Deretan Fakta

“Duduk, Jibran. Jangan berdiri lama-lama di situ.”
Suara Mia Yahya memecah lamunan Jibran yang fokus pada Kalani. Wanita itu masih tersenyum, menyiratkan sesuatu antara senang dan kepuasan, seakan tahu bahwa Jibran tidak berdaya dalam jebakan dia bersama beberapa orang yang mendampinginya hari ini. Mata merah Jibran menatap nyalang pada Mia yang memberi kode pada putranya untuk segera duduk, yang jelas membuat sang aktor tidak bisa ke mana-mana karena kelemahannya adalah ibunya. Jibran melanjutkan langkah dengan tidak bersemangat dan banyak pertanyaan di benak, khususnya kenapa ada Samuti Rakha dan Timon.
Oh, tidak. Jibran sudah punya hipotesis dari situasi ini yang perlu dibuktikan. Maka pembuktian akan segera dimulai saat Jibran sudah menjatuhkan diri di kursi, tepatnya di antara Jagad dan Mia. Sedangkan Trian duduk di samping Mia, ikut mempelajari situasi yang ada. Meski sudah terlibat karena dia bekerja sama dengan Mia untuk memastikan Jibran dan Eila putus, Trian tetap tidak tahu banyak hal, termasuk soal siapa yang akan dijodohkan dengan Jibran.
Ketegangan tak bisa dicairkan, terlebih ketika Jibran menatap Timon dengan penghakiman, lalu bergantian pada Samuti Rakha yang lagak ingin menantangnya. Jibran tak sempat menatap Kalani karena Jagad sudah lebih dulu bersuara. Memberi tahu sesuatu yang mulai menjawab situasi buruk ini.
“Nah, karena Jibran udah datang, gimana kalau kita mulai makan malamnya?” ajak Jagad yang berusaha mencairkan suasana, tetapi beliau tahu usahanya gagal karena semuanya fokus pada Jibran yang sedang mempersiapkan taringnya.
Beruntung, ajakan itu tetap direspons baik karena makan malam dimulai tanpa banyak basa-basi. Delapan orang itu makan dengan perasaan yang berbeda. Ada yang antusias, ada yang gugup, ada yang puas, juga kemarahan dari Jibran yang masih ia pendam.
Di tengah makan malam yang hanya diisi oleh suara alat makan, Mia menjeda dan menatap satu per satu orang yang masih sibuk makan, lalu berakhir pada Kalani dan Jibran yang duduk berhadapan.
Mia berdeham, lalu berkata, “Saya tahu kita lagi fokus makan, tapi gimana kalau sambil omongin sesuatu yang udah jadi rencana lama? Supaya makan malamnya nggak tegang.”
Aiden yang sejak tadi sudah menahan diri membalas, “Boleh sekali, Bu. Adik saya juga kelihatan nggak sabar mau cepet bahas hal ini.”
Kalani yang disebut-sebut pipinya langsung merona, membuat Jibran tertawa ketus dan mengundang atensi orang-orang yang hadir. Jibran tak peduli dengan pandangan heran yang ditujukan padanya, karena dia hanya ingin pembuktian atas hipotesis di kepalanya agar pertemuan ini bisa segera berakhir.
“Bu Mia, sebelumnya boleh saya memperkenalkan diri dulu di depan Jibran?” Giliran Samuti Rakha yang mengambil ancang-ancang. “Dia udah kenal saya sebagai sutradara, jadi kali ini saya mau kami saling kenal sebagai sosok lain.”
“Silakan aja, Pak Rakha,” sahut Jagad seraya tersenyum lebar.
Samuti Rakha—yang akrab dipanggil Rakha ini menjatuhkan pandang pada Jibran yang tak berdaya dalam jebakannya. Rakha tersenyum, berlawanan dengan Jibran yang justru memandangnya sengit.
“Jibran, kenalin. Saya Samuti Rakha, papanya Kalani, perempuan yang mau dijodohin sama kamu. Di sebelah Kalani ini ada Timon, dia omnya Kalani, terus di samping Timon ada Aiden, anak sulung saya dan kakaknya Kalani.”
Perkenalan itu membuat Jibran mengetatkan rahang dan mencengkeram garpu di tangan kirinya. Matanya kian nyalang, berwarnakan merah yang jelas tidak ramah untuk dipandang. Namun, tak melunturkan niat keempat—ralat, keenam orang yang sudah membuat rencana sejak lama untuk menjodohkan Kalani dan Jibran. Malah mereka sudah menunggu momen ini hingga akhirnya bisa bertemu pandang.
“Saya teman lama Jagad dan saya orang yang menawarkan perjodohan ini sama orang tua kamu. Setelah saya kasih foto Kalani dan sempat ketemu sama anak saya dua kali, mereka cocok dan akhirnya setuju untuk jodohin kamu sama Kalani.”
Cerita singkat itu membuat kepala Jibran makin mendidih, tinggal menunggu meledak hingga mengeluarkan isinya yang panas dan menyerang siapa pun yang ada di dekatnya. Senyum kepuasan yang ditunjukkan Rakha, ekspresi tak berdosa dari Timon, serta antusias Aiden dan Kalani membuat Jibran muak.
Dia yang seharusnya menahan diri justru gagal membentuk benteng itu. Sebab tangan Jibran sudah mengerahkan seluruh tenaganya, lalu menancapkan garpu pada meja kayu hingga tembus pada lapisannya. Suaranya mengejutkan seisi ruangan, tetapi tidak menggoyahkan niat yang sudah mempermainkan Jibran.
“Sebenernya rencana apa yang kalian buat?” tanya Jibran dengan tangan kiri yang masih mencengkeram garpu. “Apa film Perfect Wife sama audisi berbulan-bulan itu cuma akal-akalan buat jodohin saya?”
Kengerian terpancar ketika ekspresi Jibran menggelap dengan merah di matanya tak luntur. Mia takut, berusaha menenangkan putranya, tapi beliau tahu itu percuma. Jagad yang selama ini terlihat seperti orang yang naif, nyatanya dari awal tahu banyak hal, sama seperti istrinya.
“Jibran, film itu nggak ada sangkut paut sama perjodohan ini. Jadi—”
“Jadi apa?” Jibran menjatuhkan pandang pada Jagad yang berusaha menjelaskan. Dusta, pikir Jibran. Karena tidak mungkin ini sebuah kebetulan semata. “Jangan bohong sama aku, Ayah.”
“Fine. Kita bongkar aja,” sahut Aiden ringan. “Lagi pula, Jibran pasti udah nebak dari situasi ini. Sebesar apa pun kita ngebohong, nggak mungkin dia percaya gitu aja.”
“Film itu beneran ada, Jibran.” Rakha secara tidak langsung setuju dengan gagasan Aiden karena ia mulai membeberkan keadaan yang sesungguhnya. “Saya udah nyiapin film Perfect Wife sejak lama untuk anak saya, Kalani, yang jadi inspirasi sosok Anata Hapsari. Jauh sebelum ada perjodohan ini, saya udah latih Kalani untuk berperan sebagai Anata, dandan kayak Anata, karena itu dia sempurna. Setelah perjodohan ini dimulai, saya belum kepikiran untuk jadiin kamu lawan main Kalani. Sampai ketika mama kamu mau batalin perjodohan, saya nggak bisa diam aja dan ancam dia dengan bawa-bawa kamu.”
Jibran mengernyit, menambah kengerian dalam ekspresinya. “Jadi, Anda yang ngasih ide untuk jatuhin karier saya dengan buat kabar hoaks? Anda kerja sama dengan Mister Timon yang diajak sama seseorang untuk bikin kabar itu.”
Rakha tertawa kecil seraya mengangguk. “Kamu bener banget, Jibran. Lewat orang CelebStat, Timon diajak untuk ngasih kabar buruk soal kamu. Sayangnya Timon nggak setuju, kecuali soal perjodohan. Akhirnya saya pake alternatif lain, yaitu nawarin kamu main film ini lewat Timon. Apalagi saya tahu kamu mau keluar dari Punch, dan Timon setuju film itu akan jadi syarat supaya kamu keluar, sedangkan untuk saya iu adalah cara supaya kamu dekat sama Kalani.”
“Jadi, dari awal udah ada kecurangan,” ketus Jibran. “Enggak heran akting dan penampilan dia yang paling baik di antara yang lain.”
“Itu strategi, Jibran. Toh, kamu sendiri yang milih Kalani berdasarkan akting dan performanya. Malah saya sempat takut kamu nggak akan milih Kalani.”
“Tapi itu tetap curang, Pak Rakha. Anda sudah melatih Kalani lebih awal, bikin dia kelihatan kayak Anata Hapsari, yang jelas bikin saya kekecoh. Coba aja Kalani nggak dilatih dari awal, saya nggak yakin dia mampu jadi Anata. Terlebih lagi, saya ragu dia pantas jadi istri saya.”
“Kita pasti cocok, Jibran,” Kalani bersuara dengan penuh percaya diri. “Bahkan penggemar kamu juga berpikir hal sama.”
“Aku nggak pernah mau sama kamu, Kalani. Aku udah nemu orang yang bakal jadi istri.”
“Jibran!” sentak Mia yang sudah gemas dengan cekcok di depannya. “Kamu nggak bisa ngomong kayak gitu. Kalani akan jadi istri kamu dan nggak ada penolakan.”
Ketegasan Mia makin membuat Jibran muak. Ia yang masih berusaha tenang akhirnya meledak bagaikan bom waktu. Jibran menggebrak meja dengan kedua tangannya hingga menghasilkan bunyi keras yang memekakan telinga dan mengejutkan semua orang.
Jibran berdiri, napasnya tersengal seakan sudah berlari dengan jarak yang panjang. Tak ada keramahan atau senyum menawan ia tebar. Jibran menunjukkan taring dan persona lain yang untuk menunjukkan bahwa dia tidak bisa diatur jika sudah persoalan pribadi.
“Biar saya rangkum.” Suaranya berat dan dalam, makin terkesan menyeramkan. “Perjodohan ini dimulai tanpa persetujuan saya, tapi mama saya nggak nerima dan Pak Rakha malah mengancam untuk menyebarkan kabar bohong. Terus Mister Timon, saya dengar rencana soal kabar bohong dengan jelas, dan kalau boleh jujur, itu alasan terbesar saya mau mundur dari Punch dan berhenti berkarier. Artinya Anda terlibat dalam rencana perjodohan ini.”
“Kalani keponakan saya dan semua mau yang terbaik,” jawab Timon tanpa merasa bersalah pada aktor kesayangannya. “Dia juga yang paling pantas sama kamu, Jibran.”
Jibran tidak peduli dan beralih pada Aiden yang duduk tenang sembari menatap sang aktor remeh. Ini pertama kalinya mereka bertemu, tapi Jibran yakin keterlibatan Aiden juga cukup besar.
“Apa kamu yang nyuruh orang untuk ngikutin saya dan bekerja sama dengan mama saya?”
Aiden bertepuk tangan. “Bingo! Kamu bener. Tentunya atas perintah papa saya juga untuk mastiin kamu bersih dari skandal dan masih lajang. Kalani nggak boleh punya pasangan yang punya skandal.”
Jibran beradu pandang dengan Mia yang sekujur tubuhnya sudah bergetar. Ia takut Jibran akan berbuat ekstrem saat nyaris tidak bisa mengendalikan segala emosi yang menguasainya.
“Kenapa Mama senekat ini …?”
“Mama nggak mau kamu dapat gosip yang nggak bener, Jibran. Lagi pula, nggak ada salahnya nerima perjodohan ini. Kalani perempuan yang baik, dia juga sepadan sama kamu.” Mia mampu bicara lancar, tapi getaran pada suaranya tak dapat membohongi siapa-siapa.
“Terus Ayah,” kini Jibran menaruh atensinya pada Jagad yang selalu baik, “apa Ayah juga tahu soal ini?”
Jagad memandang lurus ke arah piring, tak sampai hati mendengar suara Jibran yang nyaris tercekat di tenggorokan. Setelah menghimpun keberanian, barulah Jagad mau menatap Jibran.
“Ini semua demi kebaikan kamu, Jibran.”
“Enggak ada yang namanya kebaikan kayak gini!” hardik Jibran yang sudah muak dengan kalimat klise itu. “Cuma saya yang boleh nentuin apa yang baik dan nggak buat saya. Bukan kalian. Apalagi kalian berempat,” tunjuk Jibran pada Aiden, Timon, Rakha, dan Kalani yang tidak goyah melihat ledakan emosinya. “Kalian licik karena pake kekuasaan. Dari semua aktor yang ada, kenapa harus saya? Kenapa nggak pilih orang lain yang lebih pantas sama Kalani? Saya udah punya orang lain, dan gara-gara kalian semua, kami nggak bisa bahagia!”
Jibran mundur selangkah dengan gerakan kasar, hingga kursi yang sempat ia duduki jatuh tak berdaya. Jibran berjalan gontai menuju pintu keluar. Tenaganya sudah terkuras, padahal semuanya belum tuntas. Namun, ia tidak sanggup lagi berlama-lama dengan orang yang berniat merenggut bahagianya. Termasuk bersama orang tuanya.
“Ayo, Trian. Kita pulang. Cuma kamu yang dukung aku sekarang.”
“Aku nggak sepenuhnya dukung kamu, Jibran.”
Langkah Jibran harus terjeda akibat Trian melontarkan sesuatu yang tidak diduga. Jibran berbalik dan menatap Trian yang tetap duduk di tempat. Dari situ bisa terlihat ekspresi seisi ruangan tidak ada yang terkejut dengan ucapan Trian, mengartikan bahwa manajernya, pria yang paling Jibran percaya dan kakak Eila, adalah salah satu dalang di balik rangkaian drama ini. Trian beradu pandang dengan aktor yang dijaganya, tanpa rasa bersalah ataupun iba.
“Aku diminta untuk mastiin kamu sama Eila putus. Aku yang laporin gerak-gerik kamu sama Eila ke Bu Mia. Aku juga diajak kerja sama supaya kamu mau dijodohin.”
Tubuh Jibran seketika lemas. Genangan air di pelupuk matanya nyaris tumpah ruah karena deretan kenyataan di depan berhasil menambah pilunya. Jibran kepalkan dua tinjunya, menghimpun segala kekuatann yang masih tersisa untuk bicara pada Trian.
“Kenapa kamu harus gitu, Trian?”
“Karena cepat atau lambat, kalian pasti putus. Jadi, lebih baik dipercepat supaya adik aku nggak patah hati. Gimanapun juga, Eila prioritas aku dibandingkan kamu. Sebagai kakak, aku nggak mau Eila harus ditinggal nikah.”
“Alasan yang konyol,” hina Jibran. “Tanpa lihat perjodohan ini, aku pasti berjuang buat Eila. Aku nggak akan ninggalin dia. Aku bakal bikin dia jadi bagian keluarga, bukan Kalani,” tegasnya dengan nada yang dipaksakan meninggi. “Tapi terima kasih, karena berkat kalian, aku jadi tahu bahwa perjuangin Eila adalah pilihan yang tepat.”
Jibran berbalik dan undur diri dari tempat yang mengancam ketenangannya. Ia tinggalkan orang-orang yang sudah berkhianat dan berniat jahat, menyelamatkan diri untuk sesuatu yang telah ia pilih sejak lama. Meski Jibran sadar bahwa ketika langkahnya keluar dari kediaman Adelard, ia hanya sendiri dengan sejuta beban yang ia pikul tanpa tempat bersandar.