Merengkuh Lara

Martha beberapa kali mencoba membuka matanya yang terasa berat akibat pusing melandanya begitu hebat. Jemarinya mencoba menggapai apa pun, tetapi sama beratnya bahkan angin pun tidak sanggup dia raih. Saat kesadarannya mulai terkumpul, aroma asing menguar di hidung, yakin sekali dia tidak sedang di rumah, apalagi di kamar yang biasanya beraroma green tea dari reed diffuser.
Kala matanya sudah mulai mampu terbuka lebih lebar, perasaan asing timbul ketika menatap langit-langit yang tidak sama dengan kamarnya. Baru pula Martha sadari tempatnya berbaring tidak seempuk kasur yang biasa dia jadikan tempat istirahat. Nyaman, tapi asing di badan.
Mata Martha memindai ke sana kemari, mencari siapa saja yang bisa menjawab kebingungannya hari ini. Sampai ketika suara familier yang amat dekat di telinga menyapanya dengan penuh kelegaan, Martha yakin bahwa dirinya sudah kembali ke realitas.
“Martha,” desah Martin lega, lantas menarik kursi kecil untuk duduk di samping brankar Martha. “Sekarang kamu di rumah sakit. Tadinya mau di rumah aja, tapi aku milih bawa kamu ke sini biar dirawat intensif. Markus ada di rumah sama Bunda, jadi jangan khawatir. Besok atau lusa kamu udah bisa pulang setelah mendingan.”
Martin menjawab tanda tanya di kepala Martha tanpa perlu diberi tahu lebih dulu apa yang sedang dipikirkan istrinya. Martha yang kesadarannya sudah kembali pulih hanya mengangguk dengan lisan membisu, bisa memahami apa pun yang dikatakan Martin dengan baik.
Kondisi Martha kembali diperiksa oleh dokter, baru setelah tiga puluh menit bangun, wanita itu mampu duduk untuk makan dan tentunya dibantu agar tidak runtuh. Pusing di kepalanya masih luar biasa, tetapi bisa Martha atasi tanpa takut kembali jatuh. Martin duduk di tepi brankar selama menyuapinya, sengaja agar lebih dekat dengan Martha yang masih pucat.
“Tadi kerjaan kamu gimana? Lancar?” Suara Martha masih lemah, tetapi masih berusaha bicara agar keheningan tidak timbul terlalu lama di antara mereka.
“Aku langsung tinggalin pas Bunda kabarin kamu pingsan.”
“Kenapa gitu?”
“Jangan ngomongin kerjaan dulu, okay? Fokus sama kesehatan kamu. Kerjaan aku gampang, jadi nggak perlu dipikirin. Bolos kerja satu atau dua hari nggak akan bikin bangkrut, kok.”
Gemas sekali ketika Martin bicara, sebenarnya itu pengganti sumpah serapah yang dia tahan di kepala. Menyumpahi siapa? Tentu semua orang yang sudah membuat Martha begini. Diet adalah pilihan Martha, tetapi penyebab wanita itu bisa melakukan sesuatu yang instan disebabkan oleh ekspektasi orang.
Tentu Martin pun menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak memperhatikan Martha secara penuh, langsung memercayai istrinya saat mengatakan makannya teratur. Lantas ketika Martha tumbang, itu jadi bukti bahwa kondisinya tidak sebaik di lisan yang bicara dan jari yang mengetik.
Martha tahu Martin marah selama menyuapinya, terlihat dari rahangnya yang mengetat dan urat tangannya timbul jelas seakan bersiap meninju siapa pun yang mengusik sang istri. Martha segera raih tangan Martin sebelum mengudara kembali untuk menyuapinya, membelainya lembut untuk merelaksasikan segala ketegangan yang ada di tubuhnya.
“Maafin aku ya, Martin,” sesal Martha. “Aku bohongin kamu.”
Martin menarik tangannya dari genggaman lemah Martha, menyuapi istrinya lagi tanpa menghiraukan permintaan maafnya yang tidak perlu. Martha tidak menolak suapan itu, tetapi lisannya terus bicara mengungkapkan sesuatu yang disembunyikan di belakang Martin.
“Aku cuma makan sekali pas sarapan karena saat itu ada kamu,” ucap Martha setelah menelan makanan di mulutnya. “Terus pas siang, aku cuma makan satu buah sama minum susu.”
Martin membungkam Martha dengan suapannya lagi, lalu setelah dikunyah dan ditelan, Martha kembali bicara.
“Malamnya aku nggak makan apa-apa. Paling makan buah lagi, tapi seringnya nggak makan. Aku kira dengan pola kayak gitu bisa bagus, tapi ternyata—”
“Kamu begitu mau nyanjung siapa, sih?” tanya Martin sengit, tidak tahan bila harus menutup mulut dan menunggu Martha selesai bicara. “Kamu mau nyanjung Mami? Nyanjung Bunda? Atau nyanjung orang-orang yang ngomong jelek soal kamu?”
Martin berdiri untuk meletakkan makanan Martha di atas meja dekat sofa, lalu kembali mendekati Martha yang mengawasinya dengan ekspresi khawatir bila suaminya bisa meledak kapan saja.
“Aku begitu demi kamu, Martin.”
Martin berkacak pinggang dan menggeleng. “Itu badan kamu, berarti semuanya harus demi kamu. Bukan demi aku ataupun orang lain. Terus kamu diet karena aku? Dijamin bukan, karena kamu begitu supaya bikin orang-orang berhenti ngomongin hal jelek. Kalau itu demi kamu, kamu nggak akan pernah nyiksa diri sendiri. Terus kalau itu demi aku, berani sumpah, aku nggak akan biarin kamu diet saat kondisinya belum baik. Aku nggak akan biarin kamu kesiksa tanpa makan saat aku di tempat lain bisa makan enak.
“Kamu masih nyusuin, kamu butuh banyak asupan. Jadi, tolong jangan biarin diri sendiri kesiksa cuma buat nyenengin aku atau orang lain. Setelah lihat hasilnya gini, lebih baik kamu nggak usah diet lagi. Enggak perlu takut aku nyari orang lain, aku nerima kamu apa adanya, Martha. Aku nikahin kamu bukan karena fisik doang, tapi semuanya yang ada di kamu juga aku terima tanpa pilih-pilih. Pokoknya aku nggak akan izinin kamu diet lagi, okay? Aku nggak mau kamu kesiksa sampai kayak gini.”
Martin bicara menggebu-gebu, nyaris mengamuk bila pertahanan dirinya tidak bagus. Selama bicara matanya panas akibat menahan air mata, sedangkan kepalanya mendidih membayangkan sekuat apa siksaan yang Martha terima akibat ulahnya. Martin menyugar rambutnya dan membiarkannya berantakan, sekacau hatinya saat Martha menderita di luar jangkauannya.
Martha tidak menyalahkan, tetapi Martin merasa gagal melindungi wanitanya yang ingin berubah dengan dalih menyenangkan orang—khususnya dia. Atmosfer di kamar begitu tegang saat tidak ada lagi yang bicara. Martha takut ucapannya salah, sedangkan Martin sudah lelah untuk bersuara.
Sampai ketika tenaga Martin kian melemah dibawa emosi yang belum melunak, Martha menepuk sisi brankar yang sempat ditempati suaminya. Martin menurut dan berakhir duduk, lalu Martha membawa prianya ke dalam dekapan untuk merengkuh lara yang dirasa, menggantinya dengan kekuatan dibagi oleh daksa masing-masing yang saling mengasihi.
Tidak ada lagi lisan yang berkicau meluapkan amarah, tidak ada lagi dada bergemuruh akibat bersalah, tidak ada lagi isi kepala yang mendidih akibat menanggung banyak beban pikiran. Berkat satu pelukan, daya yang sempat hilang berhasil kembali untuk menguatkan. Kali ini sama-sama menyadari kesalahan, sembari berjanji di hati masing-masing tidak akan mengulangi untuk kali kedua.
Percayalah bahwa Martin tidak ingin Martha berubah demi dirinya. Martin ingin Martha berubah karena dirinya sendiri. Orang lain boleh bicara apa, tetapi yang memiliki hak atas tubuhnya adalah Martha seorang.