Penutup
Bila boleh mengingat sedikit pertemuan bersama Martha, hari itu saya menawarkannya untuk menjadi narasumber podcast sebagai salah satu selebgram yang namanya cukup melejit. Saya menghubungi secara pribadi, bukan semata-mata menganggap Martha cantik—dan itu fakta—tapi karena saya sudah tertarik sejak awal melihat fotonya di kamar bersama caption tentang apa saja yang biasa dia lakukan saat free time.
Dari caption tersebut, saya bisa simpulkan Martha adalah orang sederhana yang lebih memilih tinggal di rumah daripada harus bepergian. Sesuai pula dengan tema yang akan diusung saat itu, jadi Martha adalah narasumber yang sangat pas.
Sayang, Martha justru menolak untuk menjadi narasumber dengan alasan dia malas keluar rumah dan bicara panjang lebar demi sesi tanya jawab. Apalagi saat itu syuting dijadwalkan hari Minggu, menambah kemageran Martha karena mengaku lebih nyaman di rumah, ditambah endorse yang masuk pun banyak hingga dia sulit mengatur waktu dengan baik.
Saya tidak mau diam, jadi saya datang ke rumah Martha dan terus membujuknya untuk menjadi narasumber podcast. Makin saya gencar membujuk, makin sering pula Martha menolak. Sampai pelan-pelan kami dekat, saling bertukar pesan di luar pekerjaan, hingga berakhir tertanam rasa bernamakan kasih dan cinta yang tidak mampu kami sembunyikan—khususnya bagi saya sendiri, sebab sejak pertama kali datang menemui Martha di kediaman orang tuanya, saat itu juga saya tahu telah ditarik masuk ke dunianya bersama hati yang telah terbuka untuk Martha seorang.
Sekitar satu bulan lebih dekat dengan alasan pekerjaan, saya mulai memberanikan diri untuk lebih blak-blakan bahwasanya ingin merekatkan diri karena tertarik pada Martha. Ajaibnya, Martha merespons saya dengan baik dan sejak itulah kami membicarakan hal pribadi. Mulai dari keluarga, apa yang ingin dicapai, hingga asmara.
Tak disangka kami sama-sama memiliki kesiapan yang menikah cukup tinggi, jadi ketika akhirnya saya dan Martha menetapkan diri sebagai sepasang kekasih, kami sudah tahu ke mana hubungan akan berakhir. Ya, jenjang pernikahan.
Tidak butuh waktu lama untuk yakin. Ketika Martha mampu akrab dengan keluarga saya, menunjukkan ketertarikan besar pada anak-anak, dan selalu nyambung setiap kali saya singgung soal pernikahan, saya memberanikan diri untuk datang ke rumahnya lagi untuk melamar.
Entah saya beruntung atau sudah berbuat baik di masa lampau, segalanya dimudahkan oleh Tuhan. Mulai dari lamaran yang diterima, pernikahan yang meninggalkan memori indah, kehamilan Martha tiga bulan setelah kami menikah, dan rezeki yang tidak henti-hentinya berlimpah.
Tentu kemudahan itu sejalan pula dengan cobaan yang ada, berasal dari orang luar merugikan kesehatan Martha dan menghilangkan sosoknya yang dulu hingga kadang saya tidak mengenalnya. Sekarang semuanya boleh membaik, tetapi kadang-kadang saya menemukan Martha duduk termangu seorang diri di balkon lantai dua. Entah memikirkan apa, tapi saya yakin bukan sesuatu yang baik. Kendati demikian, Martha selalu mampu kembali menjadi dirinya dalam waktu cepat, tak henti pula saya yakinkan bahwa dia baik-baik saja. Dari situ saya pun percaya Martha sudah pulih dan berada di jalan yang tepat.
Martha sudah kembali aktif di Instagram, menerima beberapa endorse yang sekiranya bisa dia urus sendiri. Seringnya Martha menerima endorse UMKM berupa kudapan ringan, lalu meminta bantuan pada saya untuk merekam dan ikut menikmati kiriman yang selalu lezat. Tidak setiap hari juga Martha menerima endorse karena tetap memprioritaskan saya dan Markus, jadi memiliki jadwal khusus dan tidak boleh keluar dari waktu yang telah ditetapkan itu.
Sekarang kami sudah bahagia bersama Markus, masih memiliki ketakutan tertentu tetapi yakin mampu melawan hingga takluk.
Omong-omong, Markus—kini usianya hampir dua tahun—yang makin aktif sedang menangis karena tadi berlarian tanpa henti sambil menendang bola, lalu berakhir jatuh di dapur. Martha yang sigap segera membawa Markus ke pangkuan, membiarkannya menangis sembari memantrai lutut putra kami yang terasa sakit menggunakan elusannya.
“Sakit,” adu Markus tanpa berhenti menangis. “Iya, Mama tahu. Berarti ke depannya Markus harus hati-hati, nggak lari-lari lagi kayak tadi biar nggak jatuh. Boleh ya, Nak?”
Kalimat lembut itu berhasil membuat Markus berhenti menangis, diganti oleh anggukan patuh seraya menyeka air matanya sendiri menggunakan punggung tangan. Saya di samping mereka hanya duduk manis sebagai penyimak, makin takjub saja pada Martha karena bisa mengatur Markus dengan piawai.
Bila sudah begini, mana ada urusan saya memilih pasangan yang salah? Buktinya sudah jelas, Martha memang pantas dan serasi bersanding dengan saya—yang tidak pandai mengatur anak kecil.
“Udah bisa jalannya? Udah enakan?” tanya Martha ketika Markus turun dari pangkuan.
“Bisa,” jawab Markus yang meraih kembali bolanya dari tangan saya.
“Mainnya sekitaran sini aja ya, Nak. Di dapur jalannya licin, biar nanti Markus nggak jatuh lagi.”
Lagi, Markus mengangguk patuh dan menendang bola karet itu di sekitar ruang keluarga yang bisa kami awasi secara ketat. Markus kembali tertawa dan saat itulah kami bisa mendesah lega, khususnya Martha karena tidak perlu menenangkan sang tunggal lagi setelah yakin dia aman.
Sebagai apresiasi, saya kecup pipi Martha hingga menimbulkan semburat merah di sana. Alih-alih dibalas yang sama, Martha malah mencubit pipi saya karena salah tingkah. Tidak masalah, cubitan Martha itu tanda cinta, jadi saya suka. Satu fakta baru, sebenarnya Martha memiliki target untuk turun lima kilo lagi. Namun, tidak dia lakukan agar pipi chubby-nya menetap, sebab dia tahu betapa saya suka pipi itu.
Sekarang fokus Martha adalah menjaga berat badannya agar tetap stabil, hidup sehat baik secara fisik dan mental, serta menjalani hari-hari tanpa beban di hati lagi. Jika suatu saat omongan orang mulai mengganggu, saya akan siaga berdiri di segala sisi sebagai perisai—tentu juga tim hore agar Martha tahu selain dilindungi, dia pun diberi dukungan penuh.
Bila boleh sedikit mengulas masalah lalu, sekarang saya mengerti bahwa ketikan di media sosial, satu kata negatif yang menyinggung hati, akan berdampak besar pada korban. Saya yakin ada yang memiliki masalah serupa seperti Martha, baik yang sudah menikah maupun masih lajang, jadi saya berdoa agar korban-korban lain bisa kuat menghadapi ocehan itu, mampu menyingkirkan yang buruk dan fokus pada hal baik.
Pun dari sisi pelaku, berhentilah mengomentari fisik seseorang dan berdalih hanya memotivasi atau bicara soal fakta. Gemuk, kurus, tinggi, pendek, berkulit putih, sawo matang, itu semua tetap menjadikan kita sebagai manusia. Jadi jangan ada lagi Martha atau korban lain, tetapi semoga saja ada orang yang jauh lebih baik dari saya untuk mengulurkan bantuan, minimal pada orang terdekat. Jika tidak bisa berkata baik, maka diamlah.
Jika menganggap orang lain buruk, maka becermin dan bertanya, apakah kita sudah lebih baik dari orang tersebut? Atau justru kita yang perlu introspeksi diri agar menjadi pribadi baik?
Kisah saya diawali bersama Martha, maka akan berakhir serupa; selalu bersama Martha. Kami sudah bahagia. Semoga siapa pun yang menjadi saksi kisah kami pun bahagia; mau itu bersama orang lain ataupun seorang diri.
Sekarang izinkan saya, Martha, dan Markus tutup buku. Ambil hal baik dan semoga kita dijauhkan dari hal buruk. Kalian semua berharga. Jika belum ada orang yang tepat untuk menganggap demikian, maka pujilah diri sendiri dan yakin bahwa kalian sangat hebat.