Bersua Kembali

Pernah tidur panjang dengan penyebab yang kurang menyenangkan, membuat Eila takut jika dia tidak akan bisa bangun lagi dalam waktu lama—mungkin selamanya—saat waktu tidurnya tiba. Eila bisa saja menolak untuk tidur, tapi obat yang diresepkan untuknya memaksa wanita itu untuk terlelap tanpa diganggu. Ketakutan Eila akan hilang saat dia bangun dan melihat betapa membosankannya pemandangan rumah sakit yang menyedihkan di matanya, tapi kembali pada pola yang sama alias takut menjelang waktu tidur.

Omong-omong, bila boleh diceritakan sedikit bagaimana Eila akhirnya bangun, orang pertama yang dia lihat adalah Mia—mama Jibran. Di situ Eila kira dia masih bermimpi karena tidak mungkin Mia datang secara nyata. Namun, kala Mia heboh dan beberapa orang berpakaian putih mulai mengelilinginya untuk memeriksa keadaan terkini, saat itulah Eila yakin bahwa dia benar-benar sudah kembali ke realitas. Masih di hari yang sama, Eila diawasi kondisinya, terlebih memastikan apakah dia sudah mampu berinteraksi dengan orang-orang sekitar atau belum.

Sampai menjelang malam, pertanyaan pertama sang puan ajukan pada adiknya yang giliran menjaga yaitu, “Jibran nggak apa-apa?”

Setelah sang kakak mampu bersuara, Natta tidak langsung merespons dan malah menangis karena bersyukur kondisi Eila kian membaik. Setelah berhenti menangis, barulah Natta menjelaskan bagaimana kondisi Jibran selama menjaga Eila setiap malamnya. Natta juga memberi tahu rencana Jibran bersama Trian dan Timon secara lengkap, yang sedikit demi sedikit bisa ditangkap oleh Eila, tidak lupa mengabarkan bahwa Jibran tidak akan datang lagi ke rumah sakit dalam waktu dekat. Selain karena masa promosi akan dimulai, Jibran juga diawasi secara diam-diam oleh orang kepercayaan Rakha dan Aiden.

Dari situlah Eila berpesan melalui Natta untuk melarang siapa pun memberi tahu soal kondisinya pada Jibran. Alasannya jelas, Eila ingin Jibran fokus pada pekerjaan sampai tuntas. Sebab Eila yakin, jika Jibran tahu sejak awal, pria itu tidak akan fokus dan bisa mondar-mandir ke rumah sakit dan lokasi promosi. Eila juga meminta penyelidikan soal kasusnya diusut sampai tuntas dan kondisinya tetap dirahasiakan dari orang-orang yang tidak perlu tahu.

Sampai akhirnya ratusan orang di teater, termasuk Jibran dan dua orang yang telah ditangkap, tahu bahwa wanita itu telah kembali dan ikut melawan kecurangan di balik layarnya sendiri. Semalam Eila tidak tahu apa yang terjadi selama premiere dan screening karena telah tidur, jadi saat dia perlahan bangun untuk menghadapi realitas yang menanti, wanita itu telah siap mendengar rangkaian kejutan dari sang adik yang pasti menyimak kabar dari Trian di lokasi.

Begitu matanya sepenuhnya terbuka, hal pertama yang dia lihat hanyalah langit-langit warna putih menyedihkan dan berharap bisa diganti warna lain untuk mencerahkan paginya. Niatnya ingin memanggil Natta atau siapa pun yang ada di sana untuk memberinya minum, terlebih ketika dia mencium aroma santapan pagi dari rumah sakit yang kalau boleh jujur tidak terlalu sedap, tapi minimal bisa memuaskan perutnya. Saat menoleh ke samping kanannya, Eila tidak menemukan orang yang dimaksud. Bukan karena tidak ada siapa-siapa bersamanya, hanya tidak menyangka ada orang lain yang jauh dari dugaannya.

Ya, Jibran Dava Adelard. Dia tengah duduk dengan mata memandang ke arah Eila yang dipenuhi genangan air di pelupuknya, tersenyum tipis seolah tidak percaya bahwa sosok yang sebelumnya hanya mampu berbaring kini sudah hadir kembali. Jibran masih mengenakan jas kemarin yang fotonya Eila lihat, hanya saja tidak rapi dan rambutnya dibiarkan ikut berantakan, sama seperti kondisi hatinya yang kacau.

Eila membalas senyum itu dan berkata, “Boleh tolong ambilin aku air? Aku haus.”

“Oh, iya,” balas Jibran setengah terisak.

Dia bangkit dari posisinya, mengambil sebotol air dari meja, lalu kembali dan membantu menaikkan sandaran brankar agar Eila bisa duduk lebih tegak untuk minum.

“Kamu jangan nangis gitu, dong. Aku jadi pengen nangis,” ucap Eila setelah menyegarkan tenggorokannya dengan minum, tidak lupa menyeka air mata Jibran yang gagal ditahan karena masih tidak percaya cintanya telah sadar.

Jibran tertawa kecut sembari ikut menyeka air matanya dan menarik menjauh botol air yang telah dihabiskan setengah oleh Eila. “Ini aku nggak lagi mimpi ‘kan, ya?”

“Justru harusnya aku yang nanya apa ini mimpi atau bukan. Soalnya aku jadi nggak bisa bedain mana mimpi sama mana yang nyata.”

Eila tidak berlebihan, sebab beberapa menit yang lalu dia sungguh-sungguh tidak dapat membedakan mana realitas dan mimpinya. Baru ketika dia merasakan sedikit ngilu pada perutnya, Eila percaya dia telah sepenuhnya sadar dan melihat sosok nyata seorang Jibran. Pria itu masih berdiri di samping Eila dengan tangan sedikit terangkat, ingin memeluknya tapi ragu karena takut menyakiti Eila.

Paham apa yang diinginkan, Eila memajukan tubuhnya sedikit agar lebih dekat dengan Jibran seraya berkata, “Kamu boleh peluk kalau mau.”

Kala izin telah mengudara, Jibran sedikit membungkuk dan memeluk Eila yang menyambutnya dengan sukacita. Bukan saja sebagai selebrasi atas kemenangan melawan musuh, tapi sebagai pelepas rindu yang sebelumnya jadi pilu.

Eila pejamkan mata, bisa merasakan tetesan air yang membasahi bajunya sebab Jibran lagi-lagi gagal menahan tangis. Eila biarkan pria itu meluapkan segalanya, sama seperti dia yang belum sanggup berkata-kata dan hanya diam sembari menikmati pelukan yang paling Eila tunggu kedatangannya.

Pernah berpisah, bersatu, lalu berpisah lagi sampai takut ditinggal selamanya, Jibran kembali bersama tanpa ada yang bisa memisahkan.