Dunia Sendiri

Sudah setengah tahun menikahi Tara Vikrama, duda yang ditinggal cerai dan telah memiliki satu anak berusia lima tahun, rupanya hanya memberikan kebahagiaan yang bisa dihitung jari jika Zanitha Arshavina mau mengingatnya. Sejak menjalani masa pacaran, Zanitha sudah tahu risikonya berkomitmen bersama seseorang yang pernah memiliki masa lalu dalam ikatan serius, apalagi sampai menghasilkan keturunan.

Saat dilamar dan akhirnya menikah pun, terlebih di usia dia yang masih sangat muda, Zanitha telah mempertimbangkan baik dan buruknya momen yang akan terjadi selama rumah tangga berjalan. Tidak ada pernikahan yang selalu berjalan mulus seperti jalan tol—jalan tol saja ada macet—jadi ketika gerimis, hujan, hingga badai itu tiba untuk mengguncang hubungan yang tengah dijalin, kesiapan pasangan sangat diuji untuk diketahui apakah mereka mampu tetap berdiri tegak di dalamnya, atau terbawa arus dan tenggelam dalam luka yang gagal disembuhkan.

Sampai sekarang ini, Zanitha tidak mau menganggap Liona, mantan istri Tara, sebagai guncangan yang akan mengganggu rumah tangganya. Hubungan Tara dan Liona hanya sebatas mantan serta orang tua kandung Charity—putri mereka—tidak lebih dan tidak akan kembali seperti yang lalu. Namun, keakrabannya membuat Zanitha seringkali dilanda cemburu dan takut, sebab bila makin diperhatikan, Tara dan Liona tetap terlihat seperti pasangan serasi yang bahagia bersama putri semata wayang mereka.

Well, kita bisa anggap itu hanya akting di depan Charity agar sang putri tidak merasa kekurangan kasih sayang dari orang tua. Sayangnya bagi Zanitha yang selalu jadi saksi—bahkan korban—dia sering merasa jadi nomor dua, sedangkan Liona menjadi prioritas utama oleh Tara ketika mantan istri membutuhkan pria itu di rumahnya. Alasannya selalu Charity dan Zanitha mengerti itu, tapi mengingat yang Tara temui juga adalah Liona, itu paling memberatkan.

Lantas kini setelah beberapa kali ditinggalkan demi menyusul Liona dan Charity, mereka berdua datang ke kediaman Tara dan Zanitha untuk makan malam bersama. Ya, hanya makan malam, tidak mengganggu dan Zanitha juga menerima dengan senang hati, khususnya ketika Tara tidak perlu pergi. Namun, melihat pemandangan di depan sepanjang makan malam berjalan, Zanitha merasa posisinya seperti pajangan.

Di meja makan berkapasitas enam orang, Tara, Charity, dan Liona duduk sejajar sambil bersenda gurau. Di hadapan mereka ada Zanitha yang duduk seorang diri, tidak didampingi oleh suami yang memilih bersama prioritasnya. Zanitha lebih banyak diam dan menikmati makan malam yang dibuat Liona dengan nafsu setengah-setengah.

Sering ingin ikut dalam obrolan, tapi tidak dapat kesempatan untuk sekadar bersuara atau menanggapi gurauan. Tara, Liona, dan Charity memiliki dunia sendiri, sedangkan Zanitha bukan salah satunya.

“Ayah, nanti pokoknya harus beli boneka baru. Chaca mau yang cantik itu, lho. Rambutnya panjang sama pirang, terus bajunya macem-macem.”

Charity, yang akrab disapa Chaca, semangat sekali meminta boneka baru dan tampaknya orang tua gadis itu sedikit keberatan untuk mengabulkan. Momentum itu dimanfaatkan Zanitha untuk masuk agar dia tidak hanya jadi boneka yang terlupakan presensinya. Selain cari muka di depan Tara, Zanitha juga harus pandai mencuri hati Charity yang sekarang menjadi anak sambungnya.

Hubungan Zanitha dan Charity tidak buruk, sudah beberapa kali bertemu sejak zaman pacaran, tapi belum bisa dibilang sebagus itu jika harus akrab. Jadi, ini saatnya Zanitha yang bersinar untuk menunjukkan bahwa dia layak mendapat predikat istri dan ibu juga.

“Chaca mau boneka Barbie?” tanya Zanitha, memastikan boneka yang dideskripsikan oleh Charity sama seperti di benaknya.

Charity segera memberi atensi pada Zanitha dan mengangguk semangat. “Iya, Tante. Chaca mau boneka Barbie.”

“Tante punya lho boneka Barbie di rumah. Ada beberapa, baju-bajunya juga banyak. Chaca mau? Biar Tante kasih.”

Mata Charity berbinar, menepuk tangannya beberapa kali mendengar tawaran itu. “Mau! Mau!” balasnya cukup lantang, memeriahkan ruang makan dan menambah ceria hati Zanitha yang sempat memburuk.

“Oke, nanti Tante bawain buat Chaca, ya.”

Tepukan tangan Charity makin meriah. “Makasih, Tante.”

Zanitha hanya mengangguk, sangat puas bisa mengambil hati Charity dengan taktik spontan yang terlintas di pikirannya.

“Chaca udah kebanyakan boneka, Zanitha.” Tiba-tiba Tara bersuara, memudarkan kesenangan Zanitha yang hanya bertahan sejenak. “Baiknya jangan terlalu dimanjain.”

Zanitha menatap Tara yang terlihat tidak suka dengan usaha istrinya mendekatkan diri pada Charity. “Tapi daripada beli, mending aku kasih. Lagian boneka di rumah orang tua aku terlalu numpuk, jadi baiknya dikasih ke Chaca supaya bisa dimainin.”

Charity manggut-manggut seraya mengunyah ayam goreng kecap yang jadi salah satu menu makan malam, tentu berada di pihak Zanitha demi boneka yang dia inginkan.

“Cha, nanti aja bonekanya, ya?” bujuk Tara sembari menyeka sudut bibir Charity yang terkena noda kecap menggunakan tisu. “Takutnya bosen, terus ujung-ujungnya numpuk aja di kamar Chaca.”

Ekspresi Charity berubah murung, seiras dengan mood Zanitha yang makin turun. Liona yang peka dengan situasi di sekitar—khususnya suasana hati Charity yang paling jadi perhatian—membuatnya lekas bergerak sebagai penengah. Wanita berambut hitam ikal itu tidak mau membuat putrinya kecewa, apalagi setelah Zanitha berbaik hati mau menyenangkan Charity.

“Enggak apa-apa, Mas, kasih izin aja. Toh, kita nggak beli juga buat Chaca. Jadi, kita nggak manjain banget maunya dia.”

Zanitha yang jadi penyimak bisa melihat Tara melunak melalui anggukan kecil sebagai respons dari bujukan Liona. Sangat kontras dengan kondisi tadi di mana Tara malah menolak kebaikan Zanitha, tapi mampu terbuai dalam sekali bujukan Liona. Zanitha menunduk, fokus pada piring yang masih terisi setengah porsi dan kini nafsu makannya makin sirna.

“Oke, Chaca boleh punya boneka lagi,” ucap Tara sebagai final dari percakapan soal mainan. “Tapi setelahnya minta barang lain yang lebih bermanfaat, ya.”

Senyum Charity kembali terbit, lebih lantang ketika bersorak gembira karena akan segera mendapatkan boneka. Detik berikutnya Zanitha bisa mendengar suara kecupan yang diberikan Liona dan Tara untuk Charity sebagai ekspresi kasih sayang. Lagi, Zanitha diabaikan layaknya boneka rusak yang tak patut mendapatkan tempat. Tidak ada terima kasih pada Zanitha yang akan memberi, mereka bertiga menciptakan selebrasi sendiri tanpa mau melibatkan orang yang baru hadir.