Live
tw // body shaming

Melakukan live Instagram sudah menjadi kebiasaan Martin selama berprofesi sebagai influencer di media sosial. Tugasnya untuk menyapa para pengikut agar bertahan di akunnya akan sangat menguntungkan, karena ketika dia sedang endorse ada audience yang akan membuat produk endorse-nya bisa laris.
Tentu keberadaan pengikutnya pun sangat menyenangkan, terlebih ketika ada DM random menanyakan kabar atau minta ditunjukkan wajah Markus—putranya. Pun ketika Martin mengunggah sesuatu di Insta Story atau unggahan biasa, pasti ada komentar menggelitik yang membuatnya betah membaca ketika waktu luang. Intinya bagi Martin, keberadaan pengikut di akunnya bukan sekadar kosumen untuk melakukan endorse, bukan sekadar audience agar kanal YouTube-nya naik, tetapi juga sebagai penghibur menyenangkan berkat komentar-komentar lucu yang menggelitik perut.
Bila biasanya Martin melakukan live Instagram di studio bersama Julian, maka hari ini dia melakukannya di rumah, tepatnya di ruang keluarga sembari memangku Markus yang memunggungi kamera, jadi penonton tetap tidak dapat melihat rupanya. Ponsel dibiarkan disimpan pada tripod, lalu Martin bercakap-cakap dan sesekali menjawab pertanyaan menarik yang tertera di layar.
“Kalau boleh jujur, aku syuting podcast setiap hari bareng Julian. Makanya hari ini milih buat libur sehari supaya kami ada istirahat. Aku juga butuh waktu sama keluarga. Kalau kalian ngapain waktu ada waktu senggang?”
Pertanyaan di akhir cerita Martin dijawab dengan antusias tinggi oleh penonton di kolom komentar, dibacakan satu per satu oleh Martin dan sesekali direspons ketika membaca yang paling menarik.
“Kak, tolong lihatin mukanya Markus. Aku pengen lihat.”
Martin tersenyum jail membaca komentar itu dengan cukup lantang, lantas mengecup dahi Markus yang sedang meremas ujung kausnya dan tidak menuruti permintaan sang pemberi komentar karena baginya itu privasi yang perlu dijaga.
“Mukanya Markus masih rahasia, Guys,” jawab Martin seraya mengelus rambut Markus yang mulai lebat. “Mungkin nanti kalau dia udah umur setahun, baru aku sama Martha bakal lihatin mukanya.”
Berbagai komentar kembali masuk. Ada yang tidak sabar, ada yang sedikit marah, ada pula yang menduga-duga Markus mirip seperti siapa.
“Martha kabarnya gimana? Kapan aktif Instagram lagi?”
Markus kembali membaca satu komentar yang menarik, lalu menatap ke arah lain di mana Martha sedang sibuk di dapur untuk memasak makan malam. Meski jarak mereka terpisah di tempat berbeda, Martha masih mendengar pertanyaan itu dengan jelas.
“Masih belum tahu,” jawab Martha.
“Tuh, denger nggak?” Martin kembali menatap layar ponsel. “Martha belum tahu kapan bakal balik aktif IG, tapi nanti pasti muncul, kok. Tunggu aja, Guys.”
Lagi, berbagai respons bermunculan karena tidak sabar menunggu kembalinya Martha ke Instagram dan mengunggah foto yang selalu banyak disukai orang. Martha sendiri pernah menceritakan keinginannya untuk kembali ke Instagram tanpa tahu kapan pastinya. Cerita itu hanya diucapkan satu kali dan setelahnya Martha tidak pernah membicarakan soal keinginan untuk kembali.
Saat masih asyik membacakan komentar, Markus tiba-tiba menangis dan sedikit menyentak Martin yang sedang asyik dengan dunianya. Martha dengan sigap meninggalkan aktivitasnya sejenak untuk mendekati Martin ke ruang keluarga, lalu meraih Markus untuk ditenangkan dan diberi ASI agar tidak mengganggu kegiatan sang ayah yang tengah berinteraksi bersama para pengikutnya.
Setelah memastikan Markus aman di pangkuan Martha yang mulai memberinya ASI, Martin kembali menatap layar untuk memulai interaksinya lagi dengan para pengikut. Bukannya semangat, dada Martin rasanya teriris ketika membaca komentar buruk tentang istrinya.
Ternyata kehadiran Martha sempat terekam di kamera, sebab itu banyak komentar negatif terkait penampilannya yang baru muncul di publik tanpa disengaja. Rahang Martin mengetat membaca komentar menyakitkan itu, tetapi dia tidak berhenti menatapnya saat kata-kata buruk terus bermunculan.
Gendut, gembrot, gentong, gajah, jelek, seperti babon, dan cemoohan lain tertera jelas di layar. Kata-kata itu tidak terjangkau mata Martha, tetapi rasa sakitnya sampai pada Martin yang tidak rela ketika sang istri jadi bahan ledekan ribuan orang yang menonton live -nya. Demi menghalau pembicaraan panjang, Martin memilih menyelesaikan siaran langsungnya lebih cepat dari rencana, masih mencoba berakting manis dengan tersenyum ketika berpamitan.
Martin melepas ponselnya dari tripod setelah live-nya ditutup, memasukkan ponselnya ke saku celana dan melontarkan sumpah serapah di kepala untuk semua orang yang telah mencemooh Martha. Bisa saja Martin membalas ucapan itu dengan pedas, tetapi dia tidak ingin Martha tahu tengah jadi korban gunjingan.
Alhasil Martin memilih diam dan mendekati Martha yang duduk di ruang makan, masih menyusui Markus. Dalam diamnya itu, Martin menghibur Martha agar segala pikiran buruk terkait diri sang istri bisa luruh.