Nyamuk

“Anya bagus, tapi kalau dari segi penampilan, dia nggak cocok jadi Anata. Malah kelihatan lebih tua dari—eh, penampilan juga dinilai ‘kan, ya?” Eila menjeda seraya menatap Jibran. Setelah sang kekasih mengangguk, Eila melanjutkan, “Karena penampilannya beda, itu jadi bahan pertimbangan buat audisi selanjutnya.”

Trian mengangguk setuju sembari mengamati Anya yang tengah berakting bersama Jibran. “Samuti Rakha termasuk perfeksionis soal penampilan pemainnya untuk peranin karakter yang dia buat. Jadi, bener kata Eila, penampilan Anya bisa jadi penilaian.”

“Oke. Untuk Anya kekurangan di penampilannya. Ada lagi?”

“Dia kelihatan grogi,” komentar Natta setelah cukup lama mengamati dalam diam, sedangkan kedua kakaknya merasa cukup memberikan opini. “Aktingnya bagus, tapi tangannya gemeteran waktu pegangan sama Kak Jibran. Kelihatan banget Anya ini kurang ‘profesional’ untuk adegan skinship. Pas audisi aja beberapa kali cut sama Samuti Rakha, pasti beliau tahu juga Anya ini kurang aman untuk adegan skinship. Tapi kalau adegan lain kayak dia sendiri udah oke.”

Jibran tersenyum bangga mendengar komentar Natta yang sangat jeli dengan gerak-gerik Anya. Eila dan Trian juga takjub, padahal seingat mereka Natta ini jarang berkomentar soal akting meski saat latihan. Kalaupun berkomentar, itu bukan ulasan yang detail seperti sekarang. Pasti ujung-ujungnya memuji Jibran sebagai idolanya. Jibran memberi tepuk tangan sebanyak tiga kali untuk tiga orang terdekatnya, salut dengan komentar mereka yang sama-sama teliti dan membantunya.

“Samuti Rakha kurang lebih kasih komentar yang sama, aku juga mikir hal yang sama kayak beliau. Tapi denger pendapat kalian makin bikin aku yakin untuk ngasih penilaian seperti apa.”

“Lama-lama aku betah jadi stafnya Kak Jibran. Seru gini,” ucap Natta girang seraya duduk bersandar setelah sejak tadi begitu tegak demi konsentrasi menonton VT audisi.

“Jangan santai dulu. Masih ada aktris terakhir yang belum ditonton videonya,” tegur Trian seraya menepuk paha Natta yang kebetulan duduk di sampingnya. “Yang di situ jangan pacaran, ya. Profesional dulu, dong.”

Trian yang tadinya tenang tiba-tiba naik pitam kala melihat Jibran dan Eila malah mencuri kesempatan untuk bermesraan. Eila yang duduk berdampingan dengan Jibran di sofa sebelah kanan malah menjulurkan lidahnya, meledek Trian yang sedang menahan diri untuk tidak menarik adiknya menjauh dari sang pacar.

Jibran terkekeh pelan seraya mengusap lembut surai Eila, sedangkan Natta malah tertawa girang melihat pemandangan manis dari pasangan yang kini tidak malu lagi untuk unjuk gigi.

“Satu VT lagi, terus kita makan.”

Begitu Jibran yang bicara, Eila baru menurut dan kembali duduk tegak. Trian baru bisa lega, meski untuk sementara karena yakin Jibran dan Eila akan menunjukkan kemesraan mereka setelah selesai. VT terakhir dari aktris yang sudah berkecimpung di industri hiburan selama 5 tahun bernama Kalani. Seingat Jibran, jika terpilih, maka ini akan menjadi film ketiganya.

Sejauh ini Jibran nyaman akting dengan Kalani, perkembangannya pun sangat baik di setiap audisi. Jibran juga sudah membuat penilaian yang bagus untuk Kalani, hanya tinggal mendengarkan pendapat dari Eila, Natta, dan Trian terkait penampilannya.

Ruang menonton hanya didiisi oleh suara Jibran dan Kalani dari VT. Ada sekitar dua menit VT ditayangkan setelah empat pasang mata fokus pada akting Kalani, barulah satu per satu berpendapat.

“Kalani yang aktingnya paling bagus di antara yang lain. Dia kelihatan santai, aktingnya alami, kayak udah siap banget sama film ini.”

Natta mengangguk setuju. “Setiap adegan untuk lima aktris beda-beda, tapi semuanya libatin skinship. Dibandingkan yang lain, Kalani ini paling … gimana bilangnya, ya? Kayak udah biasa gitu.”

“Aku juga setuju,” sahut Eila. “Dari segi penampilan aja Kalani cocok banget jadi Anata. Ekspresinya menghayati, terus setahu aku dia cepat hafalin dialog, tapi pandai improvisasi. Menurut aku, akting Kalani sama kamu jadi seimbang. Tapi karena masih ada audisi terakhir, jadi nggak bisa nyimpulin terlalu cepat.”

Lagi, Jibran kagum dengan pendapat tiga saudara di dekatnya. Bukan saja karena satu pikiran dengan Jibran, tapi lagi-lagi pendapat ketiga Madaharsa membuat sang aktor sadar bahwa dia dekat dengan orang yang tepat. Jibran memeluk Eila dan mengecup puncak kepalanya, membuat Trian lagi-lagi harus menahan diri agar tidak menarik sang adik. Lain halnya dengan Natta yang malah mengabadikan momen kemesraan Jibran dan Eila menggunakan ponselnya.

“Kamu nggak cemburu aku akting sama orang lain, ‘kan?”

“Enggak, lah. Itu kerjaan kamu, jadi aku harus ngerti. Malah menurut aku, kamu sama Kalani cocok aktingnya. Semoga dia yang kepilih.”

Jibran mengecup kedua pipi Eila hingga semburat merah timbul. “Coba aja sama kamu aktingnya. Aku lebih semangat.”

Eila elus pipi Jibran yang membentuk lesung pipi kala tersenyum. Begitu manis, sampai Eila tak puas jika hanya melihatnya sebentar. “Kalau sama aku mendingan beneran, deh. Akting doang apa enaknya?”

Jibran terbahak. “Kalau gitu, apa kita harus nikah, Eila?”

“Udah, aku nggak tahan!”

Trian berdiri dan pergi dari ruang menonton, tidak tahan melihat tontonan gratis yang begitu menggelikan. Sebelum ikut kabur, Natta masih merekam momen romantis Jibran dan Eila yang saling mendekap erat. Baru ketika dipanggil Trian untuk menyusul, Natta pergi meninggalkan sejoli yang tengah dimabuk asmara berdua tanpa gangguan.