Kunjungan

“Jibran.”

Sang aktris yang memanggil menghamburkan dirinya dalam pelukan Jibran dengan keadaan tangannya diborgol agar tidak ke mana-mana. Kalani Ningrum Rakha, mencari bantuan dari pria yang sudah sangat dia harapkan kunjungannya. Jibran menepuk pundak Kalani seadanya, lalu membawanya duduk berhadapan di ruang interogasi tempat mereka berjumpa dan diawasi oleh penyidik di luar.

Setelah mereka berhadapan, Jibran amati paras Kalani untuk tahu bagaimana keadaannya selama ditahan dan menunggu diadili. Wanita itu terlihat sehat, masih bisa memoles sedikit riasan di wajah, bahkan tadi rambutnya pun wangi seperti tidak luput dari perawatan. Kalani tidak seperti sedang ditahan, bahkan borgol di tangannya itu bagaikan aksesoris biasa untuk mempercantik penampilan.

“Aku bakal keluar dari sini.”

Belum ada lima menit bertemu, rasa percaya diri Kalani yang diceritakan oleh Trian dan Timon sudah muncul, seakan sengaja ingin menunjukkannya secara langsung di depan Jibran.

“Aku bakal berkarier lagi, nggak masalah walaupun cuma peran kecil di sinetron atau FTV. Toh, nanti karier aku bakal besar lagi dan bisa main di project yang bagus. Aku juga bisa dapat tawaran jadi BA sana-sini, jadi semuanya bakal aman.”

“Kalani, belum tentu kamu bakal bebas dalam satu atau dua tahun. Kalau bisa pun, semuanya bakal beda.”

Senyum yang terpatri di wajah Kalani perlahan memudar, digantikan oleh mimik sinis menyeramkan dengan semangat negatif yang menggebu. “Aku bakal balik lagi ke industri hiburan dan nggak ada yang bisa berhentiin aku sekarang. Enggak peduli pake cara baik atau buruk, aku bakal muncul lagi di depan publik.”

Ketegasan Kalani membuat Jibran miris karena kegigihan sang aktris, tanpa peduli meskipun dengan cara kotor. Jibran mengira Kalani akan bertaubat dan introspeksi atas perbuatannya, tapi rupanya wanita itu makin digelapkan oleh popularitas yang tidak seindah di dalam kamera.

“Seandainya kamu nggak lakuin itu ke Eila, kamu nggak akan ada di sini untuk nanggung kesalahan sendiri.”

Saat nama itu meluncur dari birai Jibran, Kalani makin digelapkan dendam sebab masih menganggap Eila telah merebut pasangannya. “Dia pantes dapetin itu, Jibran,” ucap Kalani sinis. “Dia udah rebut kamu dari aku, ngerasa sok cantik dan hebat, jadi harusnya dia nggak pernah bangun supaya kalian nggak sama-sama.”

Jibran mengetatkan rahangnya mendengar cacian yang Kalani layangkan untuk Eila, membuat mood-nya jadi buruk dan tujuannya datang secara baik-baik harus hancur akibat ulah Kalani. Jibran menunduk sejenak, menatap meja hitam yang tampak kelam, lalu kembali memusatkan pandang pada Kalani yang belum melunak.

Dari situlah Jibran memilih menyudahi pertemuan lebih cepat, memutuskan segala ikatan dan komunikasi yang masih ingin dia jalin dengan baik, dan berdoa agar Kalani serta keluarganya mau sadar setelah mendekam di penjara. Jibran berdiri tanpa menaruh minat lagi untuk menjadi baik-baik, sebab semuanya sudah harus selesai.

“Aku ke sini mau tahu gimana kabar kamu, Kalani,” katanya menutup pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Kalani secara pribadi. “Aku pikir kamu bakal berubah, tapi ternyata makin parah. Semoga kamu berhenti berharap aku bakal balik ke kamu, Kalani, karena sampai kapan pun nggak akan begitu. Aku cuma mau sama Eila. Makasih, Kalani. Sehat-sehat di sini.”

Tungkai sang pria melangkah keluar ruang interogasi, meninggalkan Kalani dengan sejuta emosi yang menumpuk hingg wajahnya merah padam. Alih-alih jadi menyadari kesalahannya, Kalani tetap dengan kegigihan yang sama; namanya akan bersinar di industri hiburan.