Martin yang Bodoh, Martha yang Terluka
Saya ingat ketika masa-masa kehamilan Martha yang jadi momen paling berharga kami karena akan segera mendapatkan peran baru sebagai orang tua, saat itu dia selalu mengaku gugup tiap kali mengingat akan melakukan persalinan yang bagi beberapa calon ibu adalah momok menakutkan. Jauh sebelum persalinan, Martha juga seringkali gugup tiap akan melakukan sesuatu sebab harus hati-hati dengan kehamilan pertamanya.
Martha tidak mau membuat banyak orang kecewa jika dia gagal menjaga kehidupan yang dititipkan padanya, karena itu dia memilih rehat sejenak dari media sosial sebagai selebgram demi fokus pada kehamilan pertama. Mendekati persalinan, sering sekali Martha mendapat mimpi buruk tentang nyawanya yang pupus saat proses pesalinan selesai atau anak kami tidak selamat meninggalkan luka mendalam.
Setiap tengah malam trimester tiga, pasti saya akan sibuk menenangkan Martha bahwa semua ketakutan itu tidak mungkin terjadi, semua akan baik-baik saja, dan saya akan selalu di sampingnya. Sampai ketika persalinan tiba, saya meninggalkan seluruh pekerjaan, mengacaukan syuting untuk sehari—dan hari-hari berikutnya—demi menemani Martha di setiap masa pembukaan yang tampak menyiksa.
Martha berusaha relaks, mengatur napas sesuai instruksi bidan di rumah sakit yang mendampingi dokter, tetapi saya tahu sebesar apa rasa sakit yang istri saya alami selama bukaan berlangsung. Berbagai upaya dilakukan, tetapi tidak ada yang mampu meringankan sakitnya seluruh tubuh saat masa persalinan mendekat. Cengkeraman tangan Martha pada tangan saya tiap kali kontraksi itu muncul memberi petunjuk bahwa siksaannya saat persalinan bukan main, sampai tangan saya mati rasa akibat dicengkeram tiada henti dan biarkan Martha melakukan semaunya demi lampiaskan sakit.
Begitu proses bersalin dimulai, itu adalah momen paling mendebarkan dan menakutkan yang menghunus dada saya tidak terkira melihat Martha menjerit, mengatur napas, menjerit lagi, sebagai bentuk perjuangannya mengeluarkan anak kami dari jalan lahir. Pertama kalinya saya melihat wanita melahirkan dan itu jadi hari paling mendebarkan dalam hidup saya. Bukan karena saya takut darah, tetapi takut akan kehilangan seperti mimpi buruk Martha yang sering muncul tiap malam.
Sampai ketika bayi dengan berat tiga kilogram itu berhasil keluar tanpa ada kekurangan sedikit pun, Martha menangis menjadi-jadi karena lega telah melalui salah satu masa paling sulit ketika akan menjadi seorang ibu. Kala bayi itu sudah ada di gendongan saya, jujur, tangan saya bergetar melihatnya menangis seakan sudah melukai, padahal itu adalah hal alami ketika seorang bayi yang kami namakan Markus lahir.
Saat Markus berakhir di dada Martha untuk diberi asi pertama kali, istri saya berada di ambang kesadaran akibat lemas tak berdaya setelah proses persalinan panjang yang terbaya lunas. Hari itu saya lafalkan banyak doa, tumpahkan banyak cinta, berikan segenap penghargaan melalui kecupan di sekitar wajah dan tangan, serta mengukir sumpah akan menjaga Martha dan Markus dengan segenap jiwa.
Selama hampir setahun Markus mengisi hari-hari kami, ada banyak duka yang menghampiri dan itu berasal dari orang terdekat maupun jauh, menjadikan Martha korban dan berdampak parah pada kesehatan jiwa raganya. Janji untuk menjaga Martha tidak pernah runtuh, tetapi ketika istri saya berada di titik paling lemah sampai meminta bantuan pun nyaris tidak sanggup akibat rasa percaya yang sempat sirna, saya sadar peran menjaga itu belum dilakukan secara maksimal.
Saya belum mengenal Martha sebaik yang dikira, sebab dia luput dari perhatian saya yang kurang dan masih buta dengan keadaan sesungguhnya. Kini setelah tahu Martha tidak dalam keadaan stabil, emosinya mudah naik turun—dari senang tiba-tiba sedih, tawa berubah tangis—saya tinggalkan dunia yang membutakan dari kehidupan sesungguhnya di mana nama Martha dan Markus terukir di sana.
Kata-kata manis tidak lagi ampuh untuk mengobati, sebab hadirnya saya adalah bagian penting dalam kehidupan Martha agar kembali damai. Saya sudah bersumpah menjaganya dalam suka dan duka, menerimanya dalam keadaan terbaik dan terburuk, membimbingnya dalam jatuh dan bangun, serta mencintainya tanpa memandang rupa. Intinya, saya mencintai dia tanpa syarat. Maka jika saya tidak memerankan sosok suami secara maksimal, sumpah itu terasa percuma.
Sekarang ini di sela-sela menanti jam makan siang, Martha mengurung diri di kamar. Bila sebelum vakum dia di kamar untuk membuat konten baik foto dan video lalu diunggah ke Instagram, kini Martha betah di kamar untuk menghindari dunia luar, termasuk Bunda Marni yang sudah satu minggu lebih ini tinggal di rumah kami. Alasannya tentu demi menjaga Martha, tetapi yang dijaga masih ketakutan ketika mengobrol dan sang ibunda, membuat saya harus siaga jika sewaktu-waktu Martha runtuh kala bicara dengan Bunda Marni yang ingin meraih putrinya lagi.
Saya hampiri Martha yang duduk bersandar di kasur, duduk di hadapannya dan meraih tangannya yang bergetar setelah tadi berinteraksi dengan Bunda Marni. Padahal sudah berlalu satu jam, tetapi dampaknya masih terasa hingga sekarang. Saat saya genggam erat tangan itu demi meredakan getaran, Martha tersenyum—sedikit memaksakan, saya tahu itu. Sebab dalam kondisi seperti ini, jangankan tersenyum, menunjukkan secuil ekspresi saja susah payah Martha lakukan demi menyenangkan saya.
“Bunda repot nggak ya ngurus Markus sendiri?” tanya Martha, teringat pada putra kami yang sedang diasuh oleh Bunda Marni di ruang keluarga.
“Bunda malah seneng, kok. Kan jarang banget ketemu sama Markus. Malah tadi minta izin supaya Markus tidur sama Bunda.”
Martha tertawa kecil, sedikit memilukan kala didengar. “Berarti Markus baik banget ya di depan Bunda. Aku seneng.”
“Markus baik di depan siapa aja, apalagi di depan orang tuanya,” balas saya memberi semangat tersirat.
“Tapi kayaknya udah ngerti kalau di depan aku, soalnya aku beberapa kali nangis deket dia.”
Pengakuan kecil itu mencubit relung hati saya karena tidak pernah ada di saat Martha membutuhkan presensi saya. Di masa-masa sulit, di mana Martha masih bisa digapai dengan mudah, bukan saja di masa sekarang saat untuk bangkit saja masih susah payah. Janji menjaga tidak pernah padam, tetapi saya tetap ingkar dan itu fatal.
“Gimana proses laporannya?”
Di luar dugaan Martha menanyakan soal laporan terhadap orang-orang yang sudah melukainya, padahal saya sudah khawatir dia tidak setuju dan memaksa saya mencabut laporan—yang tidak akan pernah saya lakukan sampai tuntas.
“Lancar banget. Julian bantu urus semuanya, dia yang sering bolak-balik dan ngabarin. Kalau aku sih ngawasin dari sini aja sama kamu. Perginya kalau ada kabar penting dan kebetulan sekarang belum ada.”
Tanpa aba-aba, Martha menarik saya untuk masuk ke dekap hangatnya yang membuat saya betah berlama-lama di sana. Selain hangat, saya pun merasakan ikatan kuat antara kami yang sempat goyah. Sungguh, berdebat dengan Martha adalah momok mengerikan yang tidak boleh terulang untuk sekian kali. Cukup salah paham sekali, setelah itu saya harus lebih wawas diri.
“Jangan terlalu capek ngurusinnya, ya,” ucap Martha seraya menepuk punggung saya pelan. “Bilang juga ke Julian jangan terlalu diforsir. Kalau capek istirahat aja dulu sekali. Mereka nggak akan kabur, kok.”
Manis membekas pahit. Begitu yang saya rasakan ketika Martha masih mampu menyemangati saya dan Julian, padahal dia yang lebih berhak mendapatkannya dari banyak orang.
“Maaf, ya, aku jadi repotin. Tapi aku janji deh bakal sembuh dan sehat lagi. Doain aja, ya, semoga aku nggak gemeteran mulu tiap ngobrol sama Bunda, biar berani pas ketemu banyak orang.”
Sedetik saya tertegun, detik selanjutnya saya eratkan pelukan ketika Martha menyadari kesehatannya menurun. Ini adalah momen menakutkan lain. Bukan karena Martha bisa saja menyerah dalam hidup—dan saya tidak mau itu terjadi—melainkan bila jiwa Martha makin terbang jauh tanpa mampu saya raih. Itulah sebabnya saya peluk Martha seerat mungkin, mencegah jiwanya pergi agar tetap dalam genggaman.
Saya mengurai sedikit dekapan demi mengecup seluruh bagian wajah yang sedikit demi sedikit kehilangan cahayanya, berusaha menyalakan lagi api semangat yang kini padam.
“Kamu selalu sehat,” ucap saya seraya elus kedua pipinya. “Kamu jangan ngerasa sendirian, ya. Sekarang aku ada 24 jam buat kamu.”
Martha tertawa lagi, kali ini sedikit lebih lantang. “Kayak McD aja, ya.”
Saya mengangguk cepat ketika diibaratkan seperti restoran fast food populer. “Iya, aku McD pribadinya Martha yang siap melayani kapan pun kamu butuh.”
Tawanya kembali mengisi kesunyian kamar, membuat saya senang karena berhasil menghibur yang disayang. Saya suguhkan lagi satu ciuman di bibirnya yang sedikit terbuka, menyatukan dua benda lunak itu untuk memadu kasih dan meninggalkan jejak yang lama. Meski harus saya sudahi sebelum hilang akal dan inginkan lebih, penyatuan singkat itu berhasil mengembalikan sedikit Martha yang penuh cinta dan kasih.
Saya tidak pandai memberi pesan karena belum becus juga menjaga istri ketika butuh. Namun, dari kejadian ini saya belajar bahwa masa-masa pemulihan pasca melahirkan adalah momen krusial bagi seorang istri. Dia tidak boleh sendiri, harus bisa ditemani khususnya oleh suami. Saya tidak bisa 24 jam hadir, tetapi bodohnya saya pun tidak mengoptimalkan presensi yang sedikit. Semoga saja tidak ada saya versi bodoh yang lain. Pun tidak ada Martha terluka yang lain.