Hati ke Hati

Bila boleh sedikit kembali ke momen di mana Martha dan Marni akhirnya bisa bicara empat mata, sebelum sang ibunda mengirim pesan pada menantunya kapan dia akan kembali dari jalan-jalan bersama Markus, ibu dan anak itu memiliki kesempatan untuk membuat percakapan dari hati ke hati di ruang keluarga, berharap bisa kembali mengeratkan ikatan kekeluargaan.

Martha duduk tegak di sisi kiri, memangku tangan di atas paha dan memainkan buku jarinya untuk menghilangkan rasa gugup. Marni di sisi kanan sesekali melirik ke arah sang putri yang sudah lebih relaks dan jejak air mata di pipinya telah sirna, tetapi getaran di kedua tangannya masih tampak jelas seakan jadi tanda bahwa putrinya masih belum mampu berlama-lama berdua bersama beliau.

Marni tidak mau memaksa, jadi beliau memilih bungkam untuk waktu yang cukup lama, sampai akhirnya Martha membuka suara lebih dulu, mengudarakan satu pertanyaan yang membuat Marni merasa diburu.

“Bunda,” panggil Martha tanpa melirik Marni, malah mencari pengalihan dengan menatap lantai beralaskan karpet cokelat. “Aku nggak maksud nyalahin Mami, tapi kenapa setiap Mami nyudutin aku, Bunda selalu setuju dan ikut-ikutan? Apa omongan Bunda jujur atau karena kebawa Mami aja?”

Diamnya Martha amat ngeri sekaligus memilukan. Beraksinya Martha justru jauh lebih menakutkan, sebab ucapannya tidak ragu untuk menciutkan nyali seseorang ketika mendengarnya, termasuk Marni yang telah menyadari banyak kata dari bibirnya terlampau menyakiti sang putri hingga berada di titik ini.

Sudah waktunya mereka bicara dengan tenang tanpa ada setetes air mata yang membasahi lisan, jadi Marni tidak mau bungkam terlalu lama agar tidak menggantungkan Martha yang membutuhkan eksplanasi atas perbuatannya.

“Jauh sebelum Bunda nikah, nenek kamu bilang kalau suatu saat nanti Bunda punya besan dari pihak laki-laki, usahain untuk punya hubungan sebaik mungkin karena ada kalanya mereka lebih angkuh dari besan pihak perempuan. Soalnya perdebatan sedikit aja sama besan, itu bisa berpengaruh sama rumah tangga anak. Setelah kamu nikah, Bunda coba untuk setuju sama yang diomongin Mbak Wulan karena nggak mau ada perdebatan apa pun supaya rumah tangga kamu juga aman.”

Marni tertunduk lesu, jawabannya terkesan konyol tetapi itulah fakta yang terjadi mengapa beliau seringnya berada di pihak Wulan. Tentu bukan salah Wulan hanya karena beliau selalu jadi pendahulu, tetapi salah Marni yang dibutakan oleh hormat dengan dalih menjaga keutuhan rumah tangga anaknya tanpa memikirkan perasaan dulu.

“Selain itu, Bunda setuju sama Mbak Wulan karena nggak mau perubahan fisik kamu jadi kekurangan dalam rumah tangga. Bunda nggak mau kamu ditinggalin Martin karena penampilannya jadi jauh beda. Bunda terus mikir gitu dan setuju sama Mbak Wulan tanpa lihat fakta kalau Martin selalu nerima kamu apa adanya. Sekarang Bunda ngaku salah karena nggak pernah mikirin perasaan kamu dulu sebelum ngomong, nggak mikirin Martin juga yang setia sama kamu. Bukannya belain anak sendiri, Bunda malah bikin kamu makin jatuh.”

Jadi begitu, ya ….

Faktanya sungguh menyedihkan. Marni berbuat begitu demi menghindari pertikaian, padahal perbuatannya berdampak fatal pada kesehatan putrinya, menyebabkan pertikaian lain yang mungkin hadir di masa mendatang bersama Wulan sebagai salah satu pelaku utama. Marni melindungi pernikahan Martin dan Martha melalui relasinya bersama besan, tanpa mempertimbangkan lebih jauh lagi apa yang harus dan tidak harus beliau lakukan saat menjaga relasi itu agar tetap aman.

Sekarang ketika faktanya sudah terbongkar, Martha telanjur hilang arah tujuan. Memaafkan orang tuanya adalah kewajiban, karena bagaimanapun kesalahan Marni tidak akan mengubah darah menjadi air dan menyudahi status dari lahir. Namun, mengawali segalanya dari garis start lagi harus susah payah untuk terlaksana, sebab Martha sudah dibawa jauh ke jalan yang salah akibat berbagai komentar—khususnya yang berasal dari keluarga.

“Maafin Bunda, ya …,” ucap Marni tulus, suaranya pelan akibat tidak sanggup menatap Martha yang runtuh. “Maafin Bunda ya, Nak. Kamu mau apa? Bunda bakal kasih asal kamu bisa balik lagi kayak dulu.”

Martha tidak mampu menjawab karena semua yang dimilikinya sudah lengkap, satu-satunya kekurangan hanyalah diri sendiri yang mati-matian untuk merangkak lagi. Melawan sumber deritanya dengan keberanian yang nihil, memaksa untuk tampil meski sesungguhnya membatin.

Hati-hati, Marni menarik Martha untuk mendekat, tak sekadar membawanya ke dekapan, tetapi membiarkan pahanya menjadi bantal untuk putrinya berbaring dan melupakan sejenak masalah yang tidak henti-hentinya menyerang. Martha tak menolak, biarkan dimonopoli sejenak oleh Marni yang berusaha menebus kesalahan meski caranya tidak tuntas.

Marni raih tangan Martha yang masih bergetar tiap mereka berdekatan, mengecup bagian punggungnya sambil berurai air mata. Marni elus puncak kepala putrinya, berusaha menghapus ingatan buruk yang sering hinggap di sana dan memberi siksaan lahir batin tanpa ampun. Kata maaf tidak berhenti, terus Marni lontarkan tiap semenit sekali.

Marni berusaha ambil hati lagi, sebab penolakan dari sang putri adalah ketakutan bagi mayoritas ibu yang tidak mau putrinya tersakiti. Marni harus mau susah payah, karena jatuhnya Martha sudah jauh melebihi batas.

Cara apa pun akan Marni lakukan asal Martha mau melihat beliau seperti dahulu lagi, menerima rangkulannya sebagai pelindung diri, tanpa takut lagi akan disakiti.