Insan Merindu

“Dari awal, aku sama Jibran udah mau cerita ke kamu. Tapi udah keduluan sama kamu yang minta putus.”
“Kalaupun orangnya bukan Kalani sama Pak Rakha, Jibran bakal tetep lawan orang yang udah jodohin dia sama anaknya.”
“Aku nggak mau bikin kalian optimis banget, tapi kalau emang jodoh, nggak ada salahnya berusaha.”
Himpunan kalimat yang menjadi deretan fakta itu kembali berputar dalam memori Eila yang mendengarnya langsung dari Trian. Eila kira, hanya dia yang bermain demi menyelamatkan kehidupan Jibran dari gosip buruk dan bisa mencoreng nama baiknya. Rupanya tidak, sebab jauh sebelum Eila membuat keputusan untuk berakting seakan-akan dia tak pernah mencintai Jibran, sang aktor dan manajer sudah ingin membuat rencana perpisahan demi melancarkan segala aksi mereka.
Seandainya Eila mau bersabar, keadaan hatinya dan Jibran jelas tidak akan sesulit ini. Namun, apalah daya bila semuanya sudah terjadi? Eila tidak bisa menyalahkan diri sendiri karena menurut Trian, apa yang dilakukan adiknya tepat meski harus merugikan dua pihak yang saling mencinta. Dengan tindakan Eila yang sepihak, seluruh orang yakin bahwa dia dan Jibran telah kandas.
Eila memejamkan mata untuk menghapus sejenak penjelasan Trian yang berkunjung tadi siang, dia ingin menjernihkan pikirannya dari masalah pelik yang dihadapi dan sialnya berurusan dengan orang-orang dalam industri hiburan. Sepanjang menjadi editor majalah hiburan, Eila jarang berurusan dengan selebritas secara langsung. Kalaupun harus, paling-paling hanya bertemu saat ada acara ulang tahun CelebStat dan mengundang selebritas dari berbagai usia.
Eila juga tahu kehidupan gemerlap dunia hiburan selalu memiliki sisi gelap yang patut diperhitungkan jika ingin menyelam ke dalamnya. Namun, dia tidak pernah menyangka ada cara licik seperti itu demi mendongkrak nama. Sutradara kenamaan saja bisa berbuat curang demi film dan putri bungsunya.
“Jibran lagi sakit di rumahnya. Kamu nggak mau jenguk?”
Eila spontan membuka mata mengingat kabar yang Trian berikan sebelum dia pergi. Eila sampai bangkit dari posisi berbaring, lalu berdiri karena khawatir dengan keadaan Jibran yang katanya di rumah sendiri. Eila keluarkan jaketnya dari lemari, mengambil kunci motor di dalam laci nakas, menyemprotkan parfum daan mengikat rambutnya agar tidak terlihat berantakan, barulah keluar dari kamar untuk pergi ke rumah Jibran.
Ini pukul sepuluh malam dan seharusnya Eila sudah istirahat. Terlebih saat Natta malah menginap di rumah temannya, Eila pasti akan tidur lebih cepat tanpa ada gangguan. Namun kini, Eila tidak bisa diam begitu tahu Jibran dalam kondisi sakit dan sendiri. Kalaupun ternyata di sana ada mamanya, Eila tidak akan peduli. Apalagi kalau ternyata Trian berbohong soal kondisi Jibran, Eila pun tidak peduli, asalkan dia bisa bertemu dengan sang aktor sekarang juga.
Setelah memastikan semua yang ada di rumahnya aman — khususnya kompor yang rawan lupa dimatikan — Eila bergegas keluar. Baru pintu dibuka, langkahnya berhenti mendadak melihat siapa yang muncul malam-malam tanpa diperkirakan. Eila menganga kecil akibat terkejut, lalu lututnya lemas setelah ditarik ke realitas mendapati sosok nyata yang seharusnya ia temui di rumahnya.
Namun, kelegaan itu tak sempat Eila rasakan kala melihat wajah Jibran pucat pasi dan tubuh menggigil. Eila sudah membuka mulutnya untuk bicara, tapi tertahan di ujung lidah saat Jibran tiba-tiba memeluknya erat hingga membuat sang lawan sedikit sesak. Tanpa peduli dadanya yang sesak, Eila tetap membalas dekapan itu dengan sama eratnya. Dua orang yang saling merindu itu akhirnya bertemu, menyatu untuk meluapkan segala rasa yang bergemuruh. Saat mereka telah bertemu hari ini, Jibran dan Eila tidak dapat dipisahkan lagi.
“Jangan tinggalin aku, Eila ….”