Satu Hari Lagi Dimulai

Kata orang, fisik seorang istri itu bisa menjadi tolak ukur bagaimana suami memperlakukannya. Bila tampak tidak sehat, maka ada kemungkinan sang suami tidak memperlakukan istrinya dengan baik. Bila istri tampil sehat, artinya kehidupan rumah tangga mereka pun sangat makmur. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kesuksesan seorang suami dilihat dari fisik sang istri.

Di sisi lain, fisik pun bisa menjadi bentuk penilaian bagi seorang istri dalam mempertahankan hubungan yang lengket bersama suami. Katanya bila istri cantik dan pandai merawat diri, suami akan setia dan tidak mungkin melirik perempuan lain karena pasti kalah menarik.

Lain halnya bila istri tidak bisa menjaga penampilan agar tetap prima, jangan heran bila mata suami jelalatan mencari mangsa untuk digoda. Setidaknya begitu kata orang yang sering menyalahkan pihak istri bila suaminya selingkuh, menganggap itu kesalahan satu pihak yang disebabkan hal sederhana tetapi krusial. Padahal nyatanya bila salah satu pasangan sudah punya tabiat mendua, penampilan menarik dan kemakmuran pasangan tidak menjadi tolak ukur untuk setia.

Well, bila boleh kembali ke topik soal penampilan, Martha yang saat ini tengah berdiri di depan cermin dan melihat bayangan diri, merasa tidak beruntung dengan kondisinya sekarang. Pasalnya sejak hamil, melahirkan, hingga usia putranya memasuki enam bulan, berat badan Martha meningkat dan sulit turun. Jeans dan kemeja yang dulu menjadi andalannya sudah tidak bisa dipakai, Martha hanya bisa puas dengan celana kulot, rok, daster, dan pakaian longgar lainnya yang bisa menyembunyikan bentuk tubuh.

Untuk warna pun Martha cari yang tidak cerah demi menyamarkan besar tubuhnya. Pagi ini saja Martha harus merasa cukup diri dengan daster cokelat bermotif bunga sebagai pelindung tubuh yang membuatnya sedikit percaya diri.

Ya, sejak melahirkan, waktu Martha untuk bergerak aktif hampir tidak ada karena sibuk mengurus anak dan suami. Di internet ada banyak saran mix and match pakaian untuk tubuh berisi sepertinya, tetapi Martha tidak percaya diri untuk melakukan hal itu. Alhasil Martha harus bersyukur dengan penampilan dia seadanya, meski tetap khawatir perubahan wanita itu akan berdampak pada hubungannya.

“Mana ya mamanya?”

Suara Martin dari luar kamar menginterupsi Martha yang berusaha baik-baik saja di hadapan suaminya. Tak lama kemudian Martin masuk ke kamar sembari memangku Markus yang tertawa menanggapi ocehan sang ayah.

“Ini dia mamanya,” ucap Martin dengan suara yang cukup nyaring. “Mama kenapa nggak keluar dari tadi? Markus laper, Mama.” Martin bicara sembari menirukan suara anak kecil, seakan-akan Markus yang bicara.

“Iya, iya. Ini mau keluar,” balas Martha seraya mengambil alih Markus dari gendongan Martin.

Ketiganya keluar dari kamar untuk memulai sarapan di ruang makan. Martin dan Martha duduk berdampingan, sedangkan Markus duduk di pangkuan sang ayah agar ibunya bisa leluasa ketika menyuapi makan. Meja makan berkapasitas enam orang itu hanya diisi oleh tiga orang, tetapi begitu meriah sebab Markus beberapa kali menolak makan dan rewel sampai Martha sedikit kewalahan.

“Aku aja yang suapin,” kata Martin sembari berusaha mengambil alih sendok dari tangan Martha untuk menyuapi Markus. “Biar kamu makan juga. Soalnya kamu suka makan belakangan, udah gitu sedikit.”

It’s okay.”

Martha menyeka bibir Markus yang belepotan menggunakan tisu, tidak menyerahkan sendok pada Martin agar tetap fokus pada sarapannya sendiri.

“Berarti porsinya harus dibanyakin. Soalnya kamu ngurus Markus sendiri, jadi asupannya juga harus pas. Sini, makannya biar aku suapin sampai habis.”

Dengan sebelah tangan terbebas sedangkan sebelahnya lagi menahan Markus agar tetap di pangkuan, Martin menuangkan nasi dan ayam goreng mentega ke piring sang istri yang porsi makannya berkurang belakangan ini. Piringnya masih penuh dan baru sedikit disentuh, tetapi seperti orang yang sudah menghabiskan setengah porsi karena bagi Martin istrinya makan terlalu sedikit. Martha tidak sempat menahan karena piring putihnya sudah diisi ulang.

“Nanti aku makin gemuk baru tahu rasa,” ancam Martha, tentunya setengah bergurau.

Martin terkekeh pelan dan mulai menyuapi Martha yang sibuk dengan Markus—sekarang sudah tidak rewel, tetapi masih membuat Martha kewalahan karena putranya enggan membuka mulut. “Kamu nggak akan gemuk, yang ada makin gemesin,” komentar Martin setelah menyuapi Martha sebanyak tiga sendok.

“Iya, di mata kamu doang aku kelihatan gemes.”

“Bagus, dong. Berarti kamunya juga buat aku sama Markus doang, nggak boleh buat orang lain.”

Martin selalu pandai membangkitkan rasa percaya diri Martha yang menipis, meski itu untuk sementara. Setidaknya ketika di depan sang suami, Martha tidak boleh tampil kecut hanya akibat kekurangannya saat ini. Sesi sarapan berakhir lebih lama karena usaha menyuapi Markus menguras waktu paling banyak. Alhasil Martin terlambat pergi ke studio untuk memulai syutingnya.

Sebagai influencer di media sosial dan pemilik podcast di YouTube yang dikelola bersama temannya, setiap hari Martin perlu ke studio karena ada banyak endorse yang datang, belum lagi syuting untuk podcast bersama bintang tamu; terdiri dari selebritas atau orang berpengaruh lainnya menyesuaikan topik yang akan diangkat.

Martin memiliki karier yang cemerlang sejak mereka masih pacaran, jadi Martha berusaha memahami situasi suaminya yang terlampau sibuk setiap harinya.

“Hari ini makan siangnya tolong bawa ke studio, ya. Kalau kamu nggak repot,” pinta Martin kala berdiri di depan pintu untuk pamitan pada keluarganya.

Permintaan itu membuat Martha yang menggendong Markus ragu, pasalnya datang ke studio adalah hal yang dia hindari setelah melahirkan. Bukan karena lelah, melainkan akibat rasa percaya dirinya yang tiada. Ditambah lagi di sana ada banyak orang yang terdiri dari rekan dan tim Martin, kepercayaan diri Martha makin runtuh padahal belum menginjakkan kaki. Namun, karena tidak mau mengecewakan, Martha menyanggupi permintaan itu dan berharap Martin tidak akan memintanya datang lagi.

“Oke, nanti aku ke sana pas mau jam makan siang, ya. Tapi aku masaknya buat kamu doang, bukan buat yang lain.”

“Iya, yang lain beli aja. Enggak boleh minta masakan kamu.”

Martin tidak langsung pamit pergi, malah memindai setiap sudut wajah sang istri yang mengalami perubahan setiap harinya. Bukan karena makin chubby—yang jujur bagi Martin malah membuat istrinya menggemaskan—Martha terlihat kurang segar dan kelelahan dengan lingkar hitam di bawah mata yang kian jelas. Martha boleh tersenyum, tetapi tidak menutupi keluhan pada fisik yang berusaha disembunyikan di hadapan Martin.

Dari pagi hingga malam, Martha hanya sendiri di rumah mengurus Markus yang sedang aktif, maka wajar bila tenaga istrinya kian hari makin menipis.

“Nanti aku cari babysitter yang oke buat kamu, ya. Biar nggak kecapekan gini. Dijamin profesional dan nggak nakutin kayak yang ada di teve.”

Martha gelagapan. “Itu … ngapain? Aku bisa kok ngurus Markus sendiri. Apalagi sekarang di rumah doang ngurus kamu sama anak.”

Martin manggut-manggut dan mengelus pundak Martha. “Aku tahu kamu bisa, tapi aku nggak mau kamu terlalu capek. Kalau ada babysitter, kamu bisa lebih santai pas lagi ngerjain yang lain. Nanti aku minta rekomendasi orang di studio deh biar babysitter-nya terjamin.”

Martin jelas tidak menerima penolakan untuk yang satu itu, karena dia menyewa jasa seseorang untuk kebaikan Martha dan sadar bahwa pria 27 tahun itu tidak bisa setiap saat bersama istrinya. Tanpa berdebat panjang, Martha akhirnya menyetujui rencana itu bersama harapan tugasnya mengurus Markus bisa terbantu dengan adanya babysitter.

Martin turut senang, lantas mencium kedua pipi Martha dan Markus yang masih di gendongan sang istri. “Minggu depan kamu udah nggak terlalu capek lagi. Aku jamin,” final Martin, menatap lekat Martha yang berubah drastis sejak persalinan pertamanya, tetapi tak mengubah pandangan pria itu terhadap istrinya.

Baginya, Martha tetap sama seperti awal mereka berjumpa, tetap sama seperti saat masih berkencan. Kalaupun ada perubahan nyata, Martin hanya melihat perubahan baik yang menambah bahagianya. Martin akhirnya pergi tanpa lupa untuk melambai pada keluarga kecilnya, meninggalkan Martha dan Markus berdua tanpa melepaskan pandang pada kepergian sang kepala keluarga meski jejaknya telah berlalu jauh.

Tak lama setelah kepergian Martin, rengek kecil Markus menginterupsi Martha untuk segera menutup pintu, memerintahkan wanita itu untuk menanggapi semua keinginan putranya yang hanya mampu menyampaikan segala hal melalui tangis. Satu lagi hari yang melelahkan dimulai dan harus Martha lalui sendirian.