Memberi Hati

Berat sekali saat mata Jibran ingin terbuka demi melihat keadaan dunia yang beberapa bulan terakhir ini tidak berpihak padanya. Kalau bisa, Jibran inginnya tidur lebih lama, terlebih mengingat kondisinya yang belum pulih akibat sakit. Namun, mendengar suara sendok yang memukul mangkuk dari luar, malah memaksa Jibran untuk bangun dan tidak bisa kembali tidur. Tak hanya suara sendok, sahutan ibu-ibu memanggil anak-anak mereka yang belum mandi tapi sudah berlari-lari makin mengganggu waktu tenangnya untuk istirahat. Biasanya Jibran bangun dengan kesunyian.

Kali ini kesunyian itu gagal Jibran dapatkan begitu ingat di mana dia berada. Benar, semalam Jibran memaksakan diri untuk pergi ke rumah Eila setelah mendengar percakapan Trian dengan wanita itu. Begitu tahu apa yang menjadi penyebab Eila berubah, Jibran tidak ingin pasif hingga nekat pergi naik taksi online tanpa peduli kesehatannya belum pulih. Terakhir yang dia ingat, Jibran berhasil tiba di rumah Eila, lalu memeluk wanita itu dengan erat setelah saling berhadapan.

Tidak lama kemudian Jibran dibawa ke kamar dan detik berikutnya dia kehilangan kesadaran. Mata Jibran terbuka lebar dan secara bersamaan ada seseorang masuk ke kamar setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Dengan penglihatan yang lebih jelas dari sebelumnya, Jibran menemukan Eila tengah mendekatinya sembari membawa semangkuk sarapan di tangan.

“Mau langsung sarapan?” tanya Eila saat tahu Jibran telah bangun. “Udah minum, ‘kan?”

Jibran otomatis menggeleng karena tenggorokannya terasa kering. Tanpa diperintah, Eila letakkan semangkuk bubur di atas nakas, lalu menuangkan segelas air yang sejak semalam sudah Eila siapkan di tempat yang sama. Jibran bangun dengan susah payah, lalu menerima segelas air yang Eila berikan dan meneguknya tanpa meninggalkan sisa.

“Semalam kamu nggak demam, tapi badannya menggigil gitu,” Eila duduk di tepi kasur, “ada keluhan lain nggak?”

Jibran menjawab dengan suara parau, “Pusing.”

“Sekarang masih pusing?”

Jibran menggeleng pelan. “Enggak terlalu parah.”

“Kalau gitu sarapan dulu, ya. Aku tadi beli bubur, soalnya nggak sempet masak gara-gara sibuk bikin adonan.”

Eila meraih bubur yang ia simpan tadi, menyendokinya sedikit, lalu menyuapi Jibran yang malah memandang buburnya dengan tatapan aneh. Eila menghentikan gerakannya saat menyadari reaksi Jibran yang tidak biasa.

“Kamu nggak nafsu makan juga?”

Jibran menggeleng lagi. “Aku nggak … pernah makan bubur.”

“Hah?” seru Eila tidak percaya. “Kamu datang dari planet mana sampai nggak pernah makan bubur? Seaktor-aktornya pasti pernah makan kali.”

Jibran menjauhkan wajahnya dari sendok berisikan bubur yang masih terangkat di udara. “Bentuknya aneh,” balasnya polos.

“Ini buburnya nggak diaduk, terus cuma pake kecap sama ayam suwir. Enggak ada aneh-anehnya, Jibran. Kayak bubur bayi.”

Seakan tidak peduli bagaimanapun bentuknya, Jibran menyembunyikan mulutnya dengan selimut untuk menghindari bubur yang tidak berhenti mengudara di depannya.

“Yaudah, kamu mau sarapan apa? Biar aku beliin yang lain,” kata Eila sembari meletakkan bubur kembali ke atas nakas.

Eila memilih menyerah karena tidak mau memaksa Jibran. Pria itu menyingkirkan selimut dari tubuhnya, lalu menarik Eila dengan tenaga seadanya untuk mendekat. Paham apa yang diinginkan, Eila biarkan Jibran melakukan apa pun padanya, sampai tubuhnya berakhir dalam dekapan sang aktor yang tidak berdaya.

“Mau ini aja,” lirih Jibran dengan mata terpejam dan merasakan daksa sang puan yang kini dekat.

Eila tidak mampu menolak dan membalas pelukan itu agar Jibran lekas pulih. Well, pelukan bukan obat yang ampuh, apalagi perut Jibran masih kosong. Setidaknya bisa menghibur Jibran setelah diterpa masalah pelik yang membuatnya pusing.

“Aku kangen kamu, Eila ….”

Eila tersenyum dan menyandarkan pipinya di bahu sang pria. “Aku juga kangen kamu.”

“Sekarang kangennya beneran atau bohongan?”

Eila tertawa pelan karena merasa tersindir. “Beneran, Jibran.”

“Kalau gitu jangan ngebohong lagi. Kamu bohongnya terlalu meyakinkan sampai aku sedihnya beneran,” aku Jibran tentang apa yang ia rasakan selama ini.

Eila tidak terkejut saat Jibran memintanya untuk tidak berbohong. Saat Jibran datang tanpa diundang semalam, Eila sudah dapat menebak pria itu mendengar percakapannya dengan Trian—yang Eila yakin sengaja dilakukan oleh kakaknya. Secinta-cintanya Jibran, belum tentu rela datang dalam keadaan sakit setelah disakiti oleh Eila, kecuali setelah tahu kenyataan yang ada.

Dengan begitu, Eila pun tidak akan berbohong lagi soal perasaannya. Jibran juga tidak perlu menahan diri, tapi tetap hati-hati mengingat situasi yang dihadapi belum sepenuhnya aman.

“Maafin Mama aku yang nyuruh kita putus ya, Eila. Mama aku nggak maksud, tapi terpaksa lakuin itu supaya karier aku aman.”

“Aku nggak keberatan, Jibran. Kalau aku jadi beliau, aku bakal lakuin hal sama, kok. Maafin aku karena bohongnya harus separah itu.”

“Aku keselnya kamu nggak bilang ketemu Mama.”

“Aku mana berani bilang, Jibran. Nanti kalian berantem gara-gara aku jadi tukang ngadu. Aku nggak mau ya ada anak sama ibu yang hubungannya hancur. Ditambah lagi aku takut gosip itu beneran ada, terus reputasi kamu jadi rusak. Kamu enak bilang bodo amat, tapi orang-orang terdekat nggak akan sudi lihat kamu begitu, Jibran. Termasuk aku.”

Penjelasan Eila dapat Jibran terima, meski tetap mengganjal karena rencana impulsif sang puan telah melukai hati sang aktor dengan memercayai kata-katanya. Namun, kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, sebab perasaan mereka sama seperti sedia kala. Bahkan makin kokoh tanpa ada yang berani untuk menentang mereka lagi.


Tetap menolak bubur yang dibeli, Jibran akhirnya sarapan roti untuk mengganjal perutnya. Setelah itu dia kembali tidur dan baru bangun siang hari dengan tubuh yang lebih fit dari sebelumnya. Pusing yang melandanya sudah reda, tubuhnya pun tidak kembali menggigil. Dia juga bangun tanpa ada paksaan, sebab ketika dia keluar dari kamar, Jibran menemukan Eila yang tengah sibuk dengan orderan.

Saking sibuknya dengan pesanan, Eila sampai mengabaikan Jibran yang sesekali manyun karena kesepian. Namun, apalah daya. Jibran tidak mungkin mendesak Eila yang punya kesibukan, sedangkan sang pria adalah ‘pengangguran’ yang bersyukur penghasilannya masih bisa mengalir deras. Sejak siang hingga sore, para pelanggan tidak berhenti berdatangan.

Eila sampai telat makan siang, tapi untungnya masih ingat untuk menyisihkan waktu demi mengisi perut yang keroncongan. Jibran sudah bersedia membantu, tapi Eila melarang dengan alasan baru sembuh. Akibatnya Jibran tidak mau keras kepala karena khawatir malah jadi merepotkan Eila.

Pukul setengah enam, Eila baru bisa lebih santai karena orderan hari ini sudah selesai diambil dan dikirim. Setelah mandi dan lebih segar, Eila menghamburkan diri ke pelukan Jibran yang sudah menunggunya di ruang keluarga.

“You did well, Eila, puji Jibran sebagai bentuk apresiasinya atas usaha Eila hari ini. “Harusnya kamu izinin aku bantu-bantu.”

“Enggak usah. Takut kamu sakit lagi. Segini aja udah syukur kamu bisa bangun dan kelihatan seger.”

“Aku sehat berkat kamu.”

“Jangan gombal.”

Jibran tertawa pelan dan menghadiahkan beberapa kecupan di dahi Eila yang memejamkan mata untuk menikmati afeksi dari prianya. Baru satu hari mereka bertemu, tapi tidak ada rasa canggung seperti orang yang baru menjalin kasih kedua kali. Apalagi mereka hanya berdua di rumah, jadi tidak ada yang akan menentang atau mengganggu kemesraan yang tengah dijalin.

“Aku udah denger semuanya dari Kak Trian.” Keheningan dipecahkan oleh suara Eila matanya tak lagi terpejam. “Laki-laki yang namanya Aiden pernah chat aku, terus langsung aku block karena nggak jelas. Awalnya aku bingung gimana dia dapat nomor aku. Baru setelah tahu ceritanya, aku jadi nebak Aiden tahu aku kerja di CelebStat, terus punya orang dekat di sana dan akhirnya bisa dapet nomor aku. Iya nggak, sih?”

Jibran mengangguk. Secara alami Jibran merespons ucapan Eila yang menjadi topik mereka saat ini. “Pasti gitu. Secara orang-orangnya Samuti Rakha udah kerja sama bareng CelebStat buat sebar gosip aku. Saat tahu kamu pernah kerja di sana, mereka kesenengan dan bawa-bawa nama kamu.”

“Untung aja aku resign dari sana. Mana aku denger petinggi CelebStat ngobrolin gosip soal kamu itu.”

Jibran mengerjap terkejut. “Masa?”

“Iya.” Eila mengangkat kepalanya agar ia bisa menatap Jibran lekat. “Selama ini reputasi CelebStat selalu baik dan cocok sama aku. Setelah tahu mereka mau sebar gosip aneh soal kamu, aku milih resign karena visi misinya udah beda.”

“Berarti kamu keluar karena aku?” tanya Jibran merasa percaya diri. Eila angkat bahunya.

“Bisa dibilang gitu,” jawabnya setengah yakin. “Oh, aku keluar karena nggak mau ada gosip miring lagi yang rilis dari CelebStat. Aku nggak mau edit-edit berita begitu.”

Majalah hiburan menjadi salah satu bagian dari entertainment yang dapat mempromosikan para selebritas, khususnya yang masih butuh diangkat. CelebStat adalah salah satu majalah terbaik yang sering mengulas soal selebritas, mulai dari yang baru merintis sampai senior.

Eila mau bekerja di CelebStat karena memiliki reputasi yang sangat baik. Maka ketika CelebStat diajak untuk melakukan rencana licik dengan Samuti Rakha, membuat Eila memutuskan untuk meninggalkannya karena sudah tidak sesuai dengan dirinya. Keputusan yang sangat baik dan Jibran mendukung itu.

“Jibran, kayaknya … kita nggak bisa balikan dulu.”

Bara api saat membicarakan soal rencana licik Samuti Rakha mulai padam, diganti oleh suasana sendu yang melunturkan senyum Jibran.

“Situasinya lagi nggak baik, jadi balikan bukan pilihan tepat buat sekarang.”

Jibran tidak langsung merespons, jadi bimbang dengan usulan Eila yang tidak menyenangkan baginya. Paham Jibran tidak menyukai gagasannya, Eila segera menghibur prianya dengan terseyum selebar mungkin, lalu menyuguhkan satu kecupan di bibir.

“I love you,” ucap Eila dengan penuh kesungguhan. “Aku sayang, sayang, sayang, sayaaaaaaaaang banget sama kamu.”

Jibran tidak sanggup menahan godaan sebesar ini saat Eila tampak menggemaskan mengungkapkan perasaannya. Senyum sang aktor kembali mekar, lalu menarik Eila hingga berakhir di pangkuannya. Eila tidak menolak karena dalam posisi ini dia bisa merasa lebih dekat dengan Jibran.

“Enggak masalah kalau nggak balikan, tapi harus jawab pertanyaan aku yang waktu itu dulu. Soalnya kamu nggak bales chat aku.”

Eila menatap Jibran dengan tertantang. “Apa?”

“Kamu mau jadi pemeran utama di hidup aku, Eila?”

Pertanyaan itu lagi, yang tidak mampu Eila balas karena saat itu dia tidak mau mengganggu apa pun hubungan yang dimiliki Jibran dan Kalani. Lantas ketika mereka bisa kembali dipertemukan, lalu Jibran mengajukan pertanyaan yang sama, Eila tidak bisa lagi menolak.

“Aku selalu mau, tapi nggak bisa sekarang.”

Jibran mengangguk paham dengan alasan implisit yang disampaikan Eila. “Yang penting kita bisa gini terus. Akur, nggak malu-malu bilang sayang, sama ….”

Eila menaikkan sebelah alisnya dengan sudut bibir yang tersenyum miring saat Jibran menggantungkan kalimatnya. “Sama apa?”

Alih-alih menjawab dengan lisan, Jibran justru menarik tengkuk Eila lalu mencium bibirnya dengan seduksi yang kuat. Eila elus pipi Jibran, sedangkan tangan sang pria naik turun di sekitar punggung wanitanya. Sudah lama tidak bertemu membuat ciuman kali ini menggebu-gebu, bahkan Jibran dengan berani menurunkan Eila dan membaringkannya dengan hati-hati di permukaan sofa, sedangkan ia mendominasi di atas.

Bara asmara terbit, melelehkan siapa pun yang ingin memberi sanksi. Jibran dan Eila tidak peduli dengan masalah pelik, sebab kini mereka ingin saling memberi hati.