Luluh Lantak

Sebagai seorang Selebgram yang namanya cukup melejit meski tidak sebesar Selebgram lain, komentar netizen sudah menjadi hal biasa bagi Martha. Tidak sepenjuru negeri tahu eksistensi Martha layak selebritas pada umumnya, tetapi sosoknya tetap disorot oleh para pengikut dalam hal kecil hingga besar.
Akibatnya Martha harus selalu hati-hati ketika melangkah, sebab bagian mengerikan dari menjadi selebritas adalah ketika kesalahannya jadi sorotan publik tanpa henti. Gunjingan, cacian, makian, akan menjadi makanan sehari-hari ketika kesalahan itu menimpa. Tidak peduli itu kesalahan kecil atau besar, sekali berbuat salah di mata publik, maka akan berakibat fatal pada karier karena namanya telah tercoreng.
Well, berkarier di negara ini sebenarnya cukup mudah, karena ketika seseorang terjebak dalam skandal dan kesalahannya yang jadi sorotan, nama akan ikut naik dan pundi-pundi rupiah justru makin mudah masuk ke rekening. Miris tetapi itulah faktanya.
Lain dengan kasus Martha sekarang yang selalu waspada dengan langkahnya, dia tidak ingin namanya muncul di berbagai cuitan masyarakat karena hal buruk, terlebih ketika fitnah yang dilayangkannya akibat kejadian kemarin.
Martha yang percaya dirinya mulai bangkit kembali diruntuhkan ketika membaca satu unggahan buruk terkait dirinya, ditambah komentar busuk yang menggunjingnya terkait ulah dan fisiknya. Martha yang tadinya ingin bersenang-senang, harus menderita akibat isu miring yang menimpa.
Di depan Martin, wanita itu masih bisa tegar, pura-pura seakan tidak ada masalah besar yang mendekam di kepala. Sedangkan di belakang orang-orang, hanya Tuhan dan Markus yang jadi saksi bagaimana kondisi Martha selama dia berjuang melawan ucapan buruk seseorang yang dilayangkan untuknya.
Saat ini di sudut kamar dia melamun sembari memangku Markus yang memainkan bonekanya, menatap kosong ke arah kasur yang tidak bisa menjadi obat ampuh untuk lukanya.
Bohong bila Martha baik-baik saja setelah dijadikan bahan lawakan teman-teman Martin di studio, sampai dijadikan objek sindiran oleh ibu dan mertua. Buktinya Martha pernah hampir menangis menahan lapar hanya demi mengembalikan bentuk tubuhnya dengan cepat, memenuhi ekspektasi tinggi orang-orang yang hanya tahu bicara tanpa bisa mengulurkan bantuan.
Martha akhirnya bangkit dan berusaha menjadi diri sendiri, terlebih dukungan Martin baginya sudah cukup untuk menjadi fondasi kekuatan yang tengah dibangun lagi. Nyatanya fondasi itu kembali runtuh akibat kesalahan satu hari, didukung fitnah yang menguatkan ulahnya menjadi salah di mata manusia maha benar.
Martha boleh sudah menghapus seluruh aplikasi yang menjadi sumber kesakitannya, keluar dari grup yang dibentuk oleh Wulan untuk jauh dari lingkungan penuh racun. Namun, segala ucapan yang telanjur dia terima tidak dapat menghilang dari pikiran. Justru makin menancap bagaikan belati untuk menyakiti wanita itu dari dalam. Jika sudah begitu, jangankan untuk bangkit, mendengar kata-kata manis dari Martin pun akan sama pahitnya seperti ocehan masyarakat yang sedang tertawa di atas deritanya.
Hari ini Martha kacau, sampai ia memilih daster asal dan tidak merapikan dirinya dengan benar. Martha biarkan rambutnya berantakan, bibirnya kering tidak diberi pelembap, sedangkan wajahnya pucat pasi tanpa sedikit pun riasan.
Saat Martha sedang sibuk dalam pedih, tangisan Markus jadi interupsi dan mengembalikannya ke realitas. Martha menabur pandang pada putranya yang menangis, berusaha menenangkan seadanya sebab tenaga yang dimiliki pun belum sepenuhnya pulih.
Selagi tangannya mengelus punggung Markus hati-hati, Martha berkata, “Udah, nggak apa-apa, Nak. Jangan nangis, ya. Nanti Mama—”
Lantunan kata tidak sanggup Martha wujudkan melalui suara, sebab kata itu bertransformasi menjadi air mata penuh luka akibat perkataan buruk yang gagal dia lupakan. Makin keras Markus menangis, makin keras pula Martha ikuti. Markus menangis karena lapar, sedangkan Martha menangis karena merasa tak becus menjadi apa dia sekarang.
Martha mendekap Markus yang tidak berhenti menangis, menutup telinga putranya sedangkan wanita itu menjerit untuk mengeluarkan segala pedih di hati. Jelas gagal, karena makin kencang Martha meraung, makin menyeramkan pula ketika dia dihantui berbagai cacian yang berpeluru.
Tangannya tetap mengelus punggung Markus sembari berkata lirih, “Jangan nangis.”
Martha masih ingat untuk menenangkan putranya. Namun, di saat seperti ini, siapa yang akan menolong Martha?
Dulu lidah adalah taring yang tajam, sekarang jari seseorang menjadi senjata paling mematikan. Satu kata saja menyakiti perasaan orang lain, maka akan membunuh nyali seseorang tanpa tahu kapan bangkit.