Kacamata yang Tepat

“Om Jibran nggak boleh gangguin Tante Eila! Nanti sakit lagi!” Gilang, putra sulung Trian, menarik tangan Jibran agar menjauh dari Eila yang sedang sibuk menyiapkan teh.
Sebenarnya Jibran tidak mengganggu, hanya memastikan Eila mampu berdiri tegak dan membantunya berjalan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Namun, dasarnya Gilang ini berlebihan seperti Trian—bahkan ikut sensitif tiap kali melihat Jibran—jadi menganggap sang aktor tengah mengganggu tantenya.
“Anak kecil, jangan aneh-aneh. Om cuma jagain pacar kesayangan biar nggak kenapa-napa,” balas Jibran yang tangannya tidak berhenti ditarik saat dia enggan menyingkir.
“Aku nggak ngerti pacar apa, tapi aku nggak mau Tante Eila dideketin Om Jibran jelek.”
Bukannya menghentikan perdebatan antara pria dewasa dan anak kecil di dekatnya, Eila malah tertawa sembari mengaduk gula agar larut dalam tehnya. “Kalian lucu banget. Udah cocok jadi temen.”
“Enggak mau!”
Eila tersentak mendengar Jibran dan Gilang berseru bersamaan sebagai penolakan menjadi kawan. Matanya sampai mengerjap beberapa kali sembari menatap dua orang di dekatnya secara bergantian. Bukannya tersinggung, Eila malah makin gemas, khususnya pada Jibran yang menunjukkan sisi lainnya saat di dekat Gilang.
Teringat waktu itu Gilang mengaku sebal pada Jibran, sekarang ucapannya terbukti benar dan terlihat juga Jibran kurang menyukai anak dari manajernya yang sedikit menyebalkan kala bicara. Anehnya, sama seperti sang aktor dan manajer, Jibran dan Gilang juga menjadi kombinasi yang pas ketika disatukan.
“Tante, awas jatuh. Om Jibran nggak bisa bantuin Tante, tuh,” ucap Gilang menjadi provokator saat Eila berjalan menuju ruang keluarga sembari membawa secangkir teh yang tidak lupa dibantu Jibran.
“Kamu yang jangan ngalangin jalan, Gil.”
“Om aja, tuh. Aku bantuin Tante Eila,” balas Gilang tidak mau mengalah, yang sebenarnya hanya berjalan di samping Eila demi memastikan tantenya berjalan dengan baik.
Begitu tiba di ruang keluarga, Thalia—istri Trian—muncul sembari menggendong bayinya dan menghampiri sang putra agar tidak mengganggu sejoli yang terlihat tidak sabar berduaan. “Nak, kita pulang. Taksinya udah nungguin di depan rumah.”
“Oh?” Eila otomatis mendekati Thalia yang sejak kemarin menginap di rumah untuk menjaganya bersama Trian—Jibran tidak masuk hitungan karena sejak hari pertama Eila pulang, pria itu sudah di rumahnya. “Mbak, nggak apa-apa naik taksi online? Tadi Jibran udah mau anterin.”
Jibran menyahut saat namanya disinggung, “Iya, Mbak. Biar aman kalau sama saya.”
Thalia menggeleng sembari menyalami adik iparnya. “Enggak usah, Eila. Sayang taksinya kalau di-cancel. Kamu nggak bisa ditinggal sendiri kalau Jibran anter aku sama anak-anak. Jadi, mending kalian berduaan aja sampai Natta pulang.”
Eila yang paham lantas mengangguk karena tidak bisa mendesak Thalia untuk menerima bantuan Jibran. Tanpa mau basa-basi lebih lama, Jibran dan Eila mengantarkan Thalia serta kedua anaknya hingga ke depan rumah yang telah dinanti oleh taksi online pesanannya.
“Tante Eila, awas Om Jibran ganggu.” Peringatan itu disampaikan oleh Gilang sebelum masuk ke mobil, hanya dibalas anggukan oleh Eila dan juluran lidah jail dari Jibran yang merasa menang.
Sekarang Jibran dan Eila telah duduk berdampingan di ruang keluarga, menikmati waktu sore berdua sembari menunggu Natta pulang kuliah. Saat keheningan terjalin khidmat dengan Eila yang menikmati tehnya dan Jibran memandangi serius wanita kesayangannya, salah satu dari mereka memecah keheningan menjadi obrolan serius untuk pertama kalinya dalam hari ini.
“Orang yang nusuk kamu udah ditangkap, Eila. Dia udah ngaku sebagai pelaku yang disewa sama Kalani.”
Informasi baik itu diterima dengan rungu yang tajam oleh Eila selaku korban. “Terus kasusnya udah berjalan sejauh apa?” tanya Eila yang ingin mengorek lebih dalam, padahal sebelumnya dia tidak ingin memusingkan masalah ini selama masa penyembuhan.
“Kalani udah jelas dengan kasus rencana pembunuhan, terus Pak Rakha sama Aiden dengan kasus penyuapan dan ancaman. Semua saksi, termasuk aku, udah bicara soal mereka. Orang CelebStat juga ikut andil walaupun skandal soal aku nggak dirilis sama sekali. Terus kamu tahu portal berita Neo News? Karena ada bukti Aiden bayar mereka untuk bikin berita soal aku sama Kalani, mereka mengakui tapi tetep aktif kayak nggak ada apa-apa dan banyak orang masih percaya. Untuk Mister Timon sendiri lebih banyak andil sama perjodohan yang bukan poin masalah ini, jadi beliau aman. Terus inti dari semuanya, mereka nggak akan bisa bebas karena udah nggak ada yang mau percaya mereka lagi.”
Pemaparan itu membuat Eila lega karena kasus yang berlanjut akan memberikan hukuman jera pada tiap pelaku. “Terus keadaan mereka gimana selama ditahan?”
“Aku pikir Kalani bakal mohon-mohon atau minta dikasihani, tapi dia malah makin sombong kayak papa sama kakaknya. Sombongnya kayak yang yakin dia bakal cepet-cepet bebas, terus dia bisa punya karier yang bagus lagi, bahkan percaya diri banget bisa sama aku lagi.”
Eila tertawa sembari mengernyitkan dahi. “Dia begitu?”
Jibran mengangguk. “Trian sama Mister Timon saksinya.”
Baiklah, ini sangat jauh dari ekspektasi Eila, sebab dia mengira Kalani dan keluarganya akan bertobat setelah perbuatannya diketahui publik. Sayangnya perkiraan itu salah karena Kalani masih menjadi orang yang paling percaya diri dibandingkan siapa pun, tapi Eila bisa mengerti sebab watak seseorang yang angkuh dan gengsian pasti sulit menerima kenyataan saat persembunyiannya terbongkar.
Namun, seangkuh apa pun, jika sudah kalah maka watak itulah yang tersisa untuk mereka tanpa mampu memberi penyelamatan. Menolak membicarakan masalah yang pelik lagi, Eila memilih membuka topik lain yang tidak kalah penting.
“Aku nggak ada maksud apa-apa, tapi mau ingetin kita belum balikan.”
Jibran yang sibuk mencium pipi Eila kontan menjauh saat disadarkan oleh fakta satu itu. “Terus? Kayaknya tanpa ada kata balikan, kita udah balikan. Kita saling cinta, saling sayang, bahkan saling kangen.”
Eila tidak membantah yang satu itu, tapi dia pun punya alasan kuat untuk argumennya. “Iya, tapi kalau orang-orang nanya hubungan kita apa, takutnya bikin kamu bingung. Kamu pasti butuh kejelasan.”
Jibran membetulkan posisi duduknya agar lebih berjarak dengan Eila. “Oke, kalau gitu kita perjelas. Kamu mau jadi pacar aku lagi ‘kan, Eila? Atau jadi istri aja, gimana?”
Eila terbahak sembari memegang bekas lukanya yang masih sedikit ngilu kala dia tertawa. “Kamu semangat banget, Jibran.”
“Jelas semangat, soalnya orang tua aku udah restuin kita, Eila.”
“Tapi Trian belum restuin kita, Jibran. Dia bakal marah-marah lihat kita bareng terus.”
Jibran mendesah berat mendengar nama manajernya yang sering labil; ada masa setuju, tapi lebih banyak masa tidak setuju. “Itu bisa diatur. Sekarang yang pentingnya kamu mau atau mau?”
Eila lagi-lagi tertawa, lalu berhenti untuk menyuguhkan satu kecupan di bibir Jibran yang sudah gemas menginginkan kepastian saat dibahas. “Aku punya bekas luka yang jelek banget. Pasti laki-laki ilfeel lihatnya. Kamu bakal terima?”
“Kamu tetep cantik dengan kacamata yang tepat, Eila,” Jibran rapikan anak rambut Eila yang menutupi sisi wajahnya, “dan aku kacamatanya.”
Gombalan yang aneh, tapi lebih aneh lagi saat Eila malah salah tingkah dibuatnya. Jibran kembali merapatkan posisi, meraih bibir Eila yang tadi sudah menggodanya. Sebenarnya tanpa validasi masing-masing, Jibran dan Eila sudah mengikrarkan janji untuk kembali. Namun, dengan adanya kepastian, hubungan mereka jadi jauh lebih abadi.
Di sela-sela ciumannya Jibran berkata, “I love you, My Perfect Wife.”
Eila menahan dada Jibran hingga ciuman mereka terlepas. “Belum, Jibran.”
“Tapi hampir. Kamu mau jadi istri aku yang punya bekas luka jelek dan susah hilang, ‘kan?”
Tangan Eila mengelus biceps Jibran yang ditutup oleh kaus lengan panjangnya. “Kamu selalu sempurna bagi banyak kacamata yang tepat,” Eila kecup dahi sang pria lalu melanjutkan, “dan aku salah satu kacamatanya.”