Menyerah akan Cintanya

“Tadi ngobrol apa aja sama Mami?” tanya Martin di sela-sela makan malam, mengamati ekspresi Martha sedetail mungkin agar tahu bila istrinya sedang menutupi sesuatu.

Martha yang tampak segar dengan rambut basahnya—habis keramas biasa, bukan mandi wajib setelah berbuat—tidak langsung menjawab karena sibuk menyuapi Markus. Martin duduk tidak tenang, sampai sendok di tangannya berhenti mengudara dan menunda makan menanti jawaban Martha.

Pesan Wulan tadi sangat ganjil, jadi Martin yakin ada obrolan tidak menyenangkan dan dia harus tahu apa agar tenang. Setelah menyuapi Markus hingga habis setengah mangkuk, Martha meletakkan alat makan putranya dan mulai menjelaskan sedikit demi sedikit soal yang terjadi di belakang Martin—khususnya menjawab pertanyaan yang masih dinanti oleh sang suami.

“Tadi pas ditinggal, aku sama Mami nggak ngobrol banyak. Kami duduk bareng sambil nonton, ada Markus juga ikut main. Sama kayak pas bareng Bunda, aku juga gemeteran di deket Mami, tapi ditahan-tahan biar nggak kelihatan jelas. Terus waktu aku mindahin Markus ke kamar dan mau balik lagi nyamperin Mami, tiba-tiba badan aku lemes dan berakhir nangis. Enggak usah ditanya segemeteran apa ya pas itu, ini aja aku masih agak lemes.

“Pas nangis, aku coba buat nyiapin nyali supaya bisa ngobrol sama Mami. Setelah siap, yaudah, kami ngobrol dengan suasana yang nggak enak. Di situ aku tanya kenapa Mami suka ledekin fisik aku, terus Mami jawab beliau pengen kamu punya istri yang sepadan sama kamu. Makanya pas aku jadi gini,” Martha merentangkan sedikit tangannya yang membesar, “Mami nggak suka karena takut bikin kamu malu. Mami juga nggak mau kamu diledek gara-gara dianggap gagal jadi suami lihat istrinya kayak aku.”

Astaga! Martin bisa bayangkan betapa susahnya Martha bicara dalam kondisi yang naik turun tanpa ada pegangan untuk membantu, tetapi dia bangga karena istrinya bisa menghadapi momen itu secara tuntas dan bisa menceritakan ulang dalam keadaan santai.

“Ada lagi?” Martin bertanya untuk kedua kali, yakin masih ada hal lain yang belum tuntas.

Martha mengangguk dan segera menjawab, “Pas Mami jelasin gitu, aku tanya apa harus pisah dari kamu supaya kamu nikah sama orang lain yang lebih ideal. Terus Mami nanya aku siap atau nggak kalau disuruh pisah. Jelas aku nggak siap,” Martha sedikit menggebu, “walaupun nggak berani jawab langsung karena Mami kelihatan serius banget mau nyuruh kita pisah.”

Sekarang Martin mengerti maksud pesan Wulan. Napasnya tiba-tiba terengah tak menentu, tidak bisa membayangkan jika dia mendengar langsung Martha bertanya begitu dan Wulan pun meladeni dengan serius.

Demi Tuhan! Nafsu makan Martin langsung sirna dan sendok di tangannya terlepas begitu saja, saking tidak terima dengan pertanyaan yang menciutkan dirinya.

“Kamu jangan nanya sembarangan gitu, ya,” kata Martin, panik sampai dia meraih tangan Martha agar tidak pergi ke mana-mana. “Mami nggak serius nyuruh kita pisah, ‘kan? Kamu juga nggak serius mau kita pisah, ‘kan?”

“Beberapa kali kepikiran, tapi aku nggak serius, kok.”

Martin sedikit lega, masih belum membayangkan bagaimana jadinya bila Martha benar-benar ingin menggugat cerai atas desakan Wulan. Saking takutnya, Martin sampai berdiri, lalu berakhir duduk di samping Martha agar tidak berjauhan dari istrinya. Martin sampai memeluknya erat, tidak akan membiarkan Martha pergi sedikit pun dari genggamannya.

Sekarang Martha boleh belum membaik, tetapi tidak akan dibiarkan menghilang sepenuhnya dari jangkauan. Markus yang menunggu disuapi menatap orang tuanya bingung. Keterbatasan komunikasi membuat Markus tidak bisa menegur, hanya mampu memukul kecil meja di high chair-nya agar Martha ingat untuk memberinya makan.

“Pokoknya kamu nggak boleh ke mana-mana, jangan kepikiran aneh-aneh juga, oke?” Martin belai puncak kepala Martha, memantrainya melalui belaian itu agar pikiran buruk yang sering menghampiri istrinya bisa terhapus. “Aku sama kamu terus, jadi jangan ngira aku mau aja ninggalin, ya.”

Layaknya anak kecil yang merengek, Martin sampai sembunyikan wajah di balik leher Martha untuk membatasi pergerakannya. Tak tega, Martha elus punggung Martin agar pria itu pun berhenti khawatir.

Seserius apa pun perbincangan bersama Wulan, sesering apa pun pikiran untuk berpisah terlintas, Martha tidak mungkin menyerah akan cintanya.

“Aku juga nggak ke mana-mana. Kamu juga nggak boleh ke mana-mana, ya, Martin.”