Drama Pelik

“Ini … kamu mau ke mana dulu?”
Jibran bertanya dengan nada panik kala ia menyetir dan diarahkan oleh Kalani menuju suatu tempat. Jibran panik bukan karena dia akan dibawa ke tempat aneh, melainkan dia familier dengan jalanan yang sudah beberapa kali dikunjungi. Jibran tidak ingin curiga, tapi makin jauh perjalanan, makin dekat juga ke tujuan yang ia kenal menuju rumah Eila berada.
Kalani tidak mungkin mengajaknya ke rumah Eila dan membuat drama aneh, ‘kan?
“Aku mau ambil croffle dulu. Manajer aku nggak bisa, jadi sekalian aja. Crofflenya buat dimakan di tempat aku latihan, dibagi-bagi sama orang sana.”
“Croffle?”
Jibran pura-pura tidak tahu, padahal di kepalanya sudah terbayang bahwa yang dimaksud adalah croffle yang dipesan di tempat Eila.
“Inget nggak croffle yang kamu bagi-bagiin ke staf? Nah, itu enak banget. Makanya aku pesen lagi. Terus sekalian aja aku ambil sebelum ke tempat latihan. Enggak masalah, ‘kan?”
Jibran mengangguk ragu, pertanda bahwa sebenarnya ini adalah masalah besar jika Kalani dan Eila sampai bertemu. Jibran harap Eila tidak di rumah, jadi pesanan diberikan oleh Natta saja. Well, Jibran meragukan itu terjadi, tapi tidak ada salahnya untuk berharap.
Mobil Jibran sudah berhenti di depan gerbang kediaman pacar—maksudnya mantan pacarnya. Masih sama seperti yang terakhir Jibran kunjungi, tapi rasanya aneh karena kali ini dia datang bukan sengaja untuk mengunjungi Eila, melainkan untuk mengantar Kalani mengambil pesanannya.
“Ayo, turun,” ajak Kalani seraya melepas seatbelt.
“Aku di sini aja,” tolak Jibran karena tidak mampu bertemu Eila.
“Aku nggak enak biarin kamu nunggu. Kesannya kayak kamu jadi supir doang. Ikut aja, ya. Bentar, kok.”
Jibran amati rumah Eila dengan pandangan nanar, sampai akhirnya ia melepas seatbelt dan keluar lebih dulu yang membuat Kalani tersenyum senang. Kalani berjalan di depan dengan percaya diri, lain dengan Jibran yang langkahnya penuh ketakutan karena dia akan bertemu Eila bersama orang luar—pasangannya di film dan orang yang akan dijodohkannya. Jibran penasaran seperti apa reaksi Eila.
Terkejut? Sedih? Marah? Cemburu? Bingung? Well, apa pun reaksinya, Jibran yakin Eila bisa mengatasinya dengan tenang. Mereka masuk ke toko dan memencet bel yang ada di atas etalase sebagai penanda kehadiran pelanggan. Jibran berdiri di dekat pintu, sengaja agar dia bisa bergegas kabur jika pertemuan yang tidak biasa ini sudah selesai.
Tak lama kemudian Eila masuk ke toko dengan senyum yang lebar. Namun, senyum itu hanya bertahan beberapa saat yang akhirnya luntur kala melihat siapa pelanggannya. Jelas Jibran paham arti reaksi itu, ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat kehadirannya dengan Kalani. Beruntung, Eila bisa mengendalikan situasi dengan baik. Eila kembali tersenyum dan menyapa dua pelanggannya yang bukan orang biasa.
“Halo. Selamat datang di Sweet Crown. Pesanan atas nama siapa?” sapa Eila setenang mungkin.
“Hai, waktu itu saya pesan atas nama manajer saya, Bia. Croffle lima puluh pcs tanpa topping.”
Pesanan itu membuat hati Eila panas karena kebetulan ini sama sekali tidak menyenangkan. Rupanya itu milik Kalani. Eila tidak cemburu, karena dia tidak berhak merasakan itu. Hanya tidak suka dengan pertemuan aneh bersama sang mantan yang kali ini untuk mengantarkan pasangannya dalam film mengambil pesanan.
Apa pun alasannya, Eila tetap harus profesional dengan memberikan pelayanan terbaiknya. Salah satu usaha agar Eila bisa mengendalikan diri adalah dengan menghindari adu tatap dengan Jibran. Eila berjalan menuju etalase di mana pesanan Kalani sudah disiapkan oleh Natta. Ia mengambil lima box croffle dengan total 50 pcs, lalu dimasukkan ke totebag warna putih berlogokan Sweet Crown di bagian tengah.
“Pembayaran sudah lunas, ya. Terima kasih sudah pesan di Sweet Crown,” ucap Eila seraya menyerahkan pesanan Kalani pada sang pemilik.
Biasanya Eila akan menambahkan kalimat, ‘Silakan order lagi’ pada setiap pelanggan. Sedangkan kali ini, Eila tidak mau banyak basa-basi agar Kalani tidak memesan croffle di tempatnya lagi dan bergegas pergi dengan Jibran.
Sang aktor tak pernah melepaskan pandang dari Eila yang pura-pura tidak mengenalnya. Rindu, marah, dan sedih bercampur menjadi satu dan mengacaukan segala situasi yang ada saat ini. Seandainya mereka bertemu di momen yang tepat, Jibran tidak akan ragu menabur senyum dan menceritakan banyak hal pada Eila, tentunya masih dengan pertahanan diri mengingat kini hubungan mereka berbeda.
Sedangkan sekarang Jibran hanya bisa berdiri kaku di dekat pintu seperti seorang pelayan, bukan aktor kenamaan yang akan disambut heboh. Jibran berharap Eila mau memandangnya sekali saja sebelum pergi, tapi sayangnya itu tidak terjadi hingga Kalani mengucapkan terima kasih dan pamit.
“Makasih juga, ya. Nanti saya order lagi. Permisi.”
Eila tersenyum penuh paksaan saat menanggapi Kalani, melambai seadanya saat wanita itu keluar begitu dibukakan pintu oleh Jibran. Tak mau berurusan terlalu lama, Eila kembali ke rumahnya, mengabaikan presensi Jibran yang diam sejenak demi menatap wanita yang dicintainya, tapi gagal karena dara itu telah menghilang dari pandangan.
Jibran embuskan napas pasrah dan ekspresinya berubah kuyu, setengah takut hubungannya dengan Eila makin memburuk. Jika benar begitu, Jibran tidak bisa diam saja. Setelah urusan ini usai, Jibran tidak boleh melepaskan Eila lagi.