Dia Tahu

Selepas berbalas pesan dengan Julian—yang tidak biasanya baik—Martin segera ke kamar dan memeriksa keadaan Martha yang tadi masuk lebih dulu untuk menidurkan Markus. Tepat saat pria itu masuk, Martha tengah berdiri di samping ranjang putra mereka, mengamati Markus yang baru saja tidur dan memastikan bayi itu tidak akan bangun sampai waktunya tiba.
Martin berikan dekapan hangat dari belakang tubuh Martha, berusaha menyingkirkan kabar buruk dan komentar pedas yang netizen layangkan terkait istrinya. Benar soal Martha menegur anak SMA, sedangkan memakai fisik?
Astaga! Demi Tuhan itu adalah kabar paling konyol yang harus Martin musnahkan dari muka bumi sebelum Martha tahu dia sedang jadi bulan-bulanan manusia maha benar.
“Markus udah tidur, tuh. Kamu juga tidur, ya. Pasti capek.”
Sengaja Martin meminta demikian agar Martha tidak membuka ponselnya, langsung tidur daripada membaca isu miring terkait dirinya yang belum lama ini kembali ke Instagram. Martha langsung menurut, lantas berjalan mendekati kasur dan mulai berbaring, disusul oleh Martin setelah mematikan lampu hingga kamar gelap gulita.
Martin mendesah lega sebab Martha bisa istirahat tenang tanpa gangguan apa pun di kepalanya. Sayang, kelegaan itu hanya sesaat, karena tanpa aba-aba, Martha seketika bersuara hingga Martin kembali membuka matanya yang sempat terpejam.
“Salah ya aku negur anak SMA itu yang udah keterlaluan?”
Ya, Tuhan …. Martin tidak sanggup. Oh, semoga saja Martha hanya menanyakan perihal kejadian tadi, bukan tahu apa yang tengah ramai di media sosial.
“Martha, kamu nggak—”
“Aku nggak sampai mukul mereka, kok. Kenapa pada bilang aku mukul?”
Tersirat ketakutan di sana yang segera Martin halau oleh pelukan erat. Jika sudah begini, dapat dipastikan Martha telah memeriksa keadaan media sosial yang kisruh.
“Aku tadi iseng cek sosmed mau upload foto lagi, tapi … aku nggak nyangka tadi sebesar itu … jadinya … aku beneran nggak gitu … aku—”
“Iya, kamu nggak gitu. Aku saksinya, nanti aku yang urus sampai selesai. Kamu nggak salah kok, Sayang.”
Martin menyembunyikan wajah Martha di dadanya, mengelus punggung sang istri yang bergetar menahan segala rasa negatif pada dirinya. Selama ini Martha selalu tabah mendengar cemoohan orang lain terkait kondisi fisiknya yang berubah, sedangkan kali ini semuanya terlalu kacau, tak dapat ditimbun oleh ketidakpedulian.
Sama seperti Martin yang tidak mampu menahan diri untuk menerkam siapa saja yang telah mencaci istrinya, Martha pun tidak bisa berdiri kokoh lagi saat fitnah dan cacian berdatangan tiada henti untuk meruntuhkannya. Martha tidak menangis, justru Martin yang mati-matian menahan air matanya sebagai pengganti kemarahan yang gagal dilampiaskan.