Kriteria

“Makasih udah mau jemput aku, ya.”
Kalimat itu membuyarkan fokus Jibran yang tengah mengamati kediaman Kalani, didominasi warna merah muda dan putih, khas perempuan yang memiliki image manis di mata publik. Jibran tersenyum seadanya sembari menatap Kalani yang sudah melepaskan jaketnya. Kalani kenakan gaun hijau tosca tua dengan belahan dada pendek dan tali tipis di pundaknya.
Jibran palingkan pandangan yang tidak menarik itu, memilih kembali mengamati kediaman Kalani yang harus diakui cukup nyaman meski tidak membuatnya betah untuk berdiam terlalu lama. Ditambah ini sudah larut malam dan mereka hanya berdua, bukan momen menyenangkan untuk berlama-lama. Beda cerita jika yang bersama Jibran adalah Eila, pasti pria itu betah dengan wanita yang tepat.
Sayang, kebersamaan itu harus sirna akibat Eila yang belum kunjung sadar. Tidak tahu kapan dia kembali, tapi Jibran akan setia menanti.
“Aku pulang dulu. Besok kita ada photoshoot.”
“Tunggu.” Kalani mencekal tangan Jibran hingga pria itu bergeming di tempatnya.
Wanita itu dengan berani mendekat dua langkah hingga jarak mereka menipis. Kalani mencoba mengunci Jibran lewat tatapan mata yang intens, membawanya demi mendapatkan keinginan yang sama untuk menikmati malam panjang tanpa siapa-siapa. Kalani kira dia berhasil, sebab Jibran hanya fokus padanya dan membatalkan kepulangan yang menjadi rencana awal.
Sang aktris tersenyum seduktif, mulai menelusuri sepanjang lengan Jibran dengan telunjuknya yang masih dibalut blazer untuk menggodanya. Saat telusurannya berakhir di leher sang aktor, Kalani berkata, “Kayaknya kamu nggak perlu pulang. Di sini aja, gimana?”
Jibran tidak merespons, bahkan ekspresinya tergolong datar saat dia tahu ke mana ini akan berjalan. Pria itu membiarkan telunjuk Kalani kembali menelusuri bagian tubuhnya yang lain, di mana leher dan tengkuk menjadi sasarannya. Kalani bak pemain ulung, sebab dia tahu tengkuk Jibran menjadi bagian sensitif yang membuat bulu roma pria itu berdiri.
Jika di mode normal bulu roma itu berdiri akibat hasrat yang naik, maka Jibran lain sebab dia ketakutan. Namun, Jibran tetap membiarkan telunjuk itu bermain di sekitar lehernya dan mencari apa pun yang menjadi tujuannya. Jibran menahan ekspresi tanpa usaha lebih, sebab yang dilakukan oleh Kalani membuatnya muak.
“Aku selalu kagum sama badan kamu, Jibran,” ungkap Kalani sebagai pujian kala telunjuknya bermain di sekitar dada bidangnya. “Kamu selalu pake baju tertutup, tapi gagal nutupin bentuk badan kamu yang seksi.”
Pujian penuh godaan itu dianggap berhasil oleh Kalani saat melihat Jibran hanya diam seakan menikmati usahanya. Realitasnya, Jibran merasa muak dengan cara murahan Kalani yang ingin mendapatkannya. Bosan dengan telunjuk, Kalani melakukan hal yang lebih jauh dengan membuka blazer Jibran hingga jatuh ke lantai. Kini tubuh bagian atas Jibran hanya mengenakan kaus tanpa lengan yang meningkatkan animo Kalani kala melihatnya.
Namun, animo itu runtuh saat Kalani melihat bekas luka merah di biceps kiri Jibran hingga dia refleks berteriak dan mundur beberapa langkah. Reaksi biasa yang tidak mengejutkan Jibran. Siapa pun yang pertama kali melihat bekas lukanya—apalagi perempuan—pasti akan bereaksi seperti Kalani. Reaksi itu dimanfaatkan Jibran untuk menegaskan rasa tidak tertariknya pada Kalani yang hanya mementingkan fisik.
“Bukannya kamu kagum sama badan aku?” Jibran mencoba memancing. “Kenapa kamu kaget lihat bekas luka aku?”
Sesungguhnya tidak hanya terkejut. Kalani pun memandang jijik pada jejak kemerahan yang mengganggu indra penglihatannya. Jejak yang seharusnya tidak boleh ada di tubuh pria dengan pahatan sempurna seperti Jibran.
“I-itu … asli?” gagap Kalani yang malah berpikir Jibran sedang mengerjainya dengan membuat luka palsu.
“Iya, ini asli.”
Tatapan merinding tidak ditutup-tutupi oleh Kalani, bahkan Jibran tahu wanita itu ingin menyingkir, tapi berusaha ditahan demi menjaga image baik dan mempertahankan harga diri. Sejak diberi reaksi demikian, Jibran tahu bahwa Kalani bukan orang yang akan menerima kekurangannya. Kalani adalah wanita yang menjunjung tinggi kesempurnaan fisik dan Jibran bukanlah kriterianya.
Jibran berlutut untuk mengambil blazernya yang tergolek di lantai seraya berkata, “Kenapa kamu kelihatan takut gitu?”
“Semua orang pasti … takut lihat bekas luka kayak gitu,” cicit Kalani.
Jibran manggut-manggut setelah mengenakan blazernya kembali. Setuju dengan Kalani, karena bekas lukanya tidak ramah untuk dilihat. “Terus kamu nggak suka sama bekas lukanya?”
“Jelas nggak ada yang suka, Jibran,” balas wanita itu yang masih ketakutan meski Jibran sudah menutupnya kembali dengan blazer.
“Tapi aku kenal satu orang, lebih tepatnya satu perempuan, yang nggak takut lihat bekas luka aku.”
“Mama kamu pasti nggak akan takut. Kamu anaknya.”
Jibran tersenyum miring mendengar tebakan itu. “Bukan mama aku,” sangkalnya. “Tapi Eila.”
Kalani mengernyit, ketakutannya akan bekas luka yang Jibran miliki seketika luruh dan digantikan oleh kekalahan atas persaingan fana. “Enggak mungkin dia gitu.”
“Tapi itu kenyataannya, Kalani. Dia nggak kaget waktu lihat luka aku, dia nggak nanya apa-apa, dan dia nerima keadaan aku apa adanya.”
Jibran lantas menyingkir untuk pulang setelah yakin bahwa Kalani tidak layak mendapatkan dia. Setiap insan memiliki kekurangan masing-masing, baik dari segi fisik ataupun hal lain yang tersembunyi dalam diri. Dengan reaksi Kalani hari ini, Jibran membuat asumsi bahwa wanita itu tidak akan pernah mampu menerima kekurangannya yang jejaknya sulit dihilangkan. Bukan pilihan yang tepat dan Jibran harus mampu menghindarinya.
“Kalani,” panggil Jibran sebelum dia tiba di depan pintu. Kalani lantas menoleh dengan mata merah akibat ingin menangis. “Aku mau sama orang yang nerima apa adanya,” lanjut Jibran, “dan kamu nggak masuk kriteria itu.”