Kunjungan
Kedatangan Wulan Atmajaya, mami Martin, dan Marni Andarin, bunda Martha, ke rumah merupakan momen yang paling mendebarkan karena saat itulah sosok Martha secara tidak langsung akan dinilai sebagai seorang istri. Apalagi kedatangan mereka sangat mendadak, jadi Martha tidak sempat menyiapkan diri dengan baik.
Alhasil penampilan Martha ketika bertemu Wulan dan Marni terbilang sederhana, hanya menggunakan daster hitam polos yang jadi andalannya kala di rumah, tetapi untungnya dia masih sempat merias diri sedikit agar wajahnya tidak pucat. Lebih beruntung lagi mereka datang menuju makan siang dan saat Markus tengah tidur, jadi penilaian mereka untuk Martha selama mengurus putranya tidak akan dilaksanakan secara langsung untuk sementara.
“Maaf, ya, kami ke sini nggak bilang-bilang,” ucap Marni ketika Martha menyuguhkan dua cangkir teh jasmine dan satu toples cookies cokelat yang Martin bawa tempo hari.
Belum Martha habiskan karena terlalu banyak, lantas memilih disajikan untuk dua tamu di hadapannya yang langsung mengamatinya penuh perhitungan. Martha sudah mendaratkan tubuhnya di sofa saat dua pasang mata itu masih melakukan evaluasi dalam diamnya.
“Enggak apa-apa, Bunda,” balas Martha santai, tidak mau bereaksi berlebihan atau itu akan jadi celah Wulan dan Marni untuk berkomentar. “Tapi maaf banget belum bisa ketemu Markus. Dia lagi tidur.”
“Ah, nggak apa-apa.” Wulan meraih cangkir tehnya, menyeruputnya sedikit demi sedikit, lalu kembali diletakkan di atas meja. “Jam segini bayi baiknya tidur. Biar kita aja yang kumpul. Udah lama Mami sama bunda kamu nggak ke sini.”
“Iya, Nak. Kamu juga biar agak santai. Enggak repot ‘kan ngurus Markus tanpa babysitter?”
Martha tersenyum kikuk atas pertanyaan Marni di akhir. “Repot waktu ngurus bayi wajar, Bunda. Apalagi Markus udah bisa makan, terus tidurnya udah nggak bisa diam, jadi pasti repot.”
Ada keluhan di sana yang berharap bisa dimaknai dengan baik oleh dua orang di hadapannya. Bagaimanapun Wulan dan Marni sudah lebih berpengalaman dalam mengurus anak dari bayi hingga dewasa, pasti bisa memberi nasihat berguna untuk Martha yang masih butuh bimbingan di sepanjang perkembangan putranya.
“Tapi serepot-repotnya coba deh perhatiin penampilan kamu.” Komentar Marni menohok Martha yang masih mengharapkan hal lain untuk dikomentari, bukan penampilannya yang sering membuat wanita itu tidak percaya diri.
Wulan yang baru saja menghabiskan setengah cangkir tehnya ikut menyahut, “Iya, Martha. Kamu masih muda, cantik juga, masa penampilannya kayak ibu-ibu umur 40? Malah ibu-ibu umur segitu aja masih modis banget. Kamu ‘kan Selebgram, wajib banget jaga badan biar ideal lagi. Nanti Mami kasih tips deh caranya olahraga sambil jagain Markus. Dulu Mami bisa lho turun dalam waktu sebentar setelah lahiran, padahal lagi repot-repotnya ngurus Martin pas masih bayi.”
Marni manggut-manggut menanggapi besannya. “Bener tuh, Martha. Bunda juga bisa turun berat badan setelah lahirin kamu. Malah ngurus bayi bikin kita banyak gerak, jadi harusnya bisa kejaga tuh berat badan.”
“Sama baiknya jangan terlalu banyak makan manis,” tambah Wulan sembari menunjuk cookies cokelat menggunakan dagunya. “Itu bikin kamu susah nurunin berat badan. Biar nggak gendut terus, Martha. Nanti kalau Martin tiba-tiba lirik perempuan lain karena kamu nggak menarik bisa gawat, lho. Banyak kejadian kayak gitu.”
Marni merinding membayangkan kejadian buruk itu bisa saja mengacaukan pernikahan putrinya. “Tuh, Nak. Turunin tuh berat badan biar nggak gendut terus, ya. Pas anak tidur jangan leha-leha, tapi dimanfaatin buat olahraga.”
Enteng sekali ketika Wulan dan Marni bicara bergantian, tanpa sadar bahwa komentar itu sudah menyakiti Martha yang selalu memiliki niat tinggi untuk menurunkan berat badannya, tetapi waktu tidak pernah berpihak. Martha menatap punggung tangannya yang membesar karena terbawa perubahan, sangat berbeda dengan kondisinya saat masih gadis yang jarinya saja begitu ramping dan lentik.
Teringat lagi bagaimana Julian mengomentari bentuk tubuh Martha saat datang ke studio, lalu ditanggapi oleh tawa dari karyawan di sana karena bagi mereka komentar Julian sangat lucu. Di situ Martha hanya tersenyum sembari menahan pilu, tetapi senyum itu jadi pancingan untuk yang lain ikut berkomentar terkait bentuk tubuhnya, bersembunyi di balik kata bercanda agar Martha tidak tersinggung.
“Mbak, mau saya ajak diet nggak?”
“Mbak Martha, kapan akun IG-nya aktif lagi? Mau lihat foto Mbak Martha yang cakep lagi, nih.”
“Berarti nunggu Mbak Martha body goals lagi kalau mau aktif. Iya nggak?”
Masih ada beberapa kalimat menyinggung yang kembali naik ke permukaan, padahal sudah mati-matian berusaha Martha lupakan. Beruntung berbagai ledekan itu berhenti setelah Martin akhirnya muncul dan menegur agar tidak bicara aneh-aneh soal Martha.
Saat itu Martin menjadi pahlawan yang membelanya dan berhasil membuat orang-orang bungkam. Namun, saat ini hanya ada Martha yang harus membela diri, meski sayang usahanya tetap gagal.
“Badan Martha emang nggak kayak dulu, tapi tetep sehat, kok,” ucap Martha setelah beberapa saat membisu. “Bukannya itu bagus? Berarti ‘kan Martha bahagia selama nikah sama Martin.”
“Badan gendut itu nggak sehat,” balas Wulan tanpa simpati saat Martha berusaha menaikkan kembali harga dirinya. “Gendut juga bukan tanda bahagia, Nak,” lanjut Wulan tenang dan pedas, “itu malah tanda kamu nggak peduli sama pernikahan atau pandangan Martin. Jangan dibiasain. Awal-awal Martin pasti biasa aja, tapi nanti kalau nuntut atau nyari pengganti, kamu nggak mau, ‘kan?”
Martha gigit bibir bawahnya, menahan sekuat mungkin lelehan kata tidak pantas agar tidak keluar sembarangan, enggan dicap sebagai anak durhaka. Well, Wulan dan Marni bisa bicara seenteng itu karena harus diakui penampilan mereka masih modis meski sudah jauh dari kata muda. Wulan bahkan mewarnai rambutnya menjadi cokelat dan merah bergaya peek a boo, sedangkan Marni sampai sulam alis dan bibir agar penampilannya lebih prima.
Jelas kontras dengan kondisi Martha yang lebih muda, tetapi penampilannya tidak sesuai dengan usia. Namun, bukan berarti mereka berhak berkomentar tanpa memikirkan bagaimana perasaan Martha kala mendengarnya. Mereka yang paling tahu kondisi perempuan pasca bersalin, tetapi bicara seakan-akan tak peduli dengan perubahan yang hadir.
Saat Martha sudah tidak bisa membalas, ada sedikit harapan Marni mau membela putrinya. Martha bukan ahli membaca ekspresi, tetapi dari gelagat Marni yang diam saja ketika putrinya dikomentari begitu oleh mertuanya, mengartikan bahwa sang bunda lebih mendukung Wulan dan membenarkan setiap katanya.