Berangsur Kembali

Langkah pertama yang Martha ambil pada Minggu sore saat sekitar komplek sedang ramai. Seorang diri tanpa didampingi, hanya ada Martha yang sedang menghadapi dunia setelah sebelumnya tidak pernah berjauhan dari Martin. Pria itu tidak pernah jauh dari sisi Martha, tetapi kali ini diperintahkan untuk pergi lebih dulu bersama Markus menuju lapangan basket dan akan disusul oleh sang istri.

Martha hanya berkata singkat dan langsung dipahami betul apa niat sesungguhnya, jadi Martin mengabulkan tanpa banyak bertanya dan memercayakan sang istri yang sedang berusaha untuk kembali merangkak naik.

Martha menyusul setelah Martin dan Markus pergi selama 20 menit, jeda yang cukup lama hanya untuk mempersiapkan diri. Namun, itu tidak masalah untuk Martin yang sedia menunggu dengan kesabaran lapang, ditambah Markus pun butuh hiburan akibat jenuh berada di rumah dalam waktu lama.

Setiap kali kakinya bergerak ke tempat tujuan, Martha akan bertemu orang-orang di sekitar tempat tinggal Martin yang tidak pernah dia kenal. Orang asing sangat menakutkan, sebab mereka biasanya akan menilai saat pertemuan pertama dalam berbagai aspek. Namun, aspek paling utama adalah penampilan yang sedang Martha perbaiki dan tentu belum maksimal.

Martha sudah bisa cuek dengan gunjingan orang, tetapi dia tetap ingin menghindari ucapan-ucapan buruk itu secara langsung. Martha tidak mau jatuh untuk sekian kali saat banyak yang tertawa di atasnya. Jadi wanita itu berusaha wawas diri selama melakukan perjalanan yang terasa panjang menuju keluarganya.

Martha berusaha hindari kontak mata, tetapi ketika tidak sengaja bertemu pandang, wanita itu refleks tersenyum dan tak disangka dibalas dengan cara serupa yang membuat Martha takjub. Senyum yang membalasnya amat tulus sampai Martha berhenti untuk beberapa saat akibat merasa kagum.

Apa benar itu orang asing yang Martha takutkan? Orang asing yang membuat Martha merinding ketika berada di sekitar? Manusia dari kalangan usia yang sedang nongkrong di halaman rumah tampak tidak memperhatikannya. Jika iya, tidak ada ekspresi aneh kala memandang penampilan berisi Martha yang menurut netizen mengganggu mata. Semuanya tampak biasa, bahkan tidak memedulikan fisik asalkan sikap Martha tetap baik.

Kala tungkainya kembali bergerak maju dan bertemu sepasang suami istri sedang jogging, Martha tersenyum sebagai sapaan hangat dan kembali dibalas sama tulusnya dengan tambahan kata, “Sore.”

Respons positif itu membuat Martha tidak mau jadi pasif, kali ini giliran dia menyapa orang-orang yang dilewati bersama senyum dan kata singkat agar lebih lengkap.

“Selamat sore,” sapa Martha pada beberapa orang yang dia lewati; ibu-ibu yang sedang memberi makan anak balitanya, tiga anak berusia 7 tahun tengah berlarian ke sana kemari, pria paruh baya yang menikmati sore hari, sampai abang penjual bakso yang sedang melayani pembeli.

Sesekali Martha melambai juga, bergerak aktif sebagai apresiasi pada orang-orang yang dia temui hari ini. Saat akhirnya Martha hampir tiba di lapangan, untuk pertama kalinya dia merasa mampu bernapas lega. Tak lagi gentar menghadapi banyak orang, tampil percaya diri dengan rupa apa adanya, merasa diterima dalam lingkungan masyarakat untuk kedua kalinya.

Lantas ketika kakinya berhasil mendarat di lapangan basket yang tetap sepi, hanya ada Martin yang sedang menggendong Markus mengelilingi lapangan sambil membicarakan pemandangan sekitar, separuh—bahkan hampir seluruh—beban Martha hilang dan pundaknya terasa ringan. Wanita itu bahkan bisa berlari tanpa merasa berat untuk mendekati keluarganya yang sedikit jauh dari gerbang masuk lapangan.

“Pelan-pelan,” tutur Martin ketika menyadari Martha berlari untuk menghampirinya.

Setelah mendarat di hadapan, Martin telisik wajah Martha yang cerah seakan sudah menemukan hal baik selama perjalanan.

“Ada cerita apa?”

Semangat Martha kian menggebu ketika pertanyaan itu mengudara bebas di rungu. Baru lagi Martha merasakan semangat sebesar ini, jadi dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menceritakan momen terbaik dalam hidup setelah beberapa bulan berlalu.

“Tadi pas di jalan, aku agak takut sama banyak orang. Terus pas nggak sengaja lihat-lihatan, orangnya senyum ke aku. Berkat dia aku jadi lebih pede, terus aku sapa tiap orang yang aku lewatin sepanjang perjalanan ke sini. Mereka juga balesnya ramah, bahkan anak kecil yang lari-lari juga sampai berhenti buat bales sapaan aku, Martin. Orang-orang baik banget, ya. Aku seneng ketemu mereka. Enggak ada yang mandang aku aneh lagi.”

Martin seperti mendengar anak kecil yang pertama kali keluar menuju dunia luar dan menemui orang-orang baru hingga terkagum-kagum, memberi arti lain bahwa istrinya sangat menggemaskan. Di samping itu, Martin turut senang karena Martha bisa menemukan kenyamanan setelah menghadapi sulitnya realitas sampai menghindari dunia luar. Sebelah tangan Martin yang bebas mengusap puncak kepala Martha, memberikan satu kecupan di bibir sebagai apresiasi atas pencapaian besarnya.

You did well, Martha. Aku bangga banget sama kamu. Markus juga bangga sama Mama, ‘kan?”

Martha tertawa ketika Markus merespons dengan cengiran polos hingga gigi susunya terlihat jelas. Markus juga mengoceh, memberi kode ingin turun dari pangkuan. Martin mengabulkan, lantas berlutut dan pelan-pelan menurunkan Markus agar berdiri menapaki lapangan yang rata. Martha ikut berlutut dalam jarak lima langkah sedikit jauh, sengaja untuk menguji Markus yang belakangan ini sudah belajar berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah sambil dituntun.

Martin menuntun kedua tangan Markus yang pelan-pelan maju mendekati Martha di depannya. Martha rentangkan tangan, semangat menanti Markus yang tidak sabar mendekati mamanya.

“Sini, Nak. Samperin Mama.”

Masih tertatih meski dituntun, Martin tetap sabar membimbing putranya yang tertawa kegirangan setiap kakinya bergerak lurus tanpa halangan apa pun. Satu, dua, tiga langkah, diambil Markus sambil pegangan kuat pada tangan sang ayah. Hingga anak tunggal itu berhasil menggapai Martha dan berakhir di pelukannya.

Di bawah hangatnya terik mentari sore yang mulai terbenam untuk berganti malam, keluarga kecil itu duduk di lapangan sepi seakan hanya boleh mereka saja yang huni. Rona bahagia jelas terpatri, sama-sama siap untuk memulai hidup baru tanpa takut masalah lalu terulang kembali.

Namun, dari semua itu, Martin yang paling berbangga hati karena istrinya berangsur kembali.