Kontrak Seumur Hidup

“Ini apa?”
Jibran kelewat bingung ketika di piring ada satu porsi ayam, lengkap dengan sambel dan lalapan seperti daun kemangi, timun, dan satu lagi yang asing di mata. Sedangkan di piring satunya lagi ada satu porsi nasi dengan taburan bawang goreng di atasnya. Eila ikut bingung saat Jibran mempertanyakan makanan yang dia beli akibat tidak sempat masak setelah menyiapkan adonan croffle, seakan-akan pria itu tidak pernah melihat bentuk makanan yang cukup bersahabat di kantong dan sering mangkal di pinggir jalan.
“Ini pecel ayam. Jangan bilang kamu nggak pernah tahu apa itu pecel ayam.”
Jawaban Eila menambah kernyitan di dahi Jibran karena dia baru tahu ada nama makanan seperti itu. “Bukannya pecel itu dari sayur, ya?”
“Enggak salah, tapi ini versi ayamnya. Dimakan pake nasi uduk anget sama lalapan,” jelas Eila sembari menarik kursi dan duduk di hadapan Jibran.
“Terus ini apa?” Jibran menunjuk pada makanan yang baru pertama kali dilihatnya.
“Ini kol goreng,” jawab Eila semangat. “Emang nggak sehat, tapi makan pecel ayam ditambah kol goreng jadi makin nikmat.”
Jibran menganga takjub karena dia baru tahu kol yang biasanya ada di sup bisa digoreng. Bentuknya aneh, tapi kalau boleh jujur memang berhasil meningkatkan nafsu makannya.
“Tunggu.” Jibran menginterupsi saat Eila akan mulai makan. “Pecel ayam ini yang suka ada di pinggir jalan?”
Eila menepuk tangannya sekali. “Bingo. Syukur kamu tahu. Soalnya aku hampir ngira kamu dari planet lain kalau sampai nggak tahu. Walaupun tetep aneh karena kamu belum pernah makan. Jangan sampai mi instan juga belum pernah makan, soalnya lebih aneh.”
Jibran menggigit bibirnya dan menggeleng tanpa rasa bersalah. Eila yang paham maksud reaksi itu dibuat menganga.
“Kamu beneran nggak makan mi?” seru Eila tidak percaya.
“Aku pernah makan ramen sama udon,” jawab Jibran polos.
“No, bukan kayak gitu. Mi instan, Indomie, yang suka ada di warung-warung, minimarket, bahkan supermaket. Di sekolah dulu juga ada kantin yang jualan mi, kok.”
Kantin, ya. Jibran tidak ingat bagaimana isi kantin di sekolahnya. Jarang sekali Jibran jajan, karena dia lebih sering dibawakan bekal oleh Mia agar putranya tidak makan sembarangan. “Emangnya enak?”
Rasanya ingin sekali menertawakan Jibran yang tingkahnya seperti orang dari planet lain karena dia tidak tahu mi instan sampai pecel ayam. Namun, Eila mengurungkan tawanya karena orang seperti Jibran bukan satu atau dua di Indonesia. Lingkungannya tidak pernah memperkenalkan dia pada makanan yang merakyat, jadi wajar Jibran tidak tahu.
Tidak ingin memperpanjang perdebatan, makan malam akhirnya dimulai dengan Eila sebagai pendahulu. Jibran mencotek gaya makan Eila yang sudah habis tiga suapan. Bukannya Jibran tidak terbiasa makan tanpa alat bantu seperti sendok dan garpu, tapi karena ini pertama kalinya dia makan pecel ayam dengan lalapannya, Jibran harus memastikan cara makannya tidak salah.
Setelah makan malam selesai, Jibran duduk di ruang keluarga sembari membaca kontrak kerja bersama Kick Entertainment yang menawarkan dia untuk bergabung. Kontrak selama lima tahun itu tinggal Jibran tanda tangan setelah adanya perbincangan bersama perwakilan dari sana, bahkan berdiskusi dengan Timon yang mengenal Kick Entertainment, dan tidak lupa meminta pendapat orang tuanya. Jibran juga dipersilakan mengajak Trian untuk kembali menjadi manajernya setelah resmi keluar dari Punch, yang syukurnya pria itu bersedia untuk mengurusnya lagi.
Namun, pertimbangannya jauh lebih panjang dibandingkan saat ia menandatangani kontrak dengan Punch Entertainment. Jibran sudah mencecap manis, asin, dan pahitnya gemerlap dunia hiburan. Puncaknya di film terakhir yang harus mengorbankan Eila. Jibran tidak mau lagi hal seperti itu terjadi di hidupnya, tapi jauh dalam sanubarinya, keinginan untuk kembali pun tetap ada.
“Kamu udah mutusin mau gabung Kick, Jibran?” tanya Eila sembari meletakkan dua cangkir teh di atas meja, lalu duduk di samping Jibran.
“Belum. Aku masih bingung.”
Paham apa yang menjadi dilema prianya, Eila membantu menenangkan pikirannya agar tidak kacau. “Apa pun keputusan kamu, itu udah yang terbaik. Kamu udah punya rancangan masa depan, jadi tanpa balik berkarier sebagai aktor pun semuanya udah pasti. Tapi kalau kamu masih mau berkarier lagi, silakan jalanin, aku sama yang lain selalu ada buat dukung kamu.”
“Thanks, Eila.”
“Sama-sama. Plus Kak Trian juga nggak mau lama nganggur.”
Jibran tergelak mengingat betapa frustrasinya Trian saat dia harus melepas pekerjaannya, padahal sebelumnya membanggakan diri menjadi pengangguran dengan uang yang masih berlimpah. Namun, harus diakui, yang dirasakan oleh Trian ikut menular pada Jibran.
Pria itu ingin beraksi lagi di depan layar, masih ingin mengeksplorasi aktingnya agar tidak begitu saja, bermain dengan aktor-aktor hebat sebagai lawannya, serta menghibur penggemar yang masih ingin melihatnya berlaga.
“Kick kasih aku waktu enam bulan buat tanda tangan kontrak. Mereka juga terima syarat aku yang cuma mau main film sekali setahun. Terus aku juga bilang butuh personal assistant di luar yang Kick kasih dan orangnya Natta, dia udah setuju pas aku ajak.”
“Bagus, dong. Mereka kasih banyak kelonggaran buat kamu. Terus waktu yang dikasih juga panjang supaya kamu lebih mikir matang. Aku dukung banget.”
“Tapi kayaknya kita harus ngomongin kontrak yang lain dulu.” Jibran meletakkan kontrak dari Kick di atas meja, lalu memandang Eila serius untuk membicarakan sesuatu yang lebih penting daripada kontrak kerja.
“Kamu mau ngomongin kontrak apa?”
“Kontrak nikah.”
“Gimana?” Eila mendengar jelas apa yang dikatakan Jibran, hanya saja dia perlu memastikan pria itu tidak salah bicara karena menjawab pertanyaannya tanpa basa-basi.
“Aku nggak sempet bikin kontraknya, jadi lewat lisan aja. Enggak apa-apa, ‘kan?”
Eila tidak mampu menjawab karena pikirannya blank saat kata nikah dilontarkan tanpa hambatan. Wanita itu baru kembali ke realitas kala Jibran menggenggam erat tangannya, menatapnya dalam, bahkan tersenyum manis dan penuh pujaan. Eila yakin semburat merah muncul di pipinya kala debar jantungnya bekerja amat cepat. Eila berharap ekspresinya tidak memalukan di momen-momen penting yang tidak terduga ini.
“Aku nggak ngajak buru-buru, tapi minimal kita ada rencana buat ke depannya. Kamu udah tahu kurangnya aku dan kamu nerima itu. Aku juga selalu nerima kamu apa adanya. Kamu selalu dukung setiap jalan baik yang aku tempuh, jadi aku yakin kamu bakal ingetin aku kalau ke depannya ambil jalan yang salah. Dari zaman sekolah sampai detik ini, cuma kamu yang paling aku cinta. Sampai di masa depan pun, kamu satu-satunya.” Jibran menjeda dan meralat, “Kecuali saat kita udah punya anak, pasti prioritas kita saling dibagi buat anak. Tapi percaya, kamu jadi orang kedua setelah mama aku yang megang takhta tertinggi. Makanya aku nawarin kontrak seumur hidup dengan hubungan baru. Hubungan yang resmi, hubungan yang sah di mata Tuhan, dan hubungan yang nggak akan misahin kita kecuali ajal. Kamu mau nikah sama aku, Eila …?”
Puncak akhirnya dituju, menjemput Eila untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Matanya telah merah akibat rasa bahagia yang terlampau menggebu, tapi masih belum memberi jawaban yang Jibran mau.
“Kalau sama aku, nanti makannya bisa mi, bubur, sama pecel ayam. Kamu mau?”
Jibran tertawa pelan, sampai satu jawaban dia layangkan, “Aku mau.”
“Terus aku suruh kamu gulung adonan croissant tiap pagi. Kamu mau juga?”
“Aku selalu mau, Eila. Asalkan kamu juga mau nama kamu jadi muncul di publik setelah kita nikah, apalagi kalau nanti aku jadi balik akting lagi. Tapi jangan khawatir, aku pasti jagain kamu terus. Kamu siap?”
Sejak beberapa bulan terakhir, namanya sering dikaitkan dengan Jibran, bahkan beberapa kali muncul di televisi tiap pacarnya ditanya soal presensi Eila yang masih misterius. Awalnya risi, tapi lama-lama terbiasa dan sudah menjadi risikonya menjadi kekasih dari aktor besar. Maka dengan modal itu, Eila siap untuk melangkah lebih jauh dengan sosoknya yang akan dipublikasi di depan publik.
“Aku selalu siap, Jibran.”
“Berarti kamu mau nikah sama aku?”
Eila mengangguk, melafalkan satu kata yang menyebarkan kelegaan dalam diri Jibran kala mendengarnya. “Mau.”
Akhirnya Jibran bisa bernapas lega mendengar jawaban yang paling dia nantikan sepanjang hubungannya dengan Eila berjalan. Jibran kecup punggung tangan Eila, meraih bibir sang puan dan menciumnya sebagai selebrasi atas lamarannya yang telah diterima.
“Sekarang tinggal tanda tangan kontrak,” ucap Jibran setelah melepaskan ciumannya.
“Tanda tangan gi—” Eila menggantungkan kalimatnya kala Jibran mengeluarkan sebuah cincin bermatakan berlian dari saku celananya.
Jibran sematkan cincin itu di jari manis Eila hingga mempercantik penampilan sang kekasih yang akan selalu menjadi miliknya. Sungguh, kejutan ini amat tidak terduga sebab Eila kira lamaran Jibran hanya cukup dengan lisan. Rupanya pria itu sudah menyiapkan bagian paling penting dari sebuah lamaran, melengkapkan kasih yang Jibran tunjukkan untuk Eila.
“Sekarang kamu udah resmi jadi calon istri aku, Eila.”
Jibran menautkan dahinya dengan dahi Eila yang tiba-tiba berurai air mata, terlalu melankolis mendapatkan siraman kasih sayang sebanyak ini dari pria yang menjadi bagian perjalanan cintanya. Jibran seka tirta yang merenggut senyum kekasihnya, menggantikannya dengan kupu-kupu yang beterbangan di perut melalui ciumannya.
Dengan cincin yang telah melingkar dan keinginan untuk sama-sama mengikrarkan janji suci pernikahan, Jibran Dava Adelard dan Ardania Eila Mahadarsa siap memulai hidup baru yang telah menunggu di depan mata.

Natta menutup pintu rumahnya hati-hati setelah menyaksikan pemandangan yang sudah sering dia temukan, tapi tidak pernah terbiasa sebab rasa iri menambah kuat status jomlonya. Hal itu disaksikan oleh Trian yang mengantar adiknya pulang, membuat sang sulung bingung karena Natta malah kembali keluar.
“Kenapa, Dek? Kok mukanya asem gitu?”
“Kita belum bisa masuk, Kak,” jawab Natta dengan tubuhnya yang mendadak lemas.
“Rumah berantakan? Eila pasti nggak beresin,” terka Trian yang sudah siap mengomel adiknya.
Natta menahan Trian yang akan masuk ke rumah. “Jangan dulu, Kak. Itu Kak Jibran sama Kak Eila lagi sibuk ciuman.”
Trian syok, sampai suara lantangnya menggemparkan gelapnya malam yang seharusnya tenang. “Lagi?! Jibran, Eila, aku nikahin mereka malam ini juga!”
Behind His First Act resmi selesai.