Lidah Tak Bertulang

tw // body shaming

Selama berusaha berdamai dengan keadaan dan perkara hukum berlangsung sengit, Martin selalu menutupi siapa dalang utama yang sudah membuat Martha terpuruk di dunianya. Martha tahu Dalia berulah di ulang tahun Julian, mempermalukannya di depan banyak orang padahal bukan dia yang menang. Namun, Martha tidak menyangka bahwa Dalia—adik rekan suaminya—pelaku yang paling parah karena menyebar fitnah terkait Martha di media sosial.

Fitnah yang membuat Martha ketakutan untuk membuka media sosial, mendapatkan ratusan cacian baik dari Twitter dan Instagram, sampai dia mempertanyakan apakah selama ini hidupnya selalu salah di mata orang dan tidak diizinkan untuk hidup tenang. Martha tidak mengenal Dalia secara dekat selain tahu dia sering memuji Martin setiap bekerja, pernah ditegur dua kali melalui pesan dan secara langsung, tapi tetap tidak menyangka bila gadis muda itu bisa berbuat brutal dengan menjatuhkannya.

Saat diminta untuk bertemu Dalia yang merupakan tersangka, Martha berpikir cukup lama karena dia akan berhadapan dengan orang yang membuat mental jatuh. Persiapan harus dilakukan, jangan sampai Martha bereaksi sama seperti ketika berjumpa dengan Marni dan Wulan. Martha harus kuat, meski akhirnya pasti dia akan jatuh juga. Setelah menerima dan bersiap diri, diberi wanti-wanti oleh Martin yang tidak akan melepaskan istrinya secuil pandang pun, Martha akhirnya bersua dengan Dalia yang tampak lesu tetapi ditutup oleh ego dan gengsi di wajah.

Sesuai rencana, mereka bertemu di kediaman keluarga Julian, dijaga ketat oleh kepolisian di luar, dan diawasi oleh Martin serta pemilik rumah agar langsung menarik masing-masing perempuan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di ruang tamu yang biasanya terdapat sofa marun, kini digantikan oleh dua kursi hitam saling berhadapan bersama meja berwarna senada yang berada di antaranya, memisahkan Martha dan Dalia yang bungkam dan begitu tegang.

Dalia menatap nyalang Martha, sedangkan yang ditatap tangannya mulai gemetar kecil di bawah meja. Martha tidak mau goyah, jadi dia berusaha sembunyikan perasaan sesungguhnya demi bisa menyelesaikan pertemuan tanpa ada lagi beban. Martin dan Julian berdiri di dekat pintu, mengawasi gerak-gerik Dalia yang kedua tangannya diborgol agar tidak melakukan pemberontakan.

Setelah tragedi penyerangan itu, Dalia jadi sering melempar berbagai barang di kamarnya, melampiaskan kemarahan karena merasa tidak layak diperlakukan seperti orang terhina. Jadi untuk menghindari kejadian mengerikan di mana Martha diserang oleh Dalia yang emosinya naik turun cepat, baiknya sang pelaku ditawan asalkan percakapan mereka bisa berakhir tanpa kekerasan.

“Kamu kelihatan sehat,” Martha berkata demikian sebagai pembuka setelah hampir sepuluh menit bungkam untuk mencari topik pertama yang bisa dibicarakan.

Dalia menyeringai dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi, tampak angkuh dan memandang Martha rendah. “Lo nggak lihat gue menderita?” Dalia menyerang balik. “Justru lo yang kelihatan sehat kayak orang paling bahagia. Enak, ya, hidup sama Martin? Disemangatin terus tiap hari, padahal lo nggak layak sama sekali buat bersanding sama dia. Lo dulu cantik, gue akuin itu. Tapi lihat sekarang,” Dalia angkat kedua tangannya yang diborgol dan tersenyum mengejek, “udah kayak apaan tahu. Masih untung Martin baik. Tapi lo jaga-jaga, siapa tahu Martin ninggalin karena udah bosen lihat penampilan lo yang kayak badut itu.”

Martin sudah ingin menyerang Dalia, beruntungnya berhasil ditahan oleh Julian agar rekannya tidak ikut campur sampai percakapan Martha dan Dalia tuntas. Julian juga geram, tetapi tidak mau mengusik selama Martha masih bisa duduk tegak tanpa ada yang tahu getar di tangan dan kakinya kian parah.

Martha kira, Dalia tidak akan membawa fisiknya lagi, hanya ingin bicara terkait penyerangan tempo hari yang mengguncangnya cukup hebat. Rupanya perkiraan itu salah, karena makin Dalia runtuh, makin dia ingin membawa Martha untuk ikut.

“Kenapa kamu nggak suka banget sama aku?”

Dalia tertawa nyaring, menggeleng pelan mendengar pertanyaan jenaka yang dilayangkan begitu enteng. “Jelas karena gue nggak suka Martin nikah sama lo. Gue nggak mau lihat idola gue sama orang lain. Kalau gue nggak bahagia lihat idola gue, berarti lo nggak boleh bahagia juga. Untungnya ada yang bisa gue pake buat jatuhin lo, jadi nggak usah mikir berkali-kali harus ngapain.”

“Jadi, siapa pun orangnya, kamu nggak akan suka lihat Martin punya istri?”

Dalia mengangguk, membenarkan asumsi itu. “Yes, siapa pun itu.”

“Terus kamu maunya apa dari aku? Kamu mau aku sama Martin pisah?”

Kata pisah yang diucapkan Martha menggetarkan Martin di tempatnya, takut bila sang istri bicara serius dan meminta bercerai di hadapan Dalia serta Julian. Oke, itu hanya pikiran buruk yang tidak mungkin terjadi. Namun, tetap saja Martin panik.

Dalia menengadah sejenak seraya bersandar pada sandaran kursinya. Semenit kemudian, Dalia labuhkan pandang lagi pada Martha yang tidak mampu menunjukkan ekspresi apa-apa karena sebenarnya dia takut berhadapan dengan sumber lukanya.

“Gue mau lihat lo menderita, itu aja. Nanti juga Martin capek sama keadaan lo dan minta pisah,” sahut Dalia enteng, tanpa beban sekali di lidahnya.

Entah apa layak Martha merasakan itu, tetapi dia bersyukur bukan orang lain yang menerima ujaran kebencian dari Dalia hanya karena bisa bersanding dengan Martin. Bukannya Martha sok kuat—karena dia sendiri sudah sering jatuh di tempat—hanya khawatir jika orang lain yang menerima belum tentu bisa setangguh itu, berada dalam kondisi yang lebih parah, tapi tentu akan jauh lebih baik bila orang lain itu sangat kuat dibandingkan Martha.

Martha kira dia tidak akan terpengaruh lagi oleh omongan seseorang terkait fisik. Nyatanya ucapan Dalia tetap menyakitkan ketika didengar langsung tepat di muka, menciptakan nyeri di tubuh Martha hingga tidak sanggup bergerak barang sesenti pun. Martha gigit bibirnya, memaksakan diri sedikit lagi selama pertemuan ini masih berjalan. Begitu usai, Martha bersumpah dia tidak akan mau bertemu Dalia, apalagi peduli tentang kabarnya.

Bukannya Martha tidak mau bersimpati atas apa yang menimpa Dalia, hanya saja dia tidak siap jika yang dibahas selalu sama dan berakhir di jurang dalam untuk sekian kalinya.

“Jadi, kamu minta ketemu sama aku cuma buat ngatain soal fisik?”

Dalia angkat sebelah alis. “Dan gue mau minta dibebasin,” katanya tanpa merasa bersalah. “Ada banyak orang yang nggak suka sama lo, Martha. Sekarang beberapa udah ditangkap kayak gue, tapi gue nggak ngerasa layak dapat perlakuan gini. Makanya gue mau dibebasin sekarang juga. Lo udah tahu gue diserang kayak apa, jadi harusnya ngerti juga rasanya gimana.”

Benar. Lidah tidak bertulang.

Saking lenturnya, manusia bisa berkata semaunya tanpa memikirkan kesalahan lalu atau perasaan orang. Dalia seakan jadi manusia paling tidak berdosa setelah mengalami penyerangan, merasa layak dapat kebebasan dan hukuman diganti pada orang yang telah menjatuhkannya beberapa hari lalu. Martin dan Julian mengelus dada di posisinya, baru kali ini bertemu manusia paling tidak tahu diri yang seenaknya meminta kebebasan dari korban ulahnya sendiri.

Martha menautkan jari, menahan getaran agar tidak merusak konsentrasinya. Ini akan selesai sebentar lagi, jadi Martha harus bertahan sampai segalanya usai.

“Tadinya,” ucap Martha, “aku mau minta Martin cabut laporan kamu karena berpikir udah ngerasain diserang dan yakin kamu bakal ngerti perasaan orang yang disakitin gitu. Tapi karena omongan kamu tadi, aku nggak mau kamu bebas gitu aja. Aku nggak membenarkan pihak yang udah nyerang kamu, tapi karena kamu sekeras ini dan tetap rendahin martabat aku seakan kamu yang paling benar, baiknya kamu—”

“Gue nggak mau!” hardik Dalia seraya berdiri dan menggebrak meja dengan kedua kepalan tangannya.

Martha terkesiap hingga membeliak, mendongak menatap Dalia yang wajahnya merah seperti orang kesetanan akibat tidak mau mengalah.

“Gue harus bebas, Martha! Lo yang harusnya menderita aja!”

Dalia hampir saja naik ke meja, tetapi segera ditahan oleh Julian dan Martha dibawa mundur oleh Martin sebelum penyerangan terjadi. Napas Dalia memburu, berusaha berontak dari kurungan lengan kakaknya yang membatasi gerak.

“Gue mau bebas, Martha. Bebasin gue atau lo menderita! Kalau gue nggak bebas, artinya lo sama jahatnya kayak gue. Lo nggak mau ‘kan dicap jahat setelah dikenal berhati malaikat?” serang Dalia sembari menunjukkan seringai mengerikan di wajahnya.

“Jangan dengerin,” ucap Martin sebelum Martha jadi berubah pikiran akibat terpengaruh ucapan Dalia. “Dia pantes dihukum.”

Dalia yang mendengar itu merasa tidak menerima. Dia makin berontak hingga menendang kursi dan meja di dekatnya. “Gue nggak pantes, Martin. Yang pantes itu Martha! Lo juga bakal bosen sama dia!”

Mendengar keributan dari dalam mengundang dua polisi untuk masuk dan ikut menahan Dalia agar tidak berbuat macam-macam. Julian memberi kode pada Martin yang langsung dipahami, membawa Martha keluar yang merinding ngeri melihat pemberontakan gila Dalia akibat gagal mendapat keinginan.

Sungguh, bila saja Dalia meminta secara tulus, menyadari kesalahannya setelah tahu bagaimana rasanya di posisi korban, Martha sudah berencana meminta Martin untuk mencabut laporan—termasuk pelaku lain yang lebih pasrah dibanding Dalia.

Namun, jika begini caranya, Martha tidak mau Dalia menghirup udara bebas dengan mudah. Bukan karena dia ikut menjadi jahat, tetapi Martha tidak mau ada orang lain bernasib sama hanya karena Dalia ingin mengajak agar tidak bahagia.

Di akhir temu, Dalia tetap orang yang sama. Dia dalang utama yang tidak bisa dimaafkan dan buta oleh kebencian. Satu-satunya cara untuk menghilangkan jejak adalah dengan menahannya, menjauhkan Dalia dari dunia luar agar tidak mencari korban lagi untuk melampiaskan dendam.