Movie Date
Content warning: kiss scene!


Sepanjang usianya yang hampir menginjak 30 tahun, Jibran belum pernah merasakan yang namanya berkencan. Maka tidak heran pengetahuannya soal kencan itu sangat minim, terlebih seperti apa saja yang perlu dan tidak boleh dilakukan saat kencan. Movie date juga termasuk kencan, bukan? Karena Jibran sampai mencari tahu di internet seputar movie date yang mayoritas dilakukan di bioskop daripada di rumah—yang jelas tidak bisa Jibran lakukan karena dia publik figur dan berhubungan secara diam-diam dengan Eila.
Berdasarkan tips dari internet, yang perlu disiapkan untuk menonton bersama pacar adalah film yang tepat. Mayoritas menyarankan film horor dan romantis, tapi karena film sudah disiapkan oleh Eila, maka Jibran memilih menyiapkan hal lain. Mulai dari camilan yaitu popcorn yang ia buat sendiri, dua kaleng soda, selimut (setidaknya begitu yang dikatakan internet), dan mengurangi cahaya agar fokus pada film yang ditonton.
Semuanya sudah tersedia di ruang menonton dan Jibran tinggal menunggu Eila yang tengah pulang untuk mengurus order. Baru sekitar pukul setengah tujuh, Eila kembali sembari membawa croffle kesukaan Jibran dengan senyum semringah.
“Selimut?” Eila tertawa kecil melihat ada selimut di sofa yang masih terlipat rapi.
“Itu yang aku baca di internet,” ucap Jibran polos yang menambah volume tawa Eila.
“Kamu gemes banget, Jibran.” Eila mencubit kedua pipi Jibran, hingga sang pria tersenyum kegirangan dan lesung pipinya terbentuk sempurna. “Oke, aku pasang dulu filmnya, ya.”
Jibran mengangguk semangat dan segera mengatur lampu ruang menonton agar redup layaknya di bioskop. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya televisi 65 inch yang akan menayangkan film untuk ditonton malam ini. Jibran duduk lebih dulu di sofa, lalu disusul Eila dengan senyum semringah setelah mengatur film yang tinggal di-play oleh remot di tangannya.
Eila meraih selimut dari sofa, membuka lipatannya hingga melebar, duduk di samping Jibran dalam posisi yang rapat, lalu menyelimuti tubuh mereka hingga sebatas leher.
“Ini … harus banget?” tanya Jibran gugup.
Bukannya dia tidak nyaman, tapi terlalu dekat dengan Eila dan berada dalam satu naungan begini tidak aman untuk keadaan jantungnya.
“Harus, biar nyaman nontonnya.”
Belum sempat Jibran mengendalikan kondisi jantungnya, Eila melakukan aksi lain dengan merangkul lengan Jibran setelah memutar film menggunakan remot. Astaga! Kalau seperti ini jadinya, bukan tidak mungkin Jibran jadi salah fokus akibat posisinya dengan Eila begitu erat.
“Eila, itu—”
“Yes! Film kamu,” sosor Eila semangat. “Aku ‘kan udah bilang mau nonton film kamu. Makanya sekarang nonton film kamu aja sama aktornya langsung. Biar aku ada teman.”
“Tapi itu … kamu bisa nonton sama Natta,” cicit Jibran yang geli sendiri melihat sosoknya di televisi.
“Maunya sama pacar aku,” balas Eila dengan nada bicara yang dibuat-buat agar imut.
Ah, sudahlah. Jibran lemah dan tidak mampu membantah. Akhirnya Jibran biarkan Eila menonton filmnya yang berjudul Black Sky, walau ia harus menahan malu karena jujur, menonton filmnya sendiri terasa aneh. Dibandingkan saat film Me Before You, Eila kali ini tidak banyak berkomentar dan fokus menonton sembari sesekali menikmati popcorn di meja.
Eila sampai tak berkedip ketika adegan adu tembak muncul dan Jibran yang paling banyak beraksi dibandingkan pemain lain. Meski tidak berkomentar, tubuh Eila sesekali menegang karena gemas kala Jibran melawan villain yang menyebalkan akibat sulit dikalahkan. Reaksi greget Eila menuai senyum Jibran, hingga ketika ia sudah lebih relaks, sang aktor berani memeluk kekasihnya yang masih fokus menonton.
“Jibran!”
Eila bersorak heboh ketika Jibran keluar dari sebuah toko menggunakan jas berwarna hitam, dengan bordir bunga mawar dan bintang. Bukan jas berwarna mencolok itu yang membuat heboh, melainkan otot perut sempurna Jibran yang terpampang nyata dalam durasi sepuluh menit tanpa jeda.
“Oh my god! Aku nggak berani lihat.”

Jibran tertawa ketika Eila sok menutup mata dengan kedua telapak tangannya. “Kamu udah pernah lihat secara live, Eila. Enggak usah malu gitu.”
“Tetap aja.”
Eila mengintip sedikit layar televisi yang tidak di-pause. Setelah adegan lebih aman, Eila menyingkirkan tangannya dan mengumpulkan konsentrasinya lagi untuk menonton.
“Pantesan aja film ini yang paling banyak diomongin orang-orang di medsos. Orang kamu nunjukin perut selama itu.”
Jibran terkekeh. Malu juga sebenarnya, tapi untung saja hanya Eila yang menonton bersamanya sekarang tanpa orang lain yang mengganggu. Film berdurasi 2 jam itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari Eila yang puas dengan bagian akhirnya. Di mana dalam film, Jibran berdiri di antara kobaran api yang menyala setelah berhasil mengalahkan villain.
Ada dua menit lebih Eila bertepuk tangan di depan Jibran, lalu berhenti dan menghadiahkan satu kecupan di pipi sang aktor sebagai bentuk pujian.
“Keren banget! Keren, pokoknya keren! Adegan di akhir itu pecah banget. Terus pas kamu kejar-kejaran di motor juga luar biasa. Oh, sama adegan pas kamu keluar dari toko dan nunjukin otot perut juga menarik banget.”
Puas bercampur bangga Jibran rasakan karena dia bisa membuat Eila sesuka ini terhadap filmnya. Biasanya jika ada orang yang anti film laga, pasti tidak akan menganggap film laga itu bagus walau sudah dicoba untuk menonton. Namun, lain sekali untuk Eila yang langsung menyukai film Jibran dalam satu kali tonton. Belum lagi pujian tak jemu Eila layangkan, membuat rasa percaya diri Jibran bangkit tanpa bisa dihentikan.
“Tapi film itu yang ngasih luka ini ke aku. Makanya jujur aku nggak terlalu suka.”
Senyum Eila memudar kala menyadari Jibran mengenakan kaus hitam lengan pendek hingga bekas lukanya sedikit terlihat. Tanpa merasa jijik, Eila elus bekas luka itu yang timbul dan menonjol di atas permukaan kulit, warnanya kemerahan dan sedikit hangat ketika disentuh.
Tak cukup sekali, Eila mengelusnya dalam durasi yang cukup lama sampai membuat Jibran heran. Pasalnya sang pemilik luka saja jijik sampai sering menghindar, lain sekali dengan Eila yang merasa santai kala menyentuhnya.
“Enggak sakit, ‘kan?”
“Kadang gatal, tapi sekarang udah nggak apa-apa.”
Eila lega, tapi tetap khawatir karena bekas luka itu pasti membatasi Jibran dalam banyak hal. Contohnya ketika ia berpakaian, pasti menggunakan lengan panjang untuk menutupi bekas lukanya. Di rumahnya sendiri pun begitu, jadi Jibran tidak bisa leluasa seperti sebelumnya. Ditambah lagi Jibran adalah publik figur dengan fisik yang menjadi aspek paling dikagumi, khususnya oleh kaum Hawa.
Jika saja ada yang tahu luka Jibran, bukan tidak mungkin banyak orang yang menyoroti kekurangannya dibandingkan kepiawaiannya dalam dalam berakting.
“Kamu beneran nggak jijik, Eila?”
“Kalau jijik, aku udah nyuruh kamu tutup kali. Mana berani aku elus gini.”
Eila benar. Sejak hari itu, Eila tidak pernah menunjukkan rasa jijik pada bekas luka Jibran. Ia justru tetap mendekat, hingga mereka bisa serekat sekarang. Malah kini Eila tanpa ragu duduk di atas pangkuan Jibran dan melingkarkan kedua lengannya di leher sang pria. Sedangkan aktor tersebut tak keberatan, malah ikut melingkarkan lengannya di sekitar pinggang daranya.
Lampu ruang menonton masih dimatikan, jadi satu-satunya cahaya hanyalah televisi di mana adegan Jibran tengah berdiri di antara kobaran api masih ditayangkan. Ya, Eila sengaja mem-pause bagian itu karena dia sangat suka adegan akhirnya. Jibran menatap Eila penuh damba. Sampai-sampai ia mempertanyakan apakah ini hanya mimpi atau dia benar-benar di dunia nyata.
“Rasanya kayak mimpi banget.” Jibran menyuarakan isi pikirannya seraya mengelus pipi Eila. “Aku nggak pernah bayangin bisa sedekat ini sama kamu, Eila. Sekarang pipi kamu bisa aku elus-elus gini. Alasan aku mau akting ada di sini.”
Eila menaikkan sebelah alisnya. “Maksudnya?”
“Kamu alasan aku akting, Eila.”
“Kenapa aku yang jadi alasannya?”
“Karena aku mau dilihat sama kamu, setelah dulu cuma lihatin kamu.”
Senyum Eila mengembang, berbunga-bunga mendengar fakta baru yang Jibran ucapkan. Eila tidak pernah seberharga ini sejak orang tuanya wafat. Lantas kini berkat Jibran yang tak pernah lewat mengaguminya, Eila merasa bangga bisa bertahan hingga detik ini dan bertemu orang yang bisa menghargainya.
Eila tak menyesal memenuhi permintaan Jibran untuk membantunya, karena dia jadi tahu sehebat apa sang aktor dan sebesar apa dia perlu diapresiasi. Tak hanya soal akting, tapi kepribadiannya yang berwarna-warni. Baik, santun, kadang lucu meski humornya tak bagus, dan kini sisi romantis Jibran mulai timbul.
“Aku selalu lihat kamu, Jibran. Bukan sebagai aktor aja, tapi sebagai laki-laki yang paling berharga.”
Tak kuasa menahan, Eila mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Jibran yang terkatup rapat. Dua bagian lembap itu menyatu, bahkan mengait satu sama lain kala Jibran mulai bergerak untuk merayu. Tidak tahu ilham dari mana, karena Jibran pun tidak ingin ciuman kedua mereka tidak spesial dan serupa seperti yang pertama. Terlebih ciuman kali ini menjadi tanda cinta mereka yang telah sampai.
Tangan kanan Jibran merangkak naik dari punggung menuju tengkuk, menarik milik Eila agar memperdalam ciuman mereka yang masih penuh ragu. Seakan tak cukup, keduanya langsung menjadi ulung kala Jibran memejamkan mata dengan memiringkan kepala untuk menambah rasa dalam ciumannya. Eila elus surai legam Jibran, meremasnya pelan saat ciuman yang mereka lakukan mulai menggila.
Pasalnya tak hanya bibir yang saling memuja, tapi tangan mereka pun mulai meraba ke bagian yang masih ‘aman’; lengan, pipi, rambut, tengkuk, pinggang, hingga punggung.
Ada gairah yang mulai bangkit di antara mereka, selaras dengan televisi yang menampilkan Jibran di tengah kobaran api, seakan ikut menyalakan bara yang tersembunyi di dalam. Sungguh, tak ada nafsu di sana meski lumatan makin tak terkira. Hanya ada cinta yang disalurkan melalui setiap decapan bibir untuk dibagi.
Jibran tak menyangka bahwa bibir seseorang bisa seadiktif dan menyenangkan ini ketika ciuman dilakukan. Lebih indah lagi ketika dilakukan oleh orang yang dicinta karena ada rasa spesial di dalamnya.
Eila menarik bibirnya lebih dulu ketika pasokan oksigen berkurang, tapi tetap membiarkan jarak mereka tipis karena tak mau berpisah. Jibran tersenyum seraya menyelipkan helaian rambut Eila ke belakang telinganya, menatap sang pujaan semanis mungkin setelah ciuman kedua mereka.
“I love you so much, Eila ….”
“I love you too, Jibran ….”
Ada jeda dua menit setelah ucapan cinta digaungkan oleh keduanya, sampai akhirnya ciuman Jibran dan Eila kembali berlanjut dengan rasa serupa. Di penghujung waktu sebelum mereka harus terpisah, sang aktor bersama sang partner bagikan afeksi yang kuat dan tidak akan terlupakan dalam waktu singkat.
Jangan lupa komentarnya, ya ^^
