Diskusi Internal

“Katanya hari ini Ardania ikut ke audisi.”

Aiden menunjukkan sebuah foto di ponselnya pada Mia Yahya yang duduk di hadapannya. Di layar terdapat potret seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam, topi, dan masker untuk menyembunyikan wajahnya. Sekilas tak berbeda jauh dengan staf yang juga tertangkap kamera di belakang, jadi penampilannya tidak terlalu mencolok dan orang luar pasti menganggap dia bukan oknum jahat.

Namun, lain halnya dengan Mia yang telah diberi tahu siapa sosok itu. Ardania Eila Madaharsa ikut ke audisi hari ini, bersama manajer dan staf Jibran lain bernama Natta. Harusnya Mia biasa saja karena Jibran mengenalkan Eila sebagai stafnya. Namun, mengingat siapa Eila sekarang di mata putra tunggalnya, Mia tidak bisa tenang.

“Jadi, dia sama Jibran pacaran?” tanya Aiden seraya memasukkan ponsel ke saku celananya. “Berarti pas Jibran ke rumah Ardania, saat itu mereka udah pacaran?”

Mia menggeleng. Bukan karena tidak tahu, melainkan ragu. “Saya nggak yakin udah berapa lama mereka pacaran. Jibran nggak ngasih tahu secara detail.”

“Berarti kita nggak boleh biarin mereka pacaran terlalu lama, Bu Mia. Makin lama mereka sama-sama, makin susah juga maksa Jibran buat nerima perjodohan.”

Mia setuju, karena bagaimanapun perjodohan ini sudah direncanakan jauh sebelum Eila bertemu dengan sang akot dan di luar sepengetahuan Jibran. Sang mama tahu membuat perjanjian begini tanpa diskusi dengan putranya terkesan kejam, tapi beliau tidak bisa menolak dan bagaimanapun caranya rencana ini harus terlaksana. Jadi, Eila yang orang baru harus segera disingkirkan.

“Saya mau Jibran dan Eila tetap aman, Aiden. Jadi, jangan berbuat aneh-aneh sama mereka.”

Aiden tersenyum miring seraya meraih secangkir teh dari meja. Setelah menyeruput teh yang kali ini lebih hangat, Aiden berkata, “Saya cuma ditugaskan untuk mastiin Jibran nggak kena skandal apa-apa karena mau dijodohin. Makanya saya bantu awasin Jibran lewat orang kepercayaan saya.”

“Tapi saya udah bilang untuk berhenti ngawasin gerak-gerik dia, Aiden. Sekarang dia udah tahu sering diikutin.”

Ada kepanikan di balik nada bicara Mia. Wajar, karena beliau sudah menjadi tersangka utama di mata Jibran dan bisa saja putranya tak lagi percaya pada sang mama. Mia tidak mau rencana untuk mengikuti Jibran diteruskan karena baginya itu percuma.

“Bukan Anda aja yang nyuruh saya untuk ikutin Jibran, Bu. Papa saya juga nyuruh begitu. Karena Jibran nanti berurusan sama adik saya, berarti saya nggak bisa diam aja. Gimanapun juga saya harus mastiin calon suami adik saya bersih dari skandal. Itu udah perjanjiannya.”

Mia bungkam ketika diingatkan lagi perihal perjanjian yang telah dibuat cukup lama tanpa bisa ditarik kembali. Mau tidak mau, semuanya harus berjalan sesuai ketentuan yang telah dibuat atau Jibran yang akan kena getahnya. Mia menunduk sejenak, menatap secangkir teh yang kepulannya telah hilang. Biasanya teh hangat bisa menjernihkan pikirannya, tapi tidak untuk kali ini yang malah mengerikan.

Setelah bungkam untuk beberapa saat, Mia bersuara. “Saya saranin kamu untuk segera pergi dari sini, Aiden. Saya nggak mau ayahnya Jibran lihat kamu.”

Aiden tersenyum sengit seraya meletakkan cangkir teh ke meja. Ia tak merasa tersinggung sedikit pun karena diskusi hari ini telah cukup. Aiden berdiri tanpa melunturkan senyumnya, menyalami Mia yang menyambut seadanya, lalu berpamitan yang terdengar mengancam di rungu Mia.

“Saya pergi, Bu Mia. Semoga Jibran dan adik saya bisa berjalan sesuai rencana.”