Ancaman
Part ini jadi alasan di part 229. Jadi, mohon dibaca sampai selesai, ya ^^
Hari ini ada tamu yang diundang—lebih tepatnya mengundang diri sendiri ke kediaman Eila yang tidak ditemani siapa-siapa. Ya, Mia Yahya. Ibunda Jibran Dava Adelard. Setelah bertukar pesan kemarin, Mia meminta bertemu Eila dan memilih rumah pacar Jibran untuk jadi tempat bicara. Kala Mia berkata dia ingin mengobrol empat mata, Eila sudah menduga ini tidak akan menjadi obrolan yang menyenangkan.
Di kepalanya sudah terbuat skenario yang mirip-mirip seperti sinetron klise. Skenario utama adalah Mia yang menentang hubungan Eila dengan Jibran, hanya saja ada beberapa eksekusi yang berbeda. Eksekusi pertama, Mia akan memaki Eila habis-habisan tanpa mau menaruh simpati sedikit pun padanya. Eksekusi kedua, Mia akan memberikan sejumlah uang yang totalnya tidak sedikit untuk menyogok Eila agar meninggalkan Jibran.
Eksekusi ketiga, Mia akan bicara lembut tapi dengan hinaan bahwa Eila tidak layak dengan Jibran yangs seorang selebritas, termasuk meragukan kesetiaan Eila. Eksekusi terakhir, Mia pasti membawa-bawa soal perjodohan yang paling ditentang Jibran dan diinginkan orang tuanya.
Dari semua eksekusi itu, Eila yakin Mia akan melakukan yang terakhir. Jadi, ketika mereka sudah duduk berhadapan di ruang tamu, dengan secangkir teh hangat untuk jamuan, Eila siap mendengar Mia menentang hubungannya dengan Jibran. Mia meraih cangkir teh, menyeruput minuman yang masih panas itu, lalu meletakkannya kembali di tempat. Setelah cukup dibalut oleh keheningan, akhirnya Mia mau bersuara.
“Saya nggak mau basa-basi setelah tahu kamu sama anak saya pacaran, bahkan kelihatan serius, Eila. Jadi, kedatangan saya ke sini minta kamu untuk putus sama Jibran, karena percaya atau nggak, hubungan kalian nggak akan berhasil.”
Eila tersenyum miring, skenario utamanya sudah benar. Tinggal menunggu eksekusi lain yang sudah Eila susun dengan matang untuk setiap reaksinya.
“Apa karena Jibran dijodohin, makanya Ibu bilang hubungan kami nggak berhasil?”
“Iya, itu alasannya.”
Eila menjerit puas dalam hati karena dugaannya benar. Kebenaran itu tidak menggetarkan Eila, karena semua masih sesuai dengan skenario di kepalanya.
“Tapi bukan itu aja alasannya, Eila. Perjodohan itu hanya salah satunya.”
Keseriusan di wajah Mia luntur, digantikan dengan kekhawatiran yang besar, melalap segala gengsinya sebagai wanita anggun yang selalu ingin mengatur putra semata wayangnya. Eila menatap waspada, karena sepertinya alasan yang akan dibagikan oleh Mia bukan perihal sederhana. Eila belum bisa menebak, tapi dia harap masih sesuai dengan skenario yang ada.
Mia pejamkan matanya sejenak, mengembuskan napas perlahan, lalu menjelaskan sesuatu yang menjadi rahasia di balik perjodohan Jibran, “Ada orang yang mau jodohin anaknya sama Jibran. Dia orang terdekat saya dan suami, karena itu kami setuju karena mereka kelihatan cocok walaupun belum ketemu satu sama lain. Tapi nggak lama, saya milih untuk batalin perjodohan itu karena Jibran pasti nggak mau, apalagi di awal semua ini sepihak. Jibran juga kelihatan belum mau nikah, makanya saya mau dia nikmatin masa-masa kariernya yang masih tinggi sampai ketemu jodohnya sendiri. Sayang, permintaan saya nggak diterima dan malah Jibran yang terancam. Akibat ancaman itu, saya … nggak berani berbuat apa-apa karena ini menyangkut keamanan anak saya.”
Eila mulai duduk tidak tenang, skenario di kepalanya buyar dan kini memikirkan apa yang mengganggu Mia Yahya hingga pandangannya tak fokus menatap Eila. Bukan karena ia berbohong, tapi karena takut.
“Katanya kalau perjodohan ini nggak berhasil, orangnya akan bikin gosip hoaks soal Jibran. Bukan gosip hoaks biasa, tapi gosip yang bisa bikin karier Jibran jatuh. Ditambah lagi orangnya akan publish di salah satu majalah terkemuka yang berpengaruh cukup besar untuk pembacanya. Jadi, kalau kabar itu mencuat ke publik, Jibran nggak akan selamat.”
Eila mulai gemetar, pikirannya berkelana jauh ke masa di mana dia mendengar sesuatu di tempat kerjanya dulu soal Jibran yang akan jadi target gosip buruk. Apakah mungkin … gosip yang ia dengar waktu itu sama dengan maksud Mia?
“Emangnya … gosip apa sampai karier Jibran terancam?” tanya Eila memastikan, sembari berharap apa yang ia pikirkan berbeda dengan jawaban Mia.
“Gosip soal Jibran yang punya hubungan gelap sama perempuan lain, sampai perempuan itu hamil dan punya anak, tapi Jibran nggak mau akuin anak itu dan ngebuang mereka seakan-akan nggak terjadi apa-apa. Mereka juga bakal beberin sikap buruk Jibran ke staf setiap dia ada syuting.”
Bahu Eila merosot lemah, pandangannya mengabur karena genangan air mulai memenuhi matanya. Oh, tidak. Itu bukan gosip yang baik, malah sangat buruk. Lebih buruk lagi, gosip itulah yang Eila dengar direncanakan oleh pimpinan redaksi bersama seseorang melalui telepon.
Tiba-tiba Eila kesulitan bernapas karena mimpi buruknya soal Jibran nyaris saja terjadi jika saja Mia tetap bersikeras menolak perjodohan. Oh, tidak. Eila tidak peduli soal perjodohan, sebab ia hanya peduli pada gosip miring yang Eila harap tak akan pernah menyerang Jibran.
Dengan tenggorokan yang perih menahan derita di mata, Eila berkata, “Jibran pernah bilang dia mau berhenti berkarier. Jadi, saya yakin dia nggak akan peduli soal gosip itu.”
“Tapi bukan berarti dia nggak akan takut, Eila. Secuek apa pun, Jibran nggak mungkin kuat ngelewatin masa-masa nggak enak akibat gosip jelek soal dia. Apalagi orangnya udah nyiapin perempuan dan anak yang akan jadi bukti bohong. Jadi, sebesar apa pun Jibran ngelak, nggak akan ada yang percaya. Kamu sayang sama Jibran, berarti pasti nggak mau dia kena gosip sebesar itu dan bikin dia susah untuk hidup damai.”
Mia benar. Sekuat apa pun Jibran dari luar, pria itu memiliki perasaan yang sensitif dan belum tentu mampu menerima tekanan dari berbagai arah jika gosip itu benar muncul. Sebesar apa pun perlindungan untuknya, baik dari keluarga, Trian, Natta, dan Eila, Jibran belum tentu bertahan.
Maka, satu-satunya cara adalah mengusir gosip itu sejauh mungkin dari Jibran dan perjodohan tetap dilakukan. Eila menggeleng pelan, kali ini kenyataan Jibran akan menikah dengan orang lain tidak bisa ia terima.
“Sama kayak Jibran, saya nggak mau dia dijodohin, Bu. Saya sayang sama dia, jadi saya nggak rela lihat dia sama perempuan lain,” ucap Eila dengan suara bergetar, bahkan membiarkan air mata membanjiri pipinya tanpa ragu.
Mia menaruh simpati, terlebih ketika beliau bisa melihat kesungguhan dari Eila. Sayang, simpatinya kalah dengan kepentingan putranya yang masih dalam ancaman. Maka Mia mengeluarkan satu fakta lagi yang seharusnya ia tutupi dari Eila. “Jangan kayak gini, Eila, karena kamu akan jadi korban juga.”
Eila mengerjap. “Apa …?”
“Orang yang mau jodohin Jibran sama anaknya tahu kalau kamu pernah jadi editor di CelebStat, majalah yang akan publish soal Jibran kalau dia nolak dijodohin. Seandainya kabar itu muncul, yang saya harap nggak pernah muncul, kamu nggak akan dibiarin gitu aja karena nama Ardania Eila Madaharsa akan tertera di majalah sebagai editor untuk kabar itu. Kalau sampai itu terjadi, kamu bukan cuma kehilangan Jibran, tapi dia bisa aja benci sama kamu.”
Licik. Kata itu paling tepat menggambarkan semua orang yang terlibat dalam ancaman yang akan ditujukan pada Jibran, sampai-sampai Eila akan menjadi korban lain yang mempertaruhkan hubungannya dengan Jibran. Jujur, Eila tidak peduli jika namanya dibawa-bawa, karena dampaknya tidak akan besar.
Namun, jika risikonya adalah kebencian dari orang yang amat dicintainya, ditambah orang itu bisa mendapat masalah besar, Eila tidak bisa menerima. Eila tidak mau Jibran memikul beban yang berat di saat sang aktor hanya ingin hidup damai setelah berhenti berkarier.
Eila tidak mau keinginan sederhana Jibran harus runtuh karena hal itu, yang berakhir mengacaukan kehidupan sempurnanya. Eila menunduk, menyembunyikan air mata yang kian deras. Namun itu percuma, karena Mia sudah melihat dan tidak mampu duduk diam. Mia berdiri, pindah posisi di samping Eila, lalu memeluknya yang tak berhenti menangis.
“Saya tahu kalian saling sayang, tapi saya harap kamu mau lepas dia. Ini buat kebaikan kalian. Mau ya, Eila?”
Eila tak mampu menjawab, hanya membiarkan air mata terus tumpah ruah menjadi wakilnya. Karena dengan itu, Mia tahu bahwa sesungguhnya Eila tidak mampu, tapi saat tahu bahwa Jibran dipenuhi ancaman, Eila harus melakukan itu meski dalam dirinya tak mau.