Hampir Luluh
Wulan tiba di kediaman Martin dan Martha pada pukul sembilan pagi, tidak lama setelah keluarga kecil itu menyelesaikan sarapan dan putra tunggalnya akan pergi untuk menemui Julian. Saat pertemuan antara mertua dan menantunya terjadi, Martin paling waswas karena dia perlu mengawasi dua orang yang diam-diam saling berselisih. Martin berusaha netral, setidaknya selama Wulan tidak bertindak gegabah, khususnya mengomentari Martha tentang apa yang beliau lihat pada menantunya.
Sudah cukup Martha ketakutan ketika bertemu Marni, jangan sampai momen itu terulang kembali. Ditambah Martin pun harus pergi dan tidak bisa mengawasi sepanjang hari, jadi jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi selama dia tidak hadir.
Berdasarkan pengamatan Wulan, tidak ada yang aneh dari Martha. Menantunya bisa menyambut dengan baik, tampak sehat secara fisik, tidak menunjukkan ketakutan atau getaran apa pun yang sering disebut-sebut oleh Marni dan Martin. Martha juga tidak menunjukkan penolakan atau berusaha menjauh, bahkan ketika Martin pergi dan memercayakan sang istri pada Wulan, menantunya itu tidak masalah ketika harus berdekatan dengan mertuanya yang berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar berlebihan.
Buktinya sekarang Martha bisa duduk manis berdampingan dengan Wulan yang memangku Markus, mengajak cucu tunggalnya bermain tanpa pengawasan ketat dari sang ibu. Martha juga sesekali tersenyum, tetapi fokusnya lebih tertuju pada televisi yang menyala riuh. Sengaja agar pikiran Martha beralih dari hal buruk berisikan pesan lain berupa info yang didapat melalui televisi, agar kepalanya tidak berisik karena hadirnya Wulan tidak memberi dampak baik—yang tentu tidak disadari oleh Wulan sendiri.
“Mami haus,” kata Wulan sekonyong-konyong, menyentak Martha yang sedang menikmati berita di televisi. “Bikinin minum, dong. Apa aja yang hangat.”
Perintah itu langsung disanggupi oleh Martha yang bergegas ke dapur untuk membuat secangkir teh tanpa banyak basa-basi. Tersentaknya Martha tadi luput dari tangkapan Wulan, itu sebabnya beliau merasa bebas memerintah karena mengira menantunya baik-baik saja. Tak lama Martha kembali membawakan secangkir teh yang kepulan asapnya bergoyang tertiup angin dan menghilang di udara.
Kali ini Wulan menangkap jelas tangan Martha yang bergetar ketika mendekati beliau bersama cangkir terisi penuh di tangan, merisikan pandang dan mulai dikomentari secara sinis ketika secangkir tehnya sudah di meja.
“Kamu kayak anak kecil aja bawa cangkir sampai gemeteran,” ucap Wulan, membiarkan tehnya untuk beberapa saat sampai sedikit hangat. “Nanti kalau jatuh bahaya.”
Martha yang gentar tidak langsung duduk, justru berdiri tegak di samping sofa dan menjawab, “Maaf, Mi. Tadi … agak panas,” kilah Martha, sembunyikan perasaan sebenarnya yang ingin kabur sesegera mungkin dari samping Wulan.
“Makanya pegang gelas yang bener,” balas Wulan, masih dengan nada sinis.
Martha tidak kembali merespons, memilih duduk dengan tegangan tinggi di tubuh yang mati-matian dia sembunyikan agar tidak dikomentari lagi oleh Wulan. Reaksi tubuhnya tidak boleh dianggap berlebihan oleh Wulan, sebab itu Martha memaksakan diri untuk terus di samping mertuanya agar tidak dianggap durhaka karena menghindar.
Bermenit-menit lamanya Martha dan Wulan membisu. Wulan hanya bicara ketika mengajak ngobrol Markus yang mengoceh tanpa henti, sedangkan fokus Martha hanya pada televisi yang telah gagal mengisi pikiran dengan hal lain. Secangkir teh yang Martha buat sudah habis tanpa sisa, tidak lama Markus pun tidur di pangkuan Wulan setelah lelah mengoceh.
“Markus tidurin di kasurnya, nih.” Wulan serahkan Markus pada Martha. “Hati-hati, jangan sampai cucu saya jatuh gara-gara tangan kamu gemeteran.”
Martha tersenyum samar ketika mengambil alih Markus hingga ke pangkuannya, lalu pergi ke kamar tanpa merespons peringatan dari Wulan dan berusaha hati-hati saat getar di tangannya kian hebat. Ada sepuluh menit menanti, Martha tidak kunjung kembali ke ruang keluarga untuk menemani. Wanita itu seakan sengaja memanfaatkan Markus agar diam di kamar dalam waktu lama dan itu membuat Wulan sedikit geram.
Baginya tidak etis mengabaikan mertua, jadi Wulan memutuskan untuk ke kamar sejoli yang keramat untuk dimasuki orang lain demi membawa Martha kembali agar tidak menghindar. Pintu berwarna putih itu tidak ditutup terlalu rapat, menyisakan sedikit spasi dan bisa diintip oleh Wulan untuk tahu apa yang sedang dilakukan menantunya.
Hati-hati Wulan mendekat, sampai matanya berhasil mengintip dari celah pintu. Awalnya Wulan tidak menemukan apa-apa, sampai dia melihat Martha tengah duduk di lantai membelakangi tempat tidurnya, berkali-kali menyeka air mata dan menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang mungkin keluar, serta tubuhnya bergetar hebat seakan sudah melihat penampakan paling menyeramkan dan membuatnya syok dalam waktu cukup lama.
Netra Wulan tidak lepas memandang, jelas sekali ketika Martha berusaha menetralkan laju napasnya yang tidak beraturan—berat dan cepat, menimbulkan ngilu bagi siapa pun yang merasakannya juga. Wulan hampir teperdaya oleh air mata itu, menganggapnya sebagai drama yang sengaja dibuat Martha untuk membuat beliau luluh. Wulan memilih mundur untuk kembali ke ruang keluarga, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas sofa dan mengirim pesan pada Martin karena jujur beliau tidak tahu harus berbuat apa ketika melihat Martha menangis.