrinya mengerjakan sesuatu dan bisa istirahat.

“Buku kamu banyak banget.” Ada sedikit keluhan di balik ucapan Johnny. “Setengah rak aku isinya punya kamu.”

“Bagus, dong? Raknya nggak mubazir,” Keandra merespons dengan gurauan. “Emang buku kuliah kamu nggak sebanyak aku?”

Johnny amati isi raknya dengan baik sambil memikirkan sebanyak apa bukunya saat kuliah dulu. “Sama banyaknya, tapi tanpa novel.”

Keandra tertawa kecil saat Johnny menyinggung soal novelnya yang ikut diangkut. Lumayan untuk hiburan karena Keandra tidak mungkin setiap saat belajar.

“Kardusnya disimpen di sini aja. Biar besok diberesin.”

Kali ini Keandra patuh dan membiarkan Johnny meletakkan kardus bekas buku di samping lemari. Tanpa menunggu perintah, Keandra bergegas berbaring di kasur untuk tidur, lalu disusul Johnny yang malah duduk dan memainkan ponselnya, jadi lampu belum dimatikan.

“Kamu tidur duluan aja. Aku chat Mama dulu. Tadi nggak sempet bales.”

Keandra manggut-manggut dan mulai memejamkan mata dengan posisi memunggungi Johnny. Niatnya sudah benar ingin tidur, tapi tidak semudah itu. Keandra belum terbiasa di tempat baru dan ditemani orang baru—apalagi laki-laki meski sudah menjadi suami. Malam pertama kemarin Keandra ketiduran setelah menonton film, jadi tidak secanggung ini. Malam kedua ini lain, membuatnya merasa serba salah harus bagaimana.

Tidak hanya sang puan, Johnny juga merasakan kebingungan yang serupa di malam kedua, tepat di kamarnya. Ingin tidur, tapi ada hal lain yang bergemuruh di dadanya. Membiarkan dirinya terjaga juga bukan opsi yang tepat. Alhasil Johnny sok sibuk dengan ponselnya setelah membalas pesan mamanya, membuka portal berita online yang membosankan, bahkan membuka galeri untuk melihat-lihat foto pernikahan kemarin.

Astaga! Ini gawat! Saat membuka galeri dan melihat foto Keandra di hari pernikahan mereka, pikiran-pikiran aneh itu terus berkeliaran. Johnny menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan hal-hal aneh yang tidak henti mondar-mandir.

“Aku mau ke kamar mandi dulu.”

Johnny refleks menahan Keandra yang sudah bangkit, mencekal tangan sang istri yang terlonjak akibat gerakan tiba-tiba itu.

“Jangan ke mana-mana.” Suara rendah Johnny membuat bulu roma Keandra berdiri.

Bak komando, Keandra menuruti yang dikatakan Johnny dan tubuhnya bergeming dengan posisi setengah duduk. Bukan posisi yang nyaman, tapi Keandra tidak mampu membuat pergerakan lain. Beruntung Johnny tidak pasif. Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas samping tempat tidur, Johnny bantu Keandra untuk duduk dengan benar menghadapnya. Keandra menunduk, tidak berani beradu pandang dengan Johnny yang menelisik wajahnya. Keandra remas selimut yang menutupi kakinya sebagai pelampiasan rasa gelisah.

“Kamu beneran mau ke kamar mandi?”

Seharusnya Keandra menjawab iya agar dia bebas. Namun, Keandra memilih jawaban lain sesuai keadaan hatinya. “Itu … cuma alasan.”

“Kenapa?” Johnny mengangkat dagu Keandra hingga netra mereka beradu. “Alasan buat apa?”

Ada sedikit desakan untuk menjawab yang membuat Keandra tidak mampu lama-lama menipu diri. “Biar nggak canggung.”

“Ternyata nggak cuma aku yang ngerasa canggung, ya.”

Johnny belai surai legam Keandra yang menjadi favoritnya. Turun ke bagian leher, pundak, sepanjang lengan, hingga berakhir meraih jemari Keandra dan ia genggam erat. Keandra tidak mau asal menebak, tapi dari cara Johnny menatap dan menyentuh bagian tubuhnya yang masih ‘aman’, dia tahu ke mana arahnya akan berjalan.

Perempuan itu tidak memiliki kuasa untuk menolak. Bukan saja karena dia takut dosa melawan keinginan suami, tapi jauh dalam lubuk hatinya, Keandra pun menginginkan ini. Sayang, Keandra masih takut untuk terbuka karena pikirannya melayang ke hal buruk. Namun sekali lagi, dia tidak memiliki kuasa untuk mundur.

“Biar aku yang mulai.”

Johnny mendekat, meraih birai tipis yang sedikit terbuka, lalu menyatukannya dengan birai miliknya. Keandra spontan pejamkan mata, menikmati sapuan lembut yang terasa berbeda. Bukan sekali mereka beradu bibir, tapi kali ini lain karena jauh lebih mendebarkan dengan ikatan resmi. Tangan Johnny mengelus pipi Keandra, memperdalam ciumannya yang masih dalam tempo pelan.

Keduanya tidak mau buru-buru sebab ini adalah pengalaman pertama, ditambah Johnny dan Keandra harus mengenali apa yang disebut kenikmatan sebelum memulai. Johnny menghentikan ciuman mereka dan keduanya tiba-tiba menunduk akibat tersipu. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam dengan posisi yang sama, sampai Keandra menjengit kala ceruknya menjadi sasaran berikutnya.

Di saat ceruk itu dalam kuasanya, Johnny menarik Keandra makin rapat hingga kini duduk di atas pahanya. Keandra meremas pundak Johnny sebagai pelampiasan rasa nikmat atas sapuan bibirnya yang terasa basah, hingga tanpa sengaja ia mengeluarkan satu suara yang segera ditahan sebelum suara lain keluar.

Aroma parfum yang kuat menjadi candu untuk Johnny bertahan di sana. Namun, kepuasan lain lebih butuh dilampiaskan, hingga ia turun ke pundak yang masih ditutup oleh piama merah muda dengan corak bunga. Di saat Keandra masih menikmati sisa-sisa jejak Johnny di ceruknya, ibu jari dan telunjuk sang pria mulai meraba kancing bagian atas piama sang istri. Memainkannya perlahan, sampai akhirnya dua jari itu membukanya dengan hati-hati.

Kesadaran Keandra kembali saat kancing keduanya hampir terbuka dan refleks menahan Johnny hingga gerakannya terhenti. Keandra tatap Johnny dengan pipi yang bersemu merah antara kepanasan dan jengah.

“Kenapa?” Suara Johnny membuat Keandra luluh, tapi tidak berhasil membuat jengahnya luntur.

“Aku … malu.”

“Kenapa harus malu?”

Keandra gigit bibir bawahnya, lalu bicara tergagap, “Gimana kalau kamu nggak suka … aku?”

Johnny tersenyum tipis dan menyingkirkan jarinya dari kancing piama Keandra. “It won’t happen.”

Bak mantra, Keandra yang menahan kancing piamanya mulai menurunkan tangannya, membiarkan Johnny melakukan apa saja terhadap dirinya. Alih-alih langsung membukanya, Johnny malah membalik tubuh Keandra hingga memunggunginya. Tidak sampai di situ, Johnny juga berlutut hingga posisinya lebih tinggi dari Keandra. Sang puan bingung, tapi langsung pupus saat tangan Johnny bermain di sekitar pundaknya dan mencuri seluruh kesanggupannya untuk lari.

Dengan bibir yang kini mengecup puncak kepala sang istri yang matanya terpejam rapat, Johnny membuka satu per satu kancing dan menarik piama itu lepas. Udara dingin langsung mengusik, tapi bara yang membakar lebih segera berkuasa. Keandra tidak tahu apa yang ada di depan sebab matanya tidak berani ia buka, hanya bisa merasakan satu penutup bagian atasnya ikut dilepas. Disusul sentuhan jari pada dada oleh sang amatir yang belum berani berbuat lebih.

Hanya mampu menyentuh ringan dengan jari, bersamaan bibir yang bermain pada pundak sang istri. Keandra gigit bibirnya, tidak berani bersuara meski tahu itu adalah reaksi normal. Rasanya memalukan, tapi jujur menahan lenguhan dari birai bukanlah perkara mudah.

Keandra baru membuka matanya saat punggungnya menempel pada dada seseorang yang sama-sama polos sepertinya. Ia menoleh, mendapati Johnny yang mulai digelapkan oleh hasrat. Beruntung akal sehatnya masih ada, jadi Johnny mampu mengukir senyum untuk menenangkan Keandra.

“Beautiful …,” bisik Johnny tepat di daun telinga Keandra. “You look beautiful, My Wife ….”

Keandra ingat Johnny ini adalah laki-laki kaku yang harus pandai dirayu agar tidak pasif. Kini sosok kaku yang sering menahan diri itu seolah sirna, tiba-tiba menjadi ulung dengan insting yang mengatur. Tidak hanya mengatur Johnny, tapi juga mengatur Keandra yang menyerahkan seluruh dirinya pada Johnny Satya.

Bak bulu yang ringan, Johnny berhasil membaringkan Keandra di permukaan kasur yang akan menjadi saksi. Tidak hanya malam ini, tapi di malam-malam berikutnya yang menanti. Bibir Johnny dan Keandra kembali beradu. Bak candu, aduannya tidak kunjung berhenti. Jemari Keandra meremas rambut Johnny saat sesekali tubuh polos mereka menempel, sedangkan jemari lainnya yang bebas mengelus punggung prianya dengan gerakan naik turun.

Sapuan bibir Johnny turun ke leher Keandra, pundak, sampai ke dua gundukan yang naik turun tidak teratur. Keandra terus remas rambut Johnny, bahkan tanpa sadar menariknya untuk memperdalam cumbuan sebab inginkan yang lebih.

Keandra tidak ragu untuk melenguh, meski masih malu-malu. Cumbuan Johnny sudah berada di perut, sesekali mendesah dan menikmati aroma yang makin membangkitkan hasratnya. Sama seperti saat bagian atasnya tanggal, Keandra pejamkan mata hingga dia tidak melihat apa yang di depan. Keandra hanya tahu seluruh kainnya tidak disisakan untuk bertahan, hingga pusat tubuhnya terekspos di hadapan Johnny yang kian menggelap.

Keandra meremas bantal, makin kepanasan meski tanpa sehelai benang. Wajahnya merah padam, mengundang tawa Johnny yang gemas kala memandang. Tawa itu membuat Keandra penasaran dan memberanikan diri membuka mata. Sayang, hanya bertahan beberapa detik setelah menyaksikan apa yang menjadi penyebabnya kembali pejamkan mata. Johnny kembali menggaungkan tawa, lalu daksanya mendekati Keandra hingga spontan menahan napas ketika merasakan sesuatu yang ganjil.

Johnny tenangkan Keandra yang tiba-tiba tegang dengan memberikan kecupan demi kecupan di sekitar wajahnya. “Look at me, Judy Keandra ….”

Kala namanya dipanggil secara lengkap, Keandra seperti dimantra dan perlahan membuka matanya. Maniknya disambut oleh manik cokelat Johnny yang menawan, begitu erat dengan jarak tipis dan embusan napas yang saling menerpa wajah. Keandra angkat telunjuknya, lalu mengelus sepanjang pelipis hingga rahang Johnny. Peluh bercucuran di sana yang coba Keandra seka, seakan tidak ingat bahwa tubuhnya pun ikut berpeluh kepanasan saat bagian utama belum dimulai.

“I love you, Kak.

Kalimat pertama setelah bermenit-menit bungkam Keandra suguhkan pada sang pujaan. Johnny menabur senyum, menambah animo pada malam yang tidak akan usai dalam waktu singkat.

“I love you too, My Beautiful Wife.”

Lisan mereka boleh kembali membisu, tapi mata tidak bisa berbohong. Belum lagi debar jantung mereka yang seirama, begitu cepat sampai khawatir bisa meledak. Mereka bicara lewat tatapan mata, mencari kesiapan satu sama lain untuk melanjutkan. Saat Keandra dirasa lebih relaks, Johnny mencari posisi tepat sesuai instingnya yang diandalkan. Keandra bergerak tidak nyaman akibat geli, hingga kembali tegang saat dia dan Johnny lebih intim.

Paham, Johnny memberi jeda agar Keandra mengumpulkan kesiapan. Johnny tidak mau egois di pengalaman pertama mereka agar sama-sama meraih kenikmatan yang seharusnya. Keandra kembali relaks, mengizinkan Johnny untuk memulai bagian utama dengan membuka tungkainya yang sedikit kaku.

Johnny akhirnya memulai pergumulan sesungguhnya dengan mengisi bagian kosong Keandra yang telah dirasa siap. Hati-hati sekali, terlebih ketika mendapat dahi Keandra mengerut tidak nyaman. Rasanya sulit—akibat Johnny yang amatir dan Keandra yang terlalu kokoh. Johnny mendongak saat rasa asing itu mulai naik ke ubun-ubun, mendorongnya untuk terus maju mereguk nafsu.

Namun, gerakannya harus kembali terhenti saat Keandra merintih perih dan menggores pundaknya dengan kuku. Johnny tidak mau menyakiti istrinya yang malah takut, mencoba menenangkannya lagi dengan cumbu rayu di ceruk. Saat sang istri kembali relaks, Johnny menahan tungkai Keandra agar terus terbuka kala dia mencoba menembus.

“God ….”

Pantaskah menyebut nama Tuhan di saat seperti ini? Rasanya tidak pantas, tapi Johnny bersumpah rasa sesak ini amat nikmat bukan kepayang. Rintihan perih kembali mengudara dari Keandra yang rupanya tidak siap dengan serangan sebesar ini. Namun, kali ini Johnny tidak bisa berhenti karena bagian kosong itu hampir berhasil dia tembus.

Sampai teriakan kecil dari Keandra dan geraman kelegaan dari Johnny menjadi akhir dari percobaan. Keandra dekap erat Johnny sebagai pelampiasan rasa perihnya, kini status gadisnya telah luruh, membuatnya senang karena merasa menjadi istri sepenuhnya. Johnny cium dahi Keandra yang mengerut tidak nyaman, menepis segala rasa sakit yang terpaksa dia beri.

Johnny sedikit menjauhkan wajahnya agar memberi ruang untuk Keandra mengambil napas, meski percuma karena tetap terengah, sama sepertinya. Saat kerutan di dahi Keandra berkurang dan tangannya membelai dada Johnny yang bergerak tidak beraturan, permainan kembali dimulai. Johnny mulai bergerak hati-hati sambil mengamati raut Keandra yang makin menawan.

Masih merintih, tapi Keandra mulai terbiasa, jadi dia biarkan Johnny terus menguasainya. Mengingat ini pengalaman pertama, maka permainan mereka pun tidak berlangsung lama. Keduanya tidak tahu cara menahan untuk tidak berhenti cepat-cepat. Jadi hanya lima menit berpacu dalam irama kasatmata, Johnny dan Keandra melolong panjang mengisi malam sunyi dengan peluh bercucuran, mendapatkan kenikmatan pertama mereka yang orang sebut surga dunia.


Sudah tiga jam berlalu sejak percintaan pertama mereka berakhir, tapi tidak ada tanda-tanda untuk meraih mimpi. Keandra boleh memejamkan mata, tapi Johnny tahu istrinya yang dibalut selimut hingga sebatas leher itu tetap terjaga. Pipi Keandra masih merah karena sisa-sisa percintaan mereka belum hilang. Debar jantung Johnny pun tidak kunjung tenang, jadi dia memilih menikmati sebagai memori indah pengalaman pertama.

“Kamu jangan tidur dulu. Kita harus bersih-bersih.”

Keandra gigit pipi bagian dalamnya selagi matanya terbuka. Sudah mati-matian ingin tidur, Johnny malah bicara begitu. “Ngomongnya jangan gitu. Kesannya kayak harus … bareng.”

Johnny tertawa renyah mendengar pikiran itu. “Kamu duluan aja. Nanti baru aku.”

Bukannya menurut, Keandra malah makin menarik selimut hingga menyembunyikan setengah wajahnya. “Kamu dulu aja, tapi di kamar mandi luar. Pas kamu udah pergi, baru aku ke kamar mandi di sini.”

“Kok gitu?” tanya Johnny pura-pura tidak tahu maksud Keandra.

“Aku malu. Makanya gitu aja.”

Johnny tidak menolak usul Keandra karena dia pun belum terbiasa dengan keadaan ini. “Oke, aku duluan.”

“Ihh, jangan dulu.” Keandra malah menahan Johnny yang hampir bangkit untuk ke kamar mandi. “Aku … susah jalan,” cicit Keandra di balik selimut.

Tingkat kepekaan Johnny yang kembali turun membuatnya bingung. “Kenapa susah jalan?”

“Gara-gara kamu!” seru Keandra yang tiba-tiba kesal karena Johnny tidak paham.

“Mau aku gendong?”

“Tahu ahh. Aku mau langsung tidur.”

Kepalang kesal, Keandra menyembunyikan sekujur tubuhnya dengan selimut dan memunggungi Johnny. Bukannya ke kamar mandi sesuai rencana, Johnny malah ikut masuk ke selimut dan mendekap tubuh yang terbuka itu dengan erat. Untuk selanjutnya, biarkan mereka melakukan sesukanya. Kita tidak perlu menjadi saksi karena yang pertama telah usai.


Jangan lupa tinggalkan jejaknya, ya