Melawan Sang Pemilik Surga
Wulan dan Marni datang saat jam makan siang tiba, jadi sekarang mereka berdua kumpul bersama Martha yang duduk di hadapan keduanya, sedangkan Markus di high chair dan anteng dengan sepotong wortel yang diberikan sang ibu untuk jadi kudapan ringan. Wulan dan Marni datang membawa makan siang berupa sapi lada hitam yang mereka beli dalam perjalanan.
Tidak ada permintaan maaf yang dilayangkan oleh Wulan dan Marni seperti terlampir di pesan ketika izin untuk datang diberikan. Mereka sepertinya datang untuk menghakimi Martha alih-alih meminta maaf, karena sejak tiba di rumah netra ibu-ibu itu memandang penuh penilaian dan sedang merumuskan banyak kata di kepala, sebelum nantinya berkomentar pedas.
Martha sudah menyiapkan telinga bila itu terjadi, meski sejujurnya dia tidak akan siap menerima ocehan lain terkait fisik yang selalu jadi objek utama. Daripada fisik, apakah tidak bisa mereka mengapresiasi cara Martha mengurus Markus yang sehat luar biasa? Mengurus Markus tanpa bantuan mereka yang hanya bicara tanpa mengulurkan tangan?
Makan siang berjalan sunyi, hanya ada suara alat makan yang saling bersinggungan di atas meja, serta Markus mengoceh tidak jelas dan direspons oleh dua neneknya yang terhibur dengan tingkah sang bayi. Martha berusaha menjaga sikap, sengaja agar tidak dikomentari berlebihan. Jangan sampai ada celah baginya untuk jadi bahan gunjingan.
“Kamu masih main sosmed, Martha?” Selalu Wulan sebagai pendahulu, bicara dengan nada pedas untuk menyudutkan Martha. “Mami lihat kamu sekarang aktif di Twitter.”
Martha memaksakan senyum seadanya sembari melirik Wulan sepintas. “Sekarang udah nggak aktif lagi. Suasananya nggak enak.”
“Bagus,” puji Marni lembut, tetapi menusuk. “Mending kamu fokus sama Markus daripada main sosmed. Bunda tahu sosmed itu ‘kan tempat kamu berkarier, tapi sekarang jangan dulu, ya.”
“Iya, soalnya kalau mau balik ke sosmed jangan dengan penampilan kayak gitu.”
Here we go.
Martha diam-diam mengembuskan napas dalam, berusaha sabar mendengar satu per satu ocehan manusia maha sempurna ketika mengemukakan pendapatnya. Sambil makan, Martha tajamkan rungu, biarkan dirinya ditusuk bertubi-tubi oleh himpunan kata yang telanjur tertanam dalam diri.
Martha yang gendut, Martha yang jelek, Martha si kentung, Martha yang tidak pandai merawat diri, Martha yang merepotkan suami, Martha pengeksploitasi anak, dan berbagai julukan lain yang berkumpul jadi satu untuk menjatuhkannya.
Komentar itu sudah seperti makanan sehari-hari, dan jujur, Martha tidak pernah berhasil menulikan rungu dan menutup mata ketika ledekan itu menusuknya bertubi-tubi.
“Kamu makannya jangan terlalu banyak, Martha. Nanti berat badannya makin naik bisa repot,” tegur Wulan, tak ragu pula untuk menarik piring Martha menjauh dari sang pemilik, hingga wanita itu hanya memegang sendok dan menyisakan sesuap nasi dan sepotong daging yang sempat Martha ambil.
“Sesekali nggak apa-apa sih, Mbak. Kan kita yang beliin juga buat Martha,” kata Marni berusaha netral, tetapi jelas tidak sepenuhnya berada di pihak Martha.
“Harusnya beliin makanan yang sehat, biar nggak nambah lemak dia di badan. Apa Martin nggak pernah ya nyuruh Martha diet? Masa istri gendut dibiarin?”
“Martin nggak pernah maksa deh kayaknya, Mbak. Kalau maksa, pasti Martha bakal diet karena suaminya. Tapi kamu sendiri udah mulai ada niat diet lagi nggak, Nak?”
“Kelihatannya nggak ada niat, sih. Kalau Martin biarin aja, bebas dong Martha mau diet atau nggak.”
Marni manggut-manggut setuju. “Iya juga. Berarti kamu harus inisiatif sendiri, Martha. Enggak apa-apa, pelan aja sekarang dietnya. Jangan kayak waktu itu.”
“Duh, jangan diet dulu, deh. Lihat tuh mukanya aja kayak nggak dirawat, pake riasan tipis-tipis. Badan gemuk nggak apa-apa, tapi setidaknya dandan gitu lho biar enak dipandang. Jangan bikin kita capek ngingetin kamu. Di depan orang tuanya aja gini, apalagi di depan Mar—”
“Diam!”
Martha menghardik seraya memukul meja makan sekencang mungkin hingga Markus membeliak. Pun Wulan dan Marni yang tidak diberi aba-aba atas reaksi tak terduga itu. Martha terengah, seakan baru saja berlari padahal dia tengah berontak untuk membela harga diri yang diruntuhkan tiada henti.
Martha tatap Wulan dan Marni nyalang, tidak ada belas kasih atau memikirkan surga di telapak kaki ibu yang perlu dijaga sampai mati. Jika orang tuanya menyakiti, maka Martha lebih memilih merusaknya karena dia pun telah hancur akibat ulah sang pemilik surga.
“Cuma karena kalian lebih tua, bukan berarti jadi yang paling tahu dan bisa komentar macam-macam. Hanya karena kalian lebih berpengalaman, bukan berarti kalian jadi paling ahli di segala hal.” Martha tertawa sinis dan berusaha berdiri. Menggali lagi kekuatannya yang nyaris mati. “Saya selalu ngurus diri dengan baik walaupun berat badan masih segini, kalian aja yang cuma lihat saya dari sisi jeleknya. Kalau capek ngingetin saya, nggak usah ngingetin apa-apa, semua omongan kalian udah tertanam kok di badan saya.
“Bunda juga,” netra Martha tertuju pada Marni yang tercengang melihat putrinya berubah drastis, dari si manis jadi yang paling buas, “apa nggak kasihan sama anaknya? Apa nggak mikirin perasaan saya sebelum Bunda ngomong gitu? Mertua saya udah ngomong aneh-aneh, apa harus Bunda juga ngikutin beliau dan nggak ada di pihak anak sendiri? Bunda yang lahirin saya, tapi cara Bunda lebih nyakitin dari Mami kayak bukan ngomong ke anak sendiri. Saya bukan yang paling baik, tapi kalian juga nggak baik. Jadi, jangan ngerasa paling benar dengan injak harga diri saya. Itu nggak bikin kalian kelihatan hebat.”
Martha mulai sempoyongan. Bicara keras itu di luar kebiasaannya, membuat energi yang dibutuhkan pun berkali-kali lipat lebih banyak dari biasanya. Martha kehilangan daya lebih cepat, hingga keseimbangannya hampir menipis dan dia bisa jatuh bila tidak berpegangan pada sisi meja.
Martha meraih Markus ke pangkuan saat Wulan dan Marni masih bungkam karena terlalu syok dengan perlawanan sang putri. Seakan masih tidak cukup, Martha kembali bersuara, “Kalian mending pergi dari rumah ini. Jangan pernah balik lagi mau itu alasannya Markus atau cuma buat jelekin saya.”
Wulan membentak, “Kamu jangan jadi anak durhaka, ya!”
“Kalau gitu cepet pergi supaya kalian juga nggak jadi orang tua durhaka buat saya!” balas Martha tak kalah nyaring. “Saya mau ke kamar dan kalau dalam lima menit kalian belum pergi, saya usir lagi sampai kalian angkat kaki.”