Comfort Zone

“Kita lagi diikutin, Jibran. Apa kamu sadar itu?”
Pertanyaan Trian ditanggapi dengan anggukan karena sejak awal mereka pergi dari rumah Jibran, sang aktor sudah sadar tengah dibuntuti oleh mobil Fortuner hitam—mobil serupa yang sebelumnya juga mengikuti Jibran setelah menyelesaikan schedule-nya. Namun, Jibran tidak peduli dengan mobil yang terus berada di belakangnya dengan jarak aman dan berharap kehadirannya tidak diketahui. Pasalnya pikiran Jibran hanya terisi penuh oleh suara Eila setelah membuat pengakuan panjang hingga menangis.
Ya, sejak awal Eila menghubungi Trian, Jibran mendengar semuanya tanpa jeda. Saat itu Trian sedang ada di rumah Jibran untuk membicarakan soal schedule di depan mata. Ketika panggilan telepon masuk dari Eila, Jibran tak berpikir aneh-aneh meski menahan diri untuk tidak titip sapa agar sang puan tahu dia tengah bersama Trian. Awalnya Jibran cuek saja—sekaligus meredam rindu yang sudah ia tahan selama beberapa hari sebab tidak bertemu Eila, bahkan minim komunikasi.
Namun, ketika di awal cerita Eila sudah membawa nama sang aktor, Jibran gagal menudungi rindu dan menajamkan rungu demi menyimak segalanya. Dimulai dari Eila yang ternyata mengakui perasaan untuk Jibran pada sang kakak, lalu Eila yang berharap bisa memiliki Jibran, beberapa alasan yang membuat Eila memilih untuk tidak mengakui perasaannya, ketakutan yang ia melanda jika Jibran bersamanya, sampai terakhir soal Mia yang rupanya menyuruh Eila untuk menjaga jarak dari Jibran.
Semua fakta yang seharusnya didengar oleh Trian seorang membuat Jibran ikut kegirangan—khususnya soal perasaannya yang ternyata terbalas. Tentu saja Jibran tidak bisa mengabaikan kenyataan lain, seperti pesan dari Mia dan Eila yang menangis tanpa henti. Well, tangis Eila yang membuat Jibran tergerak untuk akhirnya bersuara, yang secara langsung membuka diri bahwa dia mendengar segalanya.
Jibran tidak mau Eila sendirian merasakan hal-hal buruk itu, di saat Jibran bisa menerima hal serupa untuk menjadi teman berbaginya. Lantas kini, setelah sedikit berdebat dengan Trian yang akhirnya luluh juga, Jibran diantar ke rumah Eila dengan risiko dibuntuti oleh orang asing yang penasaran dengan kehidupannya. Trian khawatir dengan aktor yang diurusnya, lain sekali dengan Jibran yang hanya dipenuhi soal bagaimana keadaan Eila di kediamannya.
“Aku telepon Eila dulu,” ujar Trian setelah mobilnya terparkir di depan gerbang rumah bercat putih, dengan taman di halaman yang ditanami bunga mawar yang tengah tumbuh.
Ada pula kedai kecil di samping pintu utama yang sudah tutup, di mana terdapat logo Sweet Crown pada pintunya. Di situlah Eila membuka usahanya yang kini tengah berkembang.
“Kamu mau masuk rumah juga?” tanya Jibran sedikit tak suka karena niatnya ingin memiliki waktu berdua agar bisa bicara empat mata. Kalau Trian ikut masuk juga—
“Tenang, aku paham kamu butuh ngomong empat mata sama Eila. Entar aku dikatain ikut campur urusan pribadi orang kalau masuk.”
Jibran mendesah lega dengan kepekaan Trian yang untuk saat ini tidak mengatur, apalagi mengomel tidak jelas padanya. Trian sudah menempelkan ponselnya ke telinga dan menunggu panggilan tersambung pada Eila, sedangkan Jibran harap-harap cemas.
Saat panggilan akhirnya tersambung, Jibran memberi kode tanpa bersuara agar Trian menyalakan speaker. Train yang paham langsung menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu menyalakan pengeras suara agar Jibran bisa ikut mendengar tuturan Eila.
“Kenapa telepon aku?” Suara Eila sedikit bergetar, seakan tangisnya masih tersisa.
“Aku udah di depan rumah, nih. Tolong buka pintu. Aku males mencet bel.”
Jeda sejenak, lalu tak lama Eila bersuara, “Kamu atau Jibran yang datang?”
Dugaan itu membuat Trian dan Jibran panik, tapi untungnya sang kakak bisa mengendalikan situasi sebelum Eila tambah curiga.
“Ini beneran aku. Jibran aku larang datang. Soalnya gawat, bisa-bisa malah ngebucin.”
Jibran melotot memberi sanksi, tapi diabaikan Trian karena masih menunggu respons Eila yang terbilang lama. Trian yakin Eila masih menaruh curiga, tapi dia pun yakin adiknya akan luluh.
“Buruan. Ini aku bawain list order croffle banyak. Aku harus kasih langsung biar jelasin order-nya apa aja.”
“Yaudah, bentar.”
Jibran dan Trian sama-sama puas karena Eila luluh dengan alasan order croffle. Jibran membantinkan maaf karena Trian sudah berbohong, tapi turut senang ketika mendengar suara pintu yang kuncinya dibuka. Artinya Eila percaya bahwa hanya Trian yang datang, tanpa Jibran yang tengah mempersiapkan diri untuk bertemu sang pujaan.
“Udah aku buka. Bener ya nggak sama Jibran?”
“Iya,” jawab Trian tegas. “Emang kenapa sih kalau dia ikut? Takut banget. Sekarang atau nanti juga bakal ketemu.”
“Yaudah, ketemu nanti aja. Sekarang nggak usah,” balas Eila yang nada bicaranya sedikit meninggi, pertanda kurang nyaman membahas soal Jibran.
Sang aktor yang dibicarakan malah menahan tawa karena sebenarnya sekarang dia di sini, menunggu waktu untuk masuk ke rumah Eila dan bicara empat mata.
“Kamu langsung masuk aja tanpa mencet bel atau ketuk pintu, ya. Nanti Eila curiga kalau kamu begitu,” ucap Jibran setelah sambungan telepon terputus.
“Enggak apa-apa?”
“Enggak apa-apa. Mending gitu, lagian adik aku juga nggak akan lagi aneh-aneh. Terus … ini aku nggak enak sebenernya, tapi kalau bisa dan masalahnya langsung beres, kamu nginap aja buat temanin Eila. Soalnya Natta nginap di rumah temannya, jadi aku nggak mau dia sendirian.”
Jibran mengerjap, semangatnya langsung duduk tegak dan menatap Trian tak percaya. “Serius?”
“Catatan, masalahnya langsung beres,” tegas Trian seraya mengangkat jari telunjuknya. “Udah, sana. Jangan lama-lama di sini. Nanti Eila curiga.”
Jibran mengangguk dan bergegas melepas seatbelt-nya. Jibran menepuk bahu Trian dua kali seraya berkata, “Thanks, Calon kakak ipar. Doain yang terbaik.”
“Geli! Cepetan pergi!”
Jibran terkekeh pelan sembari membuka pintu dan keluar dari mobil. Tanpa berlama-lama, Jibran lekas berjalan menuju rumah Eila dan menyiapkan banyak nyali di setiap langkahnya. Ini kedua kalinya Jibran ke rumah Eila, tapi dengan tujuan berbeda.
Sebelumnya Jibran mengantar Eila pulang karena saat itu sudah malam tanpa sempat masuk untuk bertamu, sedangkan hari ini dia datang untuk meluruskan perihal perasaan yang sama-sama mereka miliki. Sesuai perintah Trian—yang hari ini sedang baik—Jibran langsung masuk ke rumah Eila yang masih terang. Aroma butter menyambut Jibran, seakan dia sedang di toko kue, bukan di rumah seseorang.
Setelah menutup pintu, Jibran berjalan dengan hati-hati dan matanya memandang ke sana kemari untuk mencari jejak Eila. Hening sekali, sampai Jibran khawatir Eila sebenarnya tahu dia yang datang dan sekarang tengah sembunyi. Jibran tidak ingin membiarkan itu, karena bagaimanapun mereka perlu bicara, bukan bermain petak umpet.
“Ada berapa order-nya? Aku nggak bisa bikin sekaligus karena lagi banyak juga. Jadi, kalau bisa nunggu dulu atau kamu bantu—”
Suara yang berhenti mengudara itu mengundang atensi Jibran dan berhasil menemukan sosok yang begitu damba untuk ditemuinya. Eila yang baru keluar kamar lagi memaku di tempat, seketika pikirannya kosong saat hatinya memberi instruksi untuk kabur.
Sama halnya dengan Jibran yang tak langsung mendekati Eila, dia malah mengamati penampilan sang puan dari atas hingga bawah. Eila mengenakan piama berwarna marun dengan celana selutut. Sebelum Eila benar-benar kabur, Jibran segera beraksi tanpa mau menunggu.
“Aku ke sini diantar Trian dengan kemauan sendiri,” Jibran menjawab tanda tanya yang tertera jelas di wajah Eila. “Aku juga udah bilang mau ke sini buat tenangin kamu.”
Eila yang sudah kepalang malu tak berani untuk kabur. Menghindar pun sudah terlambat karena Jibran kini ada di depannya dengan segala hal yang ia dengar lewat telepon. Jadi, mau tidak mau, Eila harus menghadapi Jibran dengan nyali seadanya. Pikiran Eila sudah terisi penuh, tapi ia tetap bingung untuk mencari kata tepat demi membalas Jibran.
Eila tidak berniat menyangkal semua pengakuannya di telepon karena tahu itu percuma. Namun sayang, lisannya tak mampu bersuara, terlebih ketika Jibran mengambil dua langkah mendekat dan menyisakan tiga langkah lagi jika mereka ingin lebih dekat.
“Maafin aku karena Trian harus ngebohong soal order. Kalau nggak gitu, kamu belum tentu ngasih aku izin masuk. Tapi di luar itu, aku mau balas semua yang kamu bilang tadi. Jadi, tolong dengar sampai aku selesai.”
Eila tidak merespons, tapi ia patuh dengan perintah itu. Jibran kembali mengambil satu langkah mendekat, menyisakan dua langkah lagi untuk merapat. Namun, Jibran sengaja sisakan jarak itu agar nantinya Eila yang membuat pilihan setelah mendengar balasannya. Apakah Eila mau meneruskan langkah bersamanya atau tetap di jalannya sendiri.
“Kamu perempuan pertama yang berhasil ngasih tahu aku soal perasaan yang namanya kagum, suka, dan cinta. Aku jaga perasaan itu untuk beberapa lama, tanpa peduli aku harus patah hati karena bertepuk sebelah tangan. Setelah cukup lama, aku bisa pendam perasaan itu dan berpikir semuanya udah nggak ada buat kamu. Tapi saat kita ketemu lagi—dan aku akui itu karena keinginan sendiri—ternyata aku masih ngerasain hal sama dan sadar perasaan itu nggak pernah hilang buat kamu, Eila.
“Jadi, jangan takut untuk ngakuin perasaan kamu ke aku. Jangan ngerasa nggak sepadan sama aku, karena kita tetap sama tanpa mandang apa yang aku punya. Soal karier, kamu nggak perlu khawatir karena aku bakal urus semuanya. Aku bakal jagain kamu kalau seandainya publik tahu. Aku nggak akan pernah lepasin tangan kamu, nggak akan biarin kamu jauh tanpa pengawasan, dan selalu ada saat kamu kesulitan.
“Aku nggak akan jadi siapa-siapa tanpa kamu, Eila. Karena berkat perasaan ini, aku jadi kayak sekarang. Kamu emang nggak ada di sana saat awal aku berkarier, tapi selalu ada kamu yang jadi alasan aku begini. Jadi, aku harap kamu mau jadi bagian dari langkah aku ke depannya, karena saat sama kamu itulah aku ngerasa lengkap.”
Bolehkah Eila menangis? Oh, tidak. Eila sesungguhnya sudah menangis, hanya saja dia tidak sadar kala kristal bening itu mulai bertumpahan untuk sekian kalinya dari pelupuk mata. Jibran mengepalkan tinjunya, menahan diri untuk tidak langsung memeluk Eila demi menenangkannya dari tangis. Bukan karena tidak peduli, tapi Jibran ingin Eila menerimanya sesuai kemauan sendiri tanpa merasa dipaksa.
Katakanlah Jibran takut ditolak, tapi dengan begitu dia tak perlu bersusah payah mengikhlaskan Eila kalau ada di pelukannya. Eila embuskan napas berat, tapi tak mengurangi rasa sesak di dada. Eila yang terbiasa tegas justru jatuh berhamburan, tak sempat menolong harga dirinya.
“Gimana sama karier dan penggemar kamu? Apa kamu nggak takut dihujat atau … diomongin jelek-jelek?”
Jibran tersenyum tipis karena akhirnya Eila mau bicara. “Aku nggak takut sama sekali, Eila. Hujatan kayak gitu udah pernah aku terima, jadi bukan masalah lagi sekarang.”
“Terus gimana sama … orang tua kamu? Ditambah kamu juga udah dijodohin.”
“Aku bukan anak kecil yang bisa diatur. Aku punya keputusan sendiri dan kamu orangnya, Eila.”
“Tapi aku … bukan siapa-siapa …,” lirih Eila yang makin membiarkan kesusahan hatinya tumpah ruah.
Bukan demi menarik simpati, melainkan karena Eila tak mampu menahan diri lagi. Keinginannya untuk memiliki Jibran makin membuncah, tapi nyalinya untuk menuangkan itu semua menjadi keputusan tetap tidak mudah. Jibran menggeleng, dia tak setuju dengan anggapan Eila tentang dirinya sendiri.
“Kamu itu cinta pertama aku, nggak akan pernah berubah. Dulu aku nggak berani untuk berharap kita sama-sama, tapi sekarang saat tahu kita punya perasaan yang sama, aku nggak mau diam aja, Eila. Kamu boleh nolak aku, tapi aku nggak mau perasaan ini sia-sia karena nggak sampai. Lebih besar lagi, aku mau jalanin waktu yang tersisa sama orang berharga dalam hidup aku.”
Rasa percaya diri Eila berhasil timbul berkat ucapan Jibran, meski ketakutannya masih tersisa. Eila tidak takut untuk melawan dunia yang menentangnya, tapi ia takut Jibran yang akan menerima kecaman dari segala arah. Namun, ketakutan itu berhasil Eila tepis bersamaan dengan air mata yang tak kunjung habis. Digantikan dengan rasa ingin melindungi yang kuat agar Jibran bisa menghadapi semuanya. Ditambah lagi rasa ingin memiliki Eila tak bisa gugur begitu saja, terus menguat sampai sang puan tak mampu menahannya.
Biarkan air matanya terus tumpah, yang terpenting dia tidak takut melawan Semesta dengan pilihannya. Eila merobohkan dinding yang sempat ia buat untuk menjaga jarak, melaluinya dengan perasaan bebas, karena kali ini ia memiliki tujuan yang lebih besar; bersama-sama dengan Jibran dan melindunginya dari segala tirani dunia. Eila mengambil sisa langkah yang membentang, lalu memeluk Jibran seerat mungkin dan menumpahkan sisa air matanya.
Jibran langsung membalas dekapan itu sama eratnya, mencurahkan segala rasa yang sama meski tanpa aksara yang tertuang. Jibran elus surai legam itu, menenangkannya yang masih menangis. Jibran biarkan kausnya basah, yang penting Eila bisa lega.
Jibran juga merasakan kelegaan yang sama, karena dekapan ini menjadi tanda bahwa Eila menerimanya. Kini Jibran tidak akan merasa takut dengan apa pun, karena bagian dirinya telah lengkap. Jibran hanya perlu memastikan separuh dunianya akan selalu bersamanya, sama-sama menjadi zona nyaman yang jauh dari ancaman.
“Aku sayang kamu, Eila ….”
Eila tersenyum di balik tangisnya dan berkata, “Aku juga sayang kamu, Jibran.”
“Malam ini aku nginap buat temanin kamu, ya. Trian yang nyuruh.”
“Gi-gimana?”