Dua Anak

Malam kedua di kediaman baru sebelum esoknya kembali ke rumah lama—baru akan pindah setelah perkara selesai—Martha berbaring miring sembari menepuk pelan pundak Markus di sampingnya hingga tertidur.

Lupa membawa kasur Markus membuat sang tunggal terpaksa tidur satu kasur bersama orang tuanya, berakibat pada minimnya pergerakan Martin dan Martha selama tidur agar tidak mengganggu Markus. Jangankan bermesraan, bisa tidur tenang dalam posisi yang tepat saja sulit dilakukan.

Kamar utama di kediaman baru memiliki fasilitas yang kurang lebih sama dengan kediaman lama, bedanya lebih luas dan terdapat walk in closet yang lebih nyaman ketika menyimpan pakaian dan bersiap-siap di sana. Paling enak adalah tidak perlu memasang AC setiap malam, sebab cuacanya yang sejuk sudah membuat malam mereka jadi dingin berkat pendingin alami.

Martin yang baru saja selesai mengenakan pakaian tidur akhirnya berbaring, melakukan peregangan kecil saat dirasa tubuhnya pegal setelah seharian melayani tamu di pesta ulang tahun Markus. Belum lagi tadi membuka puluhan kado yang sekarang menumpuk di sekitar kasur. Padahal yang diundang sekitar 20 orang, tetapi kadonya dua kali lipat lebih banyak dari tamunya.

Di rumah lama juga masih ada kado lain dari teman-teman Martin dan Martha yang belum dibuka, begitu disyukuri karena Markus bisa mendapatkan rezeki berlimpah dari orang terdekat.

“Jadi keinget waktu Mami sama Bunda nangis,” gumam Martha setelah menyelimuti Markus menggunakan selimut bergambar Woody. “Kenapa ya mereka sampai begitu?”

“Mereka ngerasa bersalah, jadi mau nebus kesalahan mereka. Kalau kamu pindah, mereka jadi jauh dan itu bikin Mami sama Bunda keberatan.”

“Tapi ‘kan kita nggak pergi jauh, Tin. Aku juga udah maafin mereka.”

Martin elus dahi Markus, merapikan poni putranya yang sedikit berantakan dan perlu dipotong agar lebih pendek setelah tiba Ibu Kota nanti. “Ini kamu nggak akan berubah pikiran dan akhirnya nggak jadi pindah, ‘kan?”

Martha menggeleng, jelas tidak akan berubah pikiran karena sejak awal Martin mengajaknya untuk pindah, dia sudah meniatkan untuk ikut bersama suaminya. “Cuma kepikiran Bunda sama Mami, Martin.”

Tangan Martin kini terulur untuk membelai pipi Martha, hati-hati agar tidak mengenai bagian tubuh mana pun dari putranya yang tidur tenang. “Kalau gitu jangan ngerasa bersalah juga, ya. I know, kita kesannya kabur. Tapi ini demi kebaikan kamu supaya nemu lingkungan baru yang nggak toxic.”

Martin benar. Beberapa bulan ini Martha tidak merasa aman di tanah kelahiran sendiri. Sebab itu Martha tidak pernah keberatan ketika diajak pindah, ingin mencari zona nyaman baru selama belajar mendamaikan jiwanya.

“Jadi mau cium, tapi susah.”

Martha tertawa pelan mendengar keluhan Martin yang tidak bebas selama Markus berada di antara mereka. Dengan jail Martha malah memejamkan mata, berusaha tidur saat Martin belum mendapatkan yang diinginkan.

“Yaudah, di Jakarta aku cium sampai puas. Jangan nolak, ya.”

Yah, bagaimana mau menolak kalau tiap malam Martin akan lebih manja dibandingkan putranya sendiri? Belum memiliki anak kedua, tetapi Martha sudah merasa seperti mengurus dua anak.