Last Night

Malam ini langitnya cerah, dilukiskan oleh bulan dan bintang yang mempercantik langit setelah beberapa hari suram. Meski langit kini membaik, tidak menularkan kondisi sama pada Jibran yang masih merana meratapi nasib Eila. Sama seperti malam-malam biasanya, Jibran menjaga Eila yang belum sadar dari perjuangannya. Eila tampak betah tidur lama, seakan tidurnya menjadi sedikit penyelesaian dari masalah yang ada, serta tidak mengganggu rencana agar Jibran tetap aman.
Wanita itu terluka, tapi berkat lukanya, Jibran yang kini bekerja sama dengan beberapa orang mendapatkan hadiah terbaik untuk meringankan segala pencarian. Jika Eila sudah sadar—dan harus sadar—Jibran akan mengucapkan terima kasih sebanyak yang dia bisa sebagai penghormatan atas pemberiannya. Meski kegiatan menjaga Eila ini rutin dilakukan, malam ini tetap terasa beda sebab akan jadi malam terakhir pertemuan mereka.
Sesuai saran Trian yang sudah dia pertimbangkan, Jibran tidak akan datang ke rumah sakit dan fokus dengan promosi filmnya. Jibran menghindari dirinya atau orang-orang terdekat menjadi sasaran Samuti Rakha, kembali berperan menjadi pacar Kalani yang lebih seperti supir untuk menjemputnya.
Hanya ada Jibran dan Eila di kamar rawat, sedangkan Natta memilih mencari makan dan memberi ruang pribadi untuk dua insan yang lagi-lagi harus dipisahkan. Jibran duduk di kursi samping brankar, netranya mengawasi sekujur tubuh Eila untuk melihat perkembangan yang tidak kunjung tiba.
Sabar, adalah mantra mujarab yang menenangkan Jibran agar kuat tiap kali menatap Eila. Dia boleh terlihat tenang, tapi dalam dirinya menjeritkan segala doa dengan satu makna; Eila segera sadar.
“Eila, besok malam aku nggak ke sini lagi,” ucap Jibran dengan sesak yang mulai dirasa saat kalimat pertamanya susah payah mengisi kesunyian. “Jadi, aku mau ngomong hal-hal ini ke kamu.”
Jibran raih tangan Eila yang terasa hangat tanpa daya, mencium punggung tangannya, lalu menggenggam erat tangan itu untuk menyalurkan rindunya. “Eila, aku bakal berusaha sekuat mungkin nyelesain masalah ini sama Trian dan Mister Timon. Aku juga masih harus promosi film, jadi bakal sibuk ke sana-sini. Selain sibuk, aku juga nggak mau orang lain jadi korban karena ketahuan masih ketemu kamu. Bukannya aku pengecut, tapi aku nggak mau orang lain kena getahnya lagi setelah kamu. Kalau harus aku yang kena, itu nggak masalah, yang penting orang lain selamat, termasuk kamu.”
Jibran tidak mampu menahan air matanya yang kembali luruh, tapi tidak berusaha dia seka sebab ini akan menjadi terakhir kalinya menangis di samping Eila. Jibran membiarkan semua luka yang sebelumnya dia sangkal untuk berhamburan, berharap setelahnya bisa sedikit berkurang. Tentu Jibran tahu itu sulit, karena selama Eila masih belum sadarkan diri, perasaannya tidak kunjung pasti.
“Eila, makasih udah mau aku undang buat hadir. Semoga kamu nggak nyesel karena jadi terlibat sampai harus luka kayak gini. Jujur, setengah dari diri aku nyesel dan ngerasa bersalah karena kamu harus jadi korbannya. Tapi banyak dari diri aku yang bersyukur karena kita ketemu lagi dan bisa sama-sama. Aku jauh lebih percaya diri, aku bisa eksplor hal baru, aku banyak belajar dari kamu, dan hal terpenting … aku bisa ngasih tahu rahasia yang udah lama dipendam.”
Jibran menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa demi mengisi dayanya lagi. Tidak membuatnya lega, tapi setidaknya Jibran memiliki tambahan energi demi bicara sebelum berpisah dengan Eila.
“Aku cinta kamu, Eila. Aku sayang banget sama kamu. Kalau pas udah sadar ternyata bikin kamu kapok sama aku, nggak apa-apa, aku bakal coba ikhlas. Aku berdoanya kamu nggak kapok biar kita sama-sama terus. Tapi soal itu bisa dipikirin nanti, karena yang penting kamu sadar dulu, oke?”
Sekujur tubuh Jibran kini bergetar akibat hujan air mata yang tidak kunjung reda. Sang aktor menunduk, bukan untuk menyembunyikan kesedihan yang telah terlambat, melainkan memberi jeda sampai dia mampu kembali bicara.
Sambil terisak, Jibran bangkit dengan tubuh membungkuk dan mendekati wajah Eila. Begitu jarak mereka menipis, Jibran mendaratkan satu ciuman di dahi Eila yang tampak tenang. Jibran tautkan dahi mereka, ingin merasakan jarak sedekat ini sebelum jauh untuk urusan sendiri. Air matanya jatuh ke pipi Eila, tapi tidak mengganggu ketenangannya yang betah terlelap.
Jibran pejamkan mata dan berkata, “Semuanya baik-baik aja, Eila. Semuanya bakal selesai dengan baik. Aku janji.”