Pemain dan Tim Hore
“Ya, bagus. Senyum lagi yang cantik. Good job.”
Berbagai pujian dari seorang fotografer yang tengah memotret Martha tidak henti disuarakan bersama dengan arahan agar posenya lebih bagus. Berdiri membelakangi layar serba putih, mengenakan dress biru selutut berbahan satin, rambut panjangnya yang digerai bebas, tidak lupa memegang produk sunscreen di tangan, membuat penampilan Martha amat menawan saat berpose secara leluasa di depan kamera.
Tak bosan mendengar setiap arahan, justru antusiasme Martha sangat tinggi karena bisa kembali tampil di depan kamera, khususnya akan menjadibrand ambassador bersama suami dan rekannya—Julian. Omong-omong, Martin sudah mendapat giliran foto dan sekarang berada di belakang kamera sembari menggendong Markus yang tersenyum melihat mamanya sedang beraksi dengan kepercayaan diri tinggi.
“Ma … Ma ….”
“Iya, itu Mama. Cantik, ya?”
Markus mengangguk ketika ditanya begitu, bahkan sempat melambai ketika Martha tengah rehat dan dibalas semringah oleh sang mama yang sebenarnya sudah tidak sabar untuk menghampiri putra serta suaminya. Saat Martha kembali beraksi untuk diambil beberapa foto lagi, sebelah tangan Martin yang bebas memegang ponsel dan mulai merekam Martha di depan sana.
Tidak lupa menyanjung kecantikan istrinya yang sudah mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula, menjadi Martha yang ideal, tetapi tidak membuatnya jadi tinggi hati hanya karena pujian yang tak henti mengudara untuknya.
“Aduh, istri lo cantik banget.” Julian muncul tepat setelah Martin selesai merekam Martha, sontak mendelik saat pujian dari rekannya sedikit membuat panas.
“Jangan macem-macem,” ancam Martin tidak suka.
Julian nyengir dan merangkul pundak Martin yang tiba-tiba tegang. “Cuma muji, Tin. Enggak boleh pelit.”
“Pelit, soalnya itu istri gue. Cuma gue yang boleh muji.”
Well, sebenarnya itu tidak benar karena Martin senang ketika istrinya dipuji banyak orang. Namun, darahnya sering mendidih jika Julian yang memuji karena pandangan mata pria itu selalu berbinar ketika melisankan sanjungan. Paham apa yang ada di pikiran Martin, Julian segera meralat sebelum disangka akan berbuat buruk hanya karena sering memuji Martha yang baginya memang sangat cantik.
“Gue cuma muji, beneran. Enggak akan rebut. Gue ganteng, nggak mungkin nargetin istri orang.”
“Istri orang siapa?”
Suara Martha yang mendekat menginterupsi ketegangan antara Martin dan Julian, sedangkan Markus sudah tidak sabar untuk berpindah tangan dari sang ayah ke mamanya. Martha lantas meraih Markus yang kini di gendongannya, mencium pipi putra semata wayangnya yang paling manja pada Martha. Wanita itu tidak pernah jauh dari jangkauan, jadi sedikit saja memiliki jarak seperti tadi, Markus sudah rindu berat.
“Julian mau punya istri, Sayang,” jawab Martin asal.
Martha tersenyum lebar mendengar kabar baik itu. “Bagus, dong. Kapan nikahnya, Jul?”
“Masih kapan-kapan, Martha. Soalnya belum ada jodoh. Tolong cariin, dong.”
Martha sudah menanggapi serius, tetapi rupanya yang dibicarakan belum terlalu serius. “Temen aku banyak yang lajang. Mau aku kenalin satu?”
“Mau, dong.”
Julian sudah antusias ingin mendengar cerita tentang teman Martha yang kemungkinan besar akan dikenalkan padanya, tetapi pria itu lebih dulu dipanggil untuk memulai sesi pemotretan dan terpaksa meninggalkan obrolan sejenak. Di antara para staf, tinggal Martin, Martha, dan Markus yang tersisa. Menikmati waktu jeda sebelum memulai pemotretan ketiga selepas makan siang.
“Susternya mana?”
“Aku kasih istirahat dulu. Makanya sama aku.”
Martha ber-O ria. “Bagus, bagus. Biar istirahat, terus Markus bareng Mama sama Papa. Markus seneng, ‘kan?”
Markus tertawa riang, sedikit nyaring sampai beberapa staf bisa mendengar dan ikut tertawa gemas melihat sang tunggal melakukan aksi sederhana. Omong-omong Martha menyewa babysitter harian saat dia dan Martin sedang sibuk seperti sekarang. Di hari-hari biasa, Markus tetap diurus oleh Martha dan Martin saja, sesekali oleh Wulan dan Marni yang bergantian datang tiap minggunya.
Meninggalkan ruang pemotretan, Trio M memilih masuk ke ruang rias tempat barang-barang mereka berada, istirahat dan memberi Markus susu botol yang sekarang sudah berhenti menyusu pada Martha. Setelah Markus duduk anteng bersama susunya di atas stroller, Martin dan Martha baru bisa bernapas lega karena jauh dari lingkaran staf yang begitu banyak di ruangan lain.
“Kamu cantik banget, deh,” puji Martin yang duduk di samping Martha seraya membelai rambut lembut istrinya. “Tadi juga kelihatan pede banget.”
“Aslinya aku gemeteran. Tadi awal-awal aja senyumnya kaku. Kamu nggak nyadar?”
Martin menggeleng. “Buat aku nggak ada yang kurang. You’re perfect.”
Bukan sekali memuji, tetapi Martha selalu salah tingkah seakan baru sekali mendapat pujian dari sang pria. Pipi Martha sampai bersemu merah, layaknya remaja kasmaran baru bertemu pangeran impian karena selalu memberikan yang terbaik untuk putrinya. Tak akan bosan pula Martin merasa bangga atas kembalinya Martha yang tidak takut lagi melawan kenyataan.
Tentu tidak mudah, kadang pun Martha masih ragu untuk melakukan beberapa hal jika berkaitan dengan banyak orang, tetapi kali ini dia mampu mengatasinya lebih cepat. Itu sudah langkah baik yang akan selalu Martin apresiasi tanpa lelah.
“Kamu sekarang udah nggak apa-apa ‘kan, Martha?”
Pertanyaan itu lagi, masih tersemai setiap kali Martin ingin memastikan kondisi sang hawa sudah optimal kembali. Martin tidak mau masa lampau terulang, sebab itu dia harus yakin istrinya telah pulih sepenuhnya.
“Kadang masih takut main sosmed, apalagi sebentar lagi muka aku terpampang bareng sama kamu. Aku udah kayak gini pun pasti masih ada yang ngomongin jelek, tapi sekarang udah lebih baik kok, Martin. Berkat kamu juga.”
“Itu berkat kamu sendiri,” ralat Martin, tidak mau membuat Martha berpikir bahwa semua perubahannya hanya berkat suaminya seorang. “Kalau diibaratkan penonton, aku cuma tim hore dan kamu main sendiri dalam banyak babak. Jadi, bisa ada di titik ini bukan karena aku, tapi berkat usaha kamu yang nggak menyerah sama keadaan.”
Martha menggeser kursinya, sengaja agar lebih rapat dari suaminya yang terlalu rendah hati. “Sama kayak pemain,” Martha berkata, “enggak ada apa-apanya tanpa tim hore. Saat pemain itu nyerah karena hampir kalah, ada tim hore yang selalu ada buat dukung. Tim hore penting, karena itu wajib ada saat pemain lagi bermain. Jadi, kalau bukan karena kamu sebagai tim hore, aku mana bisa kayak sekarang.”
Deskripsi yang tepat, menggambarkan peran Martin dan Martha yang berjalan saling beriringan, tidak di depan dan tidak di belakang. Saat Martha maju, maka Martin ikut maju untuk menyertai setiap langkahnya. Saat Martha mundur, maka Martin ikut mundur untuk menyusul dan menggenggam erat tangan sang istri agar memulai langkahnya lagi.
Sejatinya tidak ada yang paling berkontribusi, sebab Martin dan Martha berjalan bersama-sama di setiap tantangan dalam permainan yang terus berjalan. Sekarang permainan itu telah selesai, tetapi pemain dan tim horenya tidak akan berpisah begitu saja. Mereka terjalin erat sampai mendapatkan permainan selanjutnya, memenuhi segala tantangan dengan berani karena sama-sama yakin bahwa Martin dan Martha akan selalu menang.
Terseok-seok, terguncang, renggang, semuanya sudah pernah dialami di usia pernikahan yang masih terbilang muda. Tantangannya bukan main. Meski disebabkan oleh orang luar, bukan berarti tidak berdampak pada bagian internal yang akhirnya sempat retak. Sekarang Trio M—Martin, Martha, dan Markus—menikmati masa-masa tentram tanpa ocehan netizen budiman.
Kalaupun ada, mereka siap menghadapinya lagi seakan itu hanya permainan enteng yang siap dimenangkan dalam satu babak. Sebab mereka percaya dengan saling berpegang teguh, tidak ada yang dapat memisahkan keluarga kecil itu, khususnya Martin yang terjerat kail asmara bernamakan Martha hingga tidak sanggup lepas. Kalaupun bisa, Martin tidak akan pergi dari sisi Martha sebab wanita itu adalah segalanya.
Bukan Martha yang beruntung mendapatkan Martin, justru Martin yang beruntung mendapatkan Martha. Karena dari banyaknya pria yang pasti pernah mendekati Martha, hanya dia, Martin, berhasil meluluhlantakkan hati sang putri dan memahkotainya sebagai ratu bagi sang raja yang terukir jelas di hati.
Martha, percaya pada saya. Dalam keadaan apa pun, kamu selalu yang terbaik. Di atas penilaian orang, ada penilaian saya yang jauh lebih tinggi. Jadi, jangan merasa rendah saat kamu sudah mendapatkan takhta tertinggi sebagai pemilik hati ini.