Bunda jahat, ya?

Sebagai seorang janda tiga anak yang semuanya telah memasuki usia matang, Marni tidak merasa berat ketika harus meninggalkan rumah karena dua anaknya—laki-laki dan perempuan—yang masih lajang sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa ibundanya. Kala Marni meminta izin untuk merawat Martha yang membutuhkan bantuan, dua anaknya itu langsung memberi lampu hijau sebab tahu kakaknya yang mengalami perkara sulit sedang butuh banyak bantuan.

Marni tidak berekspektasi apa-apa terkait respons yang sekiranya akan diberikan sang putri ketika beliau datang, apalagi Martin sudah mewanti-wanti bila nantinya Martha kurang memberi respons baik akibat pengalaman buruknya. Namun, siapa yang menyangka bila respons Martha rupanya seburuk itu.

Tidak ada makian seperti saat Marni dan Wulan diusir secara kasar, putrinya bukan hanya menolak, tetapi juga takut untuk sekadar menatap. Dua reaksi itu yang paling menyakiti Marni, tetapi beliau sadar hal itu terjadi merupakan dampak dari ulahnya yang keterlaluan pada Martha.

Rangkaian kata ‘manis’ Marni menghunus kalbu, tertanam sempurna meski tidak diberi pupuk. Sekarang ulahnya membuahkan hasil yang setimpal; Martha tidak lagi memandang ibunya secara sama. Jangankan berdekatan, mendengar suaranya saja menimbulkan getar hebat di tubuh Martha yang tampak jelas di mata.

Tadi saat sarapan, Marni sengaja tidak menimbulkan satu suara pun agar Martha bisa lebih santai ketika menyuapi Markus dan bercakap-cakap dengan Martin. Marni yang duduk di hadapan Martha hanya mengawasi sebaik mungkin, ingin tahu sebesar apa rasa sakit yang timbul dan efek lain dari derita itu.

Martin sendiri tidak mengajak Marni mengobrol selama sarapan berlangsung, bukan karena dia sengaja mengabaikan, melainkan sang mertua sudah memberi tahu sebelumnya agar mereka berkomunikasi lewat pandang saja agar Marni bisa bungkam sampai sarapan selesai.

Sekarang di kediaman keluarga kecil yang tengah berjuang mengembalikan tawa agar senantiasa meramaikan suasana secara tulus, hanya ada Marni dan Martha di tempat terpisah. Martin sengaja keluar membawa Markus jalan-jalan berkeliling komplek menggunakan stroller.

Setelah percakapan semalam, Martin yakin sang istri dan ibunya butuh waktu berdua saja untuk bicara dari hati ke hati agar menuntaskan segala perkara tanpa membatin lagi. Kalaupun gagal, Martin akan mencari cara lain agar Martha dan Marni berdamai, baru setelah itu menyelesaikan persoalan dengan Wulan yang masih belum diperbolehkan datang.

Diam-diam selama Martin pergi—kira-kira sudah sepuluh menit—Martha yang berada di kamar mencoba menyiapkan diri untuk bisa bicara dengan Marni. Suaminya tidak menyebutkan niat secara terang-terangan soal kenapa dia mengajak Markus pergi, kendati begitu Martha tahu niat tersembunyi Martin dan sekarang sedang dimanfaatkan sebaik mungkin karena tidak ingin mengecewakan siapa-siapa lagi—termasuk dirinya sendiri.

Martha bercermin, menepuk pipi gembilnya agar bangkit dari keterpurukan yang tidak kunjung pergi. Langkah pertama yang wajib Martha lakukan adalah bicara dengan Marni, karena bagaimanapun beliau adalah salah satu alasan mengapa wanita itu dalam kondisi begini. Bila langkah pertama berhasil, Martha yakin langkah berikutnya pun tidak akan sulit untuk dilalui.

Martha menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Di balik takut itu, Martha sadar egonya pun tinggi. Maka dari itu dia berusaha menurunkan egonya sedikit demi sedikit demi menemukan jati diri. Jika tidak dimulai darinya—apalagi Martin diam-diam berharap lebih—Martha akan makin jauh dari sosoknya yang asli. Sudah cukup bersembunyi dan menghindar dari sumber rasa sakit, kali ini biarkan Martha menghadapinya seorang diri.

Setelah mengumpulkan nyali sebanyak yang dia bisa, Martha keluar dari kamar dan sayup-sayup mendengar suara televisi yang volumenya sengaja dikecilkan agar dia tidak terganggu selama di kamar. Akhirnya Martha tiba di samping Marni yang duduk di sofa dan matanya lurus menatap televisi, tetapi pandangannya kosong tanpa ada yang diberi atensi. Nyalanya televisi hanyalah panjangan untuk memecah keheningan sekitar, meski sesungguhnya gagal sebab yang diinginkan Marni adalah hadirnya Martha dan mau menggapai uluran tangan.

“Bunda,” panggil Martha, tiba-tiba menggigil nyeri saat satu kata itu susah payah mengudara dari belah bibirnya. “Mau makan siang pake apa? Nanti … biar Martha pesenin.”

Marni awalnya tidak bereaksi ketika namanya dipanggil, mengira suara Martha hanyalah ilusi. Sampai ketika kalimat lain mengiringi, Marni menoleh ke sebelah kiri dan menemukan Martha yang setia berdiri. Marni sampai menganga kecil, takjub ketika Martha akhirnya mau menghampiri meski tahu keadaannya jadi tidak baik. Marni lantas sejajarkan tinggi, lalu tersenyum penuh haru menghargai sang putri yang berusaha mendekatkan diri.

“Biar Bunda yang masak kayak pas sarapan, ya. Kamu istirahat aja.”

Martha mengangguk patuh, lalu menunduk akibat tidak sanggup beradu pandang bersama Marni di hadapannya. Sebesar apa pun nyalinya, belum mampu mengalahkan ketakutannya. Kendati demikian, Martha tidak langsung pergi. Sepasang tungkainya seolah membeku di tempat agar tidak ke mana-mana dan mau satu langkah lebih maju melalui Marni.

Menyadari sang putri yang membutuhkan uluran nyata, Marni mengangkat kedua tangannya hati-hati, terulur menuju wajah Martha yang ditekuk takut. Marni tangkup kedua pipi Martha, menimbulkan efek samping tidak baik karena getar pada tubuh sang putri kian terasa melukai. Namun, Marni tidak mau mundur begitu saja. Beliau mengangkat wajah Martha dan disambut oleh tatapan penuh pilu yang paling menyakitkan diterima oleh sang ibu. Pilu yang berasal dari takut, rendah diri, hilang arah, dan tidak tahu cara untuk kembali utuh.

Tak pernah sekalipun Marni berkata kasar pada anak-anaknya sejak mereka kecil hingga dewasa. Semarah apa pun, haram hukumnya bagi Marni memaki anak-anak yang butuh dibimbing dengan baik dan diberi teguran secara benar. Tutur kata Marni sejak dulu selalu manis. Namun, siapa sangka bila tutur manis itu bisa membunuh mental seseorang yang tidak lain adalah putrinya sendiri.

“Jangan takut,” isak Marni saat Martha berusaha menghindari pandang. “Bunda nggak akan ngomong gitu lagi ke kamu, Nak. Maafin Bunda, ya. Bunda … janji bakal lebih baik sama kamu.”

Marni seka air mata Martha yang telah lebih dulu tumpah, lalu ditariknya sang putri ke dalam dekapan hangat yang selalu dibutuhkan saat berada di titik terendah. Martha sembunyikan wajah di balik pundak Marni, membasahi blouse yang dikenakan sang bunda tetapi tak jadi masalah asal duka yang dirasakan putrinya tuntas.

“Bunda jahat ya sama kamu? Bunda nggak baik ya sama kamu?”

Pertanyaan itu tidak sanggup dijawabkan melalui lisan, tetapi tirta Martha yang tumpah ruah dengan bebas sudah cukup menjelaskan banyak hal terpendam.

“Maafin Bunda ya, Nak. Maafin Bunda yang nggak baik ini, ya. Kamu boleh marah, tapi jangan takut sama Bunda, ya. Bunda lebih sedih kalau kamu menghindar.”

Lisan Martha tetap bungkam, tetapi getar tubuhnya yang makin tak terkendali jadi jawaban paling mengerikan, sebab di situlah Marni tahu putrinya masih jauh dari jangkauan.

“Anak Bunda paling cantik, paling baik, jangan gini lagi, ya. Bunda sayang kamu, Nak. Bunda sayang banget sama kamu, Martha. Beneran.”

Berkali-kali Marni berikan sanjungan, tetapi gagal memperdaya Martha akibat kata-kata buruk sang ibunda yang terlalu melekat. Marni belai rambut Martha yang terurai bebas, menangis bersama dengan akibat berbeda; Marni yang merasa bersalah dan duka Martha yang tak kunjung mereda.

Untuk saat ini, belum ada penyelesaian sempurna meski Martha telah memberanikan diri untuk saling berhadapan dengan luka. Kendati setidaknya perasaan ibu dan anak itu tersalurkan dengan cukup baik, membuat Martha dan Marni tahu harus berlakon seperti apa untuk ke depannya. Tidak ada lagi yang mengulang kesalahan dan mau menghadapi pahitnya realitas tanpa takut menghadapi kritikan.