Adik Kecil

Sudah hampir enam bulan Dalia ditahan dan tidak pernah absen ditemui oleh keluarganya setiap satu minggu sekali. Biasanya Julian akan bertemu Dalia di hari berbeda dengan orang tuanya, sengaja agar bisa mengobrol secara pribadi bersama sang adik yang tampak lesu setiap kali bertemu. Ditambah lagi Dalia tidak banyak bicara ketika bersama Julian, jadi waktu 15 menit yang didapatkan tidak bisa digunakan secara maksimal.

Sekarang Julian sudah duduk di hadapan Dalia yang dipisahkan oleh dinding kaca, menempelkan saluran telepon internal di telinga sebagai media komunikasi agar bisa mendengar suara masing-masing. Dalia tidak selesu biasanya, rupa gadis itu lebih segar dan cerah meski lingkar hitam di bawah matanya tetap nyata. Sebab itu Julian tidak bisa lega melihatnya, tetapi perubahan kecil itu cukup membuat sang kakak yakin adiknya baik-baik saja di bui sampai masa tahanan selesai.

Seragam tahanan berwarna oranye yang mentereng itu sempat membuat mata Julian silau ketika pertama kali berjumpa Dalia di rumah tahanan. Sekarang Julian sudah terbiasa berkat kunjungan tiap minggu yang tidak pernah mangkir dilakukan.

“Kenapa kamu selalu datang sendirian, Kak?”

Di luar kebiasaan, Dalia mengajukan pertanyaan lebih dulu dan mengutarakan sesuatu yang tidak Julian perkirakan. Sebelumnya Dalia hanya menjawab terkait kabar yang semula akan Julian tanyakan dan kini harus ditarik tanpa sempat mengudara.

“Aku ‘kan mau ngobrol berdua sama kamu aja, Lia,” jawab Julian.

Tanpa diduga Dalia mau tersenyum samar yang bisa Julian tangkap sekilas, makin yakin adiknya sudah ikhlas dengan hukuman yang dia terima dan buktinya tidak memberontak, apalagi merasa tidak bersalah ketika bicara bersama Julian seperti di awal-awal dia dijadikan tersangka.

“Berarti aku boleh ngobrolin hal ini sama kamu, Kak?”

Julian mengangguk antusias. “Boleh banget. Kamu mau ngobrolin soal apa?”

“Martin sama Martha.”

Dua nama yang disinggung itu membekukan Julian di tempat duduknya, sudah berprasangka buruk adiknya akan membicarakan hal negatif terkait sejoli itu. Paham kecurigaan yang tersirat di balik ekspresi datar Julian, Dalia segera melisankan kata yang meruntuhkan segala prasangka.

“Bilang ke mereka aku minta maaf ya, Kak …,” lirih Dalia, “khususnya ke Martha karena udah nyakitin dia. Awal-awal di sini aku digangguin sama orang beda sel, mereka bilang aku kayak anak nggak diurus, aku cungkring, aku mirip hewan, bahkan kalau lagi lewat beberapa kali kepala aku ditoyor. Sekarang … aku udah ngerti perasaan Martha, ternyata nggak enak digituin. Aku hampir tiap malem nangis, Kak. Aku pengen pulang tapi nggak bisa. Terus aku kepikiran gimana keadaan Martha sekarang, pasti dia juga susah udah digituin sama banyak orang. Aku aja nggak kuat, tapi dikuat-kuatin sampai hampir lima tahunan lagi.”

Astaga! Seberat itu rupanya siksaan yang Dalia terima di bui, tetapi berhasil membuka mata setelah dia lebih mengerti posisi Martha. Julian sampai menitikkan air mata, ingin sekali memeluk adiknya agar mendapat perlindungan yang dibutuhkan. Dalia di sana sendiri dan sangat ingin Julian temani.

Di hadapannya Dalia berusaha tegar, sebab keberadaannya sekarang akibat ulahnya juga. Jadi, tidak ada yang ingin Dalia lakukan selain menerima hukuman; baik di mata hukum dan mata orang-orang yang berada satu atap dengannya.

“Sekarang kamu masih digangguin?”

Dalia menggeleng, menyunggingkan senyum yang kini sudah lebih mampu dia paksakan. “Udah nggak, Kak. Aku udah punya temen juga di sini. Orang-orang yang satu sel sama aku mulai baik, jadi aku nggak terlalu sepi.”

Terjawab sudah kenapa Dalia selalu lesu setiap bertemu. Bukan karena belum menerima kenyataan, melainkan dihantam realitas yang menyakitkan. Terjawab pula bagaimana Dalia mendapatkan kembali sedikit cahaya selama terisolasi dari dunia luar dan bila bisa, Julian ingin berterima kasih pada teman satu sel Dalia yang sudah mau menemani adiknya.

“Kamu beneran nggak apa-apa sekarang, Dek?” Julian bertanya lagi, memastikan Dalia aman di balik jeruji.

“Aku sehat, Kak. Paling kurang tidur karena nggak dapet kasur empuk.”

Julian tertawa bersama air mata yang tumpah ruah karena masih tidak menyangka Dalia mendapat perlakuan kasar. Mungkin dia berhak mendapatkannya, tetapi sebagai kakak, Julian tidak tega.

“Tunggu, ya, Dek. Nanti setelah bebas, aku beliin kasur paling empuk supaya kamu nyaman tidurnya. Aku juga beliin makanan yang paling enak, bawa kamu ke tempat bagus supaya kamu bisa refreshing setelah bertahun-tahun di sini. Sabar, ya. Aku nggak akan ke mana-mana sampai kamu bebas.”

Di menit-menit terakhir, Dalia gagal membendung air mata yang akhirnya tumpah juga. Dalia merindukan dunia luar, tetapi seperti yang Julian katakan, dia harus sabar sampai waktu bebasnya tiba. Mungkin ada yang masih ingin menghukumnya lebih berat, tetapi Dalia sudah cukup mendapatkan balasan setimpal dengan dijauhkan dari dunia luar dan berada di posisi Martha.

Tak perlu menghakimi, izinkan Dalia bertaubat. Kesalahannya besar, mungkin tidak semua menerima permintaan maaf, tetapi adik kecil itu sudah rela tundukkan kepala dan singkirkan gengsi yang tinggi demi mendapatkan ampunan. Sekarang biarkan Dalia mendekam sampai beberapa pergantian tahun dan berdoalah agar dia sepenuhnya berubah setelah menghirup kembali udara bebas.