Gelora

WAJIB DIBACA

Supaya gak bingung, cerita ini ada di Cherish versi Wattpad, di mana Tara dan Zanitha gak jadi pisah, terus mereka nonton konser Kevin. Kevin itu penyanyi dan klien Tara. Bagi yang baca Cherish di Twitter aja, pasti bakal nemu perbedaan karena bagian ini maupun Kevin gak ada di thread-nya. Bagi yang mau baca Cherish di Wattpad boleh banget untuk tahu apa aja bedanya dengan Cherish di Twitter. Bagi yang gak baca Cherish di Twitter maupun Wattpad dan takutnya bingung kenapa di awal tokoh utamanya ngomong formal. Tara sama Zanitha ini di awal pernikahan ngomongnya pake saya-kamu. Setelah baikan, mau itu di Twitter dan Wattpad, mereka baru pake aku-kamu.

Sekian dari aku. Enjoy ^^


Konser sudah berjalan selama satu jam dan Zanitha Arshavina tidak kehilangan semangat kala melihat Kevin—penyanyi idolanya—tampil di panggung. Mulai dari lagu ballad, hingga lagu yang membangkitkan energi, Kevin nyanyikan begitu syahdu dan membuat semua penonton terhipnotis dengan penampilannya.

Lain Zanitha, lain pula Tara Vikrama yang tidak terlalu mengenal Kevin sebagai sosok penyanyi karena selama ini hanya memandangnya sebagai klien. Pria pemilik rahang tajam itu takjub dengan kemampuan bernyanyi kliennya, bersinar di panggung dan membuat Tara paham mengapa istrinya sekarang hanya fokus pada Kevin tanpa mengalihkan pandang sedikit pun. Terlebih mereka duduk di barisan depan bersama jajaran tamu penting, jadi Zanitha bisa menonton dengan nyaman dalam jarak yang sangat dekat.

Tidak lupa Zanitha angkat pen lightstick warna jingga yang dibeli di luar venue, mewarnai seisi tempat konser bersama para penggemar lain yang ikut bernyanyi dengan Kevin. Begitu paruh pertama konser selesai, Zanitha mematikan lightstick-nya untuk menghemat baterai.

Memanfaatkan waktu kosong sambil menunggu Kevin kembali ke panggung dengan mengirim pesan pada teman-temannya di group chat yang duduk di bagian tengah. Dari percakapan itu, Zanitha bisa merasakan antusias yang sama, termasuk dari Darren dan Deril yang awalnya biasa saja saat menonton konser Kevin mengingat penyanyi itu bukan idola mereka.

“Saya harus banyak-banyak terima kasih sama Kevin,” ucap Tara saat Zanitha memasukkan ponselnya kembali ke tas.

“Saya setuju. Kalau nggak dikasih tiket gratis, kita nggak akan duduk di depan gini.”

Tara tertawa pelan dan menjelaskan maksudnya, “Saya ucapin makasih bukan karena kita duduk di depan, tapi karena berhasil bikin kamu banyak senyum dan nikmatin konsernya.”

Zanitha kontan menunduk, terlalu malu menatap Tara yang baru saja menggodanya saat ada banyak orang meski tidak menjadi saksi langsung. Ini tidak baik, pasalnya debaran cepat yang telah lama tidak Zanitha rasakan untuk Tara kembali timbul. Diam-diam Zanitha elus dadanya yang bergemuruh tidak tenang, seakan ada sesuatu yang ditahan dan perlu disampaikan hingga tuntas.

Zanitha mengangkat wajahnya, lalu menatap Tara hingga bertemu pandang dengan pria yang membuat perasaannya kacau dalam satu malam. Kali ini kacaunya karena hal baik yang Zanitha harap tidak akan terkikis.

“Tapi kayaknya saya harus minta maaf sama Kevin.”

Tara mengangkat sebelah alisnya dan menarik seulas senyum penuh tanya. “Kenapa kamu harus minta maaf?”

Di saat yang sama, lampu sorot menyala ke arah panggung untuk menyambut konser yang sebentar lagi akan dilanjutkan.

Sebelum musik mulai berkumandang dan Kevin memasuki panggung untuk tampil di hadapan ribuan penonton yang tidak sabar melihatnya beraksi, Zanitha memberikan jawaban pada pusat dunianya yang kembali bangkit, “Karena saya seneng bukan berkat dia aja, tapi berkat kamu juga.”


Konser berakhir pukul sembilan malam dengan durasi dua jam. Setelah menonton, Tara, Zanitha, dan teman-teman istrinya pergi makan malam di restoran fast food 24 jam yang tidak jauh dari lokasi konser. Tidak hanya makan, mereka pun saling berbagi kesan saat menonton pertunjukan Kevin secara live, terlebih kaum hawa yang hebohnya bukan main dan jelas visual Kevin ikut dibahas sebagai poin plus atas penampilannya.

Malam minggu yang manis dan tidak akan pernah mereka lupakan. Tara dan Zanitha tiba di hotel sekitar tengah malam bersamaan dengan daksa yang lelah, tetapi perasaan mereka puas.

Zanitha lebih dulu mandi dengan air hangat agar tidak diserang dinginnya udara malam yang menusuk setelah dari luar, disusul Tara setelah istrinya keluar dari kamar mandi dengan piama lengkap dan rambutnya yang digerai.

Sekitar lima belas menit mendekam di kamar mandi, Tara akhirnya keluar hanya menggunakan bathrobe yang membalut dan menemukan istrinya tengah berdiri di dekat jendela sembari menatap ponselnya serius. Tara hampiri Zanitha, takut terjadi sesuatu yang mungkin secara tidak sengaja disebabkan olehnya.

Wajar Tara mudah panik ketika Zanitha tiba-tiba berubah dari semangat jadi lesu, mengingat pria itu pernah membuat kesalahan besar yang membuat mereka hampir berpisah. Kalau sampai perubahan Zanitha sekarang juga disebabkan olehnya, Tara yakin dia akan kesulitan meraih hati sang istri untuk kedua kali.

“Kenapa?” tanya Tara mendapati ekspresi cemas Zanitha tanpa melepaskan pandang dari ponsel.

“Saya nunggu kabar Chaca dari Darren. Kalau nanya Mama pasti udah tidur.”

Tara akhirnya bisa bernapas lega karena rupanya Zanitha mencemaskan Charity, bukan sakit hati akibat ulahnya. “Chaca jam segini udah tidur. Jadi, nggak apa-apa.”

“Iya, tapi saya tetep kha—”

Kalimat Zanitha menggantung saat pesan yang dia nantikan akhirnya tiba. Berdasarkan pesan yang dikirim Darren, Charity sempat terbangun untuk meminta minum saat dia baru tiba di rumah. Setelah itu Charity kembali ke kamar yang biasa dia tempati setiap menginap di rumah orang tua Tara.

Pesan tersebut membuat Zanitha dan Tara yang membacanya di belakang sang istri sama-sama lega putri mereka baik-baik saja, jadi mereka pun bisa tidur lelap. Zanitha mengunci kembali ponselnya dan bergegas untuk mengisi daya yang sudah menipis.

Saat dia berbalik untuk ke kasur, Zanitha langsung berhadapan dengan Tara yang masih bergeming di posisinya tanpa berniat pergi meski tahu istrinya ingin segera menyingkir. Diamnya Tara membuat Zanitha gelagapan harus berbuat apa, sebab kondisi sang suami yang hanya dibalut bathrobe membuatnya nyaris hilang akal.

Malam yang cerah diterangi rembulan bersama dampingan bintang, menciptakan suasana romantis yang mengikat dua insan untuk tetap merekat. Netra mereka saling menatap lekat, sama-sama tenggelam dalam gelora asmara yang sempat sirna. Perlahan-lahan menghancurkan dinding yang dibangun di antara mereka, menciptakan koneksi hebat untuk kembali menyatu dalam perasaan yang sama. Padahal mereka hanya saling menatap, tetapi seperti ada yang memantik api hingga membuat mereka kepanasan.

Tara mengambil satu langkah mendekat, seakan tidak puas meski sudah amat erat. Dua insan itu menipiskan spasi yang sempat memisahkan, merasakan terpaan napas masing-masing yang tidak sabar untuk mengalir dalam raga. Birai Tara sedikit terbuka, mengundang Zanitha untuk menajamkan rungu dan mendengar apa yang ingin prianya katakan.

Masih dengan tatapan yang beradu, Tara berkata lirih, “Zanitha, maaf, tapi boleh saya cium kamu?”

Zanitha menggenggam kuat ponselnya sebagai pelampiasan atas rasa yang bergejolak di dadanya. Lisannya tidak mampu menjawab, bukan karena tidak ingin, tetapi sulit bicara pasti. Baru ditanya, pipi Zanitha sudah merah padam. Ronanya menjadi tanda bahwa Tara diberi izin untuk menautkan bibir mereka yang sudah lama hampa.

Tanpa bertanya untuk yang kedua kali, Tara menangkup kedua pipi Zanitha yang makin merona, lalu meraih bibir sang hawa dan memberi kelembutan yang telah lama sang adam damba. Awalnya hanya beberapa kecupan kecil yang Tara beri dalam jeda singkat. Sampai ketika Zanitha mengalungkan lengannya ke leher Tara, kecupan itu berubah jadi ciuman lembut yang penuh cinta.

Mata pasangan yang sedang memekarkan kembali rasa itu saling terpejam, menikmati sapuan birai yang terasa basah dan menimbulkan sengatan di setiap geraknya. Saat dirasa pasokan oksigen mereka menipis, tautan itu terpaksa lepas tanpa memutus ikatan pandang yang mulai dibalut gairah.

Jemari Zanitha turun mengelus sepanjang leher Tara, menimbulkan satu desah yang menjadi mula untuk segalanya. Perlahan jemari itu kian turun dan membuka tali bathrobe Tara, menanggalkannya tanpa sisa hingga sang puan bisa melihat apa yang sejak awal telah menjadi miliknya. Tidak ada pahatan yang terbilang sempurna di tubuh Tara, tetapi sumpah, memirsa daksa sedikit basah dengan pusat tubuh yang telah bangkit sejak ciuman pertama membuat akal sehat Zanitha lenyap.

Tidak ingin diam, Tara raih ponsel yang Zanitha genggam erat sebagai pelampiasan ke atas meja kecil yang ada di samping mereka. Tak lama setelahnya Tara lepas satu per satu kancing yang mengait di piama sang istri, menanggalkan perca pertama dan menunjukkan bagian yang paling dia suka dari Zanitha.

Tara menunduk sembari menyingkirkan tali bra yang mengait di pundak, mengecup tulang selangka dan menimbulkan sengatan kecil hingga Zanitha sedikit tersentak saat bibir basah itu menggoda imannya. Mata Zanitha terbuka dan terpejam, menikmati sapuan bibir Tara selagi tangannya membuka seluruh pengampu dada tanpa sisa.

Ketika dua tubuh tanpa penghalang bagian atas itu bersua, Zanitha sudah tidak peduli lagi dengan akal dan budi atau apa pun yang harus segera menghentikan kegiatan itu sebelum benar dimulai. Tidak bisa. Tidak mau. Zanitha inginkan segalanya lagi, menghantarkannya pada nirwana tertinggi dan satu-satunya pria yang boleh membawanya sejauh itu hanya Tara Vikrama.

Panas, bergairah, dan penuh desah. Tiga hal yang menggambarkan situasi Tara dan Zanitha begitu mereka saling beradu di atas kasur. Mulai dari ciuman, tiba-tiba jadi lumatan, beralih menjadi cumbuan, hingga kini tidak ada sehelai benang yang menutupi tubuh mereka. Segalanya terjalin secara perlahan tanpa paksaan, bahkan berkali-kali Tara bertanya apakah Zanitha ingin melanjutkan atau menyudahi semuanya sebelum pria itu hilang kendali daksa.

Satu jawaban yang selalu meluncur; ya, Zanitha sangat menginginkannya. Sebagai pria dominan dan paling piawai, Tara memegang kendali atas tubuh Zanitha yang pasrah di bawahnya. Tara mencumbu setiap lekuk tubuh sang istri mulai dari leher, turun ke tulang selangka, dada, perut, hingga berakhir di antara tungkai bagian dalam yang membuat Zanitha mengerang tidak tertahan.

Zanitha meremas bantal yang menjadi tumpuan kepala, memejamkan mata untuk meresapi setiap sentuhan yang Tara bagi pada tubuhnya. Sudah lama tidak merasakan kenikmatan duniawi, Zanitha nyaris menggila saat pusat tubuhnya dipuja begitu dalam oleh sang pria. Gelombang itu datang tanpa mampu Zanitha tahan, tangannya refleks meremas surai Tara yang masih berada di antara tungkainya.

Zanitha menjerit kala pelepasan pertama dia dapatkan, lalu terengah hingga dadanya naik turun tidak teratur dan kepalanya pening bukan main akibat kenikmatan itu. Tara merangkak naik dan kini berbaring di samping Zanitha yang masih menikmati sisa-sisa pelepasannya, memandangi paras menawan saat ditawan gairah.

“Kamu bener masih mau lanjut?” tanya Tara untuk sekian kalinya malam ini. Hampir membuat Zanitha muak, tetapi dia bisa memakluminya.

“Lanjutin aja,” balas Zanitha yang terengah.

Saat kesadarannya masih setengah, Zanitha meraih birai sang pria dan menciumnya seakan tidak betah jika tanpa lawan. Bibir mereka kembali beradu, menyecap apa pun untuk menghilangkan haus akan hasrat. Sayang, apa yang mereka lakukan justru makin menambah syahwat untuk segera menyatu dalam belenggu kenikmatan setelah sekian lama menahan.

Tara yang unggul dan Zanitha masih pemula, mencari satu hal serupa pada dini hari dalam gairah yang dibalut asmara; puncak tertinggi dalam cinta. Tara kembali mendominasi di atas, meraba pinggang Zanitha yang bergerak tiada henti akibat senggolan kulit menaikkan andrenalin.

Bibir mereka berhenti bertaut, giliran netra yang saling menatap akur, sedangkan bagian bawah Tara berusaha mengisi bagian kosong terdalam Zanitha hingga penuh. Lama sekali tidak ada yang menyentuh, Zanitha mengernyit perih hingga sedikit meringis karena sakitnya kembali muncul seperti pertama dan kedua kali beradu. Tara ikut tersiksa, sebab istrinya terasa makin ketat hingga miliknya harus berusaha cukup keras agar bisa memenuhi Zanitha yang tengah menyakar pundaknya.

Satu lenguhan lega dari Tara mengudara bebas setelah berhasil mendapatkannya, sedangkan Zanitha masih harus membiasakan diri dengan sesuatu yang baru bersarang dalam dirinya.

Tara tidak ingin egois, maka dia menanti Zanitha untuk siap. Dia kecup dahi sang istri untuk mengurangi kerutan di sana, menghilangkan ketegangan pada tubuhnya agar sedia untuk kegiatan selanjutnya. Zanitha elus pipi Tara yang merona sepertinya, tampak puas bisa kembali menyatu bersamanya tanpa paksaan dari salah satu pihak.

Satu-satunya pria yang boleh menguasainya berpeluh deras, sialnya amat menggoda hingga Zanitha ingin merekam setiap sudut rupa itu agar tidak dia lupakan setelah semua ini usai. Mungkin ada yang berpikir mereka hanya dikuasai nafsu untuk memuaskan rakus, padahal kenyataannya mereka tengah membagikan cinta yang kali ini tidak ingin ditutup-tutupi. Tidak apa-apa lisan mereka terkunci rapat, tetapi saat dua daksa saling merindu itu berusaha menyatu tanpa terburu-buru akibat ego, saling mengasihi dan menikmati setiap detik momen bagaikan imaji semata, saat itulah Tara dan Zanitha menyampaikan gelora cinta yang membelenggu mereka.

Dirasa siap, Tara mulai bergerak. Rintihan syahdu mengisi kesunyian malam yang iri melihat sejoli sudah mampu saling mengisi setelah sekian lama mengganjilkan diri, menguarkan aroma khas percintaan hingga menambah gelora yang sudah lama terkubur dalam-dalam karena lebih mementingkan kesembuhan luka. Kini luka itu telah sepenuhnya sirna, menghantarkan Tara dan Zanitha pada gelombang asmara yang penuh damba sebagai dua insan yang haus akan kasih sayang.

Tara berikan segenap rasa cintanya melalui gerakan yang imbang, tidak egois dan penuh kepuasan. Sedangkan Zanitha memberikan apa yang menjadi hak sang suami, menerima segala perlakuan terbaik hingga kepalanya pening tak terkira. Sesekali Tara menyanjung Zanitha lewat lisan tentang bagaimana rasa yang dia dapatkan, serta betapa cantiknya wanita yang dia cinta.

Aktivitas seksual bukan sesuatu yang asing karena banyak orang pasti telah melakukannya baik dengan ikatan resmi seperti mereka atau sekadar main-main saja. Bedanya, saat kegiatan ranjang ini dilakukan dalam balutan cinta, maka momennya tidak hanya dinikmati kala mereka menyatu dalam libido, tapi juga sebelum dan sesudah semua itu berakhir, menciptakan koneksi ajaib yang makin menyatukan mereka untuk bergandengan.

Tubuh Zanitha bergetar, merasakan sesuatu yang ingin melesak keluar dari pusat tubuhnya dan dipahami betul oleh Tara. Pria itu mempercepat temponya agar mereka bisa mencapai puncak tertinggi cinta, menatap lekat pada sang pujaan yang tidak henti melantunkan melodi desah, amat merdu di rungu kala volumenya menanjak.

“Aku sayang kamu, Zanitha …,” lirih Tara saat pusatnya masih bekerja demi sama-sama menghantarkan mereka ke nirwana.

Zanitha tersenyum di bawah cucuran keringat yang harmonis menyatu bersama milik Tara, melingkarkan kedua lengannya di leher sang adam dan membisikkan satu kalimat sebelum gelombang dahsyat itu datang, “Aku juga sayang kamu, Mas ….”

Puncak itu Zanitha dapatkan lebih dulu, disusul oleh Tara dengan geraman panjang sebagai bentuk kepuasan setelah gairahnya dituntaskan bersama yang paling dia damba. Tara kecup dahi sang istri yang terengah, lalu tergolek lemas di sampingnya dengan lengan yang tidak mau lepas dari sang hawa. Zanitha menatap langit-langit hotel yang sedikit megabur, merasa luar biasa setelah tubuhnya dijajah kenikmatan yang dia kira tidak akan pernah datang.

Saat masih dikuasai oleh gelombang syahwat, Zanitha merasakan tangan Tara merabanya sebagai bentuk penghargaan, memberinya kecupan di pipi dan sama-sama berakhir dalam gulungan selimut. Nikmat sanggama menghadirkan lagi debar jantung akibat cinta yang syarat akan suka, membuang segala duka seakan tidak pernah hadir dalam hidup mereka.

Zanitha beradu pandang dengan Tara yang sudah lebih relaks, lantas bersembunyi di balik dada sang pria akibat malu dengan percintaan mereka. Tara tertawa pelan dan memeluk Zanitha erat, menutup percintaan mereka dengan manis dan tidak terlupakan.


Sang surya telah terbit dan perlahan menyinari hari dengan cahayanya yang terik. Menyambut hari yang baik untuk memulai aktivitas lagi di hari Minggu ini. Mayoritas memanfaatkan Minggu pagi untuk tidur dan bergelung dalam selimut selama mungkin sembari melupakan kegiatan mereka setelah enam hari tiada henti.

Zanitha adalah salah satu orang yang tidak ingin diganggu waktu tidurnya di hari Minggu ini, terlebih setelah malamnya lelah menonton konser dan bersanggama bersama prianya hingga membuat perempuan berambut legam itu tidak mampu untuk sekadar membuka mata. Ditambah tidak ada Charity—putri sambungnya—yang perlu dia urus untuk satu hari ini, jadi Zanitha bisa memiliki waktu santai lebih banyak sebelum memulai harinya lagi.

Sayang, tidurnya gagal kembali nyenyak saat merasakan sepasang bibir mengecup pipinya kala dia berbaring telentang dengan selimut menutupi tubuh seadanya. Zanitha tetap memaksakan mata terpejam kala merasakan tangan seorang pria mengelus pipinya, lalu selimutnya ditarik untuk membungkus tubuh perempuan itu yang tidak dibalut apa pun.

Saat tangannya jadi sasaran empuk sang pemilik bibir, Zanitha tidak bisa pura-pura terlelap lagi akibat godaan sang pria berhasil membangkitkan sedikit semangatnya. Zanitha perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali saat matanya silau karena cahaya matahari dari jendela yang dibuka menyelinap masuk. Setelah pandangannya lebih jelas, Zanitha menemukan Tara yang duduk di sampingnya, tengah tersenyum untuk menyambut sang istri bangun.

“Minum?” tawar Tara yang sudah memegang sebotol air mineral dari hotel untuk dia berikan pada Zanitha.

Dengan nyawa yang berusaha dikumpulkan, Zanitha bangkit dari posisinya dan menerima air mineral yang tutupnya telah dibuka oleh Tara. Dia habiskan hingga setengah botol dan memberikannya lagi pada Tara yang tidak berhenti menatap paras sang istri di pagi hari. Jika orang-orang menghindari wajah kusut yang belum dibasuh air setelah berjam-jam terlelap, maka Tara lain sebab dia betah memandangi Zanitha sebagai orang pertama yang melihatnya bangun.

“Ini jam berapa?” tanya Zanitha dengan suaranya yang sedikit serak.

“Baru jam tujuh,” jawab Tara seraya merapikan rambut panjang Zanitha yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu tidak ingin melewatkan satu sisi pun untuk dipandang. “Tidur aja lagi kalau masih capek. Nanti sarapannya aku minta dibawain ke sini.”

Zanitha kontan mengerang saat Tara paham kondisi tubuhnya yang jadi tidak fit. “Kamu sendiri nggak capek? Tadi bangunnya jam berapa coba?” Zanitha tatap lekat suaminya yang sudah rapi dengan celana training dan kaus putihnya. Rambutnya pun basah, begitu wangi menyegarkan indra penciumannya. “Aku masih berantakan, kamunya udah rapi banget.”

“Aku bangun jam enam, terus mandi lagi soalnya semalam bersih-bersih biasa. Acaranya siang, kok. Jadi, kita bisa bareng dulu di sini.”

Ah, benar. Zanitha baru ingat alasan mereka menginap di hotel karena ada acara yang harus Tara hadiri di tempat mereka menginap itu. “Aku nggak boleh ikut?”

“Satu undangan buat satu orang. Lagian kamu pasti bosen dengerin arsitek ngomong. Acaranya juga nggak ada hiburan aneh-aneh. Mendingan kamu rebahan aja di sini, atau pulang kalau kangen Chaca.”

Jelas Zanitha sudah merindukan Charity, tetapi keinginan untuk segera pulang tidak hinggap dalam dirinya. Justru Zanitha ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Tara yang tidak mendesak untuk bertahan lama bersamanya.

“Aku sama kamu aja, Mas. Chaca juga yang nyuruh kita seneng-seneng pas bilang mau pergi dua hari.”

Hanya jawaban sederhana, tetapi melambungkan Tara ke nirwana seperti semalam. Zanitha sudah menerimanya sepenuh hati, bersedia menetap berdua dan jauh dari jangkauan orang-orang yang bisa saja mengganggunya, bahkan mereka sudah mengobrol santai secara alami. Tara harus banyak mengucapkan terima kasih pada Kevin jika mereka bertemu lagi, sebab berkat bantuannya, hubungan sejoli itu kian membaik hanya dalam satu malam.

Tara meletakkan botol air mineral di atas nakas, lalu merangkak mendekati Zanitha dan membawanya berbaring lagi untuk menikmati waktu pagi yang kali ini lebih manis. Mereka berpautan dalam selimut, saling membagikan kehangatan lewat dekapan untuk mencairkan seluruh es yang pernah membekukan keadaan dalam waktu lama.

“Aku bantu kamu tidur lagi.”

Tara mengusap puncak kepala Zanitha yang telah memejamkan matanya, menikmati segala kasih sayang yang diberikan suaminya.

“Bangunin aku satu jam lagi, ya. Biar sarapan bareng.”

Hanya anggukan yang Tara suguhkan, sebab dia tidak mau memancing Zanitha untuk bersuara lagi agar kembali tidur setelah diganggu cukup lama. Tidak ada lagi kata saya-kamu seperti biasa. Tidak ada lagi bahasa formal yang Tara dan Zanitha gunakan saat percakapan berlangsung.

Setiap himpunan kata yang mengalir selalu diimbangi senyum layaknya sejoli kasmaran. Aksi yang dibagikan tidak sebatas momen tertentu, sebab kini mereka tidak lagi malu untuk menunjukkan afeksi kuat di segala situasi yang mendukung keduanya untuk memadu kasih.


Satu jam kemudian, Zanitha benar dibangunkan Tara dari tidur singkatnya untuk melakukan aktivitas lain sebelum pria itu pergi. Sekarang Zanitha sudah di kamar mandi, berendam di bathtub menikmati air hangat yang merelakskan tubuhnya. Sembari bersandar pada pinggiran bathtub, Zanitha memejamkan mata dan betah berlama-lama di sana sampai tenaganya kembali pulih setelah terkuras sejak semalam.

Well, apa yang terjadi semalam tidak merugikan. Zanitha sangat menikmatinya. Baik konser Kevin dan percintaan panas dengan suaminya. Ketika menikmati waktu sendiri, Zanitha mendengar gemericik air dan kaki yang ikut masuk ke bathtub.

Mau tidak mau Zanitha membuka matanya, lalu menemukan Tara dengan raga tanpa satu pun perca sudah duduk di hadapannya sembari tersenyum tak berdosa.

Zanitha menyeringai. “Kamu ‘kan udah mandi.”

Alih-alih menjawab, Tara malah menarik Zanitha perlahan dan menghipnotis wanita itu untuk mendekat tanpa paksaan. Zanitha telah mendarat di pangkuan Tara, meremas lembut surai legam sang suami yang jadi basah akibat ulah tangannya.

“Enggak ada salahnya mandi lagi sama istri kesayangan,” jawab Tara selagi jemarinya bergerak nain turun di punggung halus Zanitha. “Ditambah lagi kita belum coba main di kamar mandi.”

Zanitha menepuk pelan bibir Tara yang sudah bicara sembarangan, tetapi tidak berhasil mencegah sang pujangga untuk memberi godaan dahsyat di tiap titik sensitif pujaannya. Tara terlalu andal untuk dihentikan, sampai Zanitha harus rela waktu mandinya terkuras demi memulai kembali percintaan yang tidak puas dilakukan semalam.

Detik selanjutnya Zanitha biarkan Tara merajai ratunya, meninggalkan jejak di setiap jengkal jangkauan, menciptakan lagi desah tanda kenikmatan. Dua insan itu seakan lupa pernah hampir dipisahkan oleh kenyataan. Alhasil kini mereka menyibukkan diri untuk terus menyatu dalam ikatan takdir yang nyata.

Biarkan yang dulu jadi masa lalu. Mulai hari ini, Tara dan Zanitha ingin saling bersemayam di relung hati masing-masing sembari berbagi kasih tanpa ada yang menyakiti.


Jangan lupa tinggalkan komentar kalian untuk ceritanya ^^