Persona Lain


Jika dikatakan ini latihan terakhir, maka jawabannya tidak terlalu benar. Pasalnya yang dilakukan bukan menghafal dialog atau berakting sesuai dalam naskah, melainkan hanya mengevaluasi hasil latihan selama 6 bulan dan apa saja yang perlu diperdalam Jibran untuk syuting.
Trian yang menjadi pemimpin latihan hari ini, sedangkan Eila tidak terlihat semangat karena alasan kesehatan. Jadi, dia hanya berkomentar seadanya jika ada yang butuh ditambahkan. Natta sendiri ada kegiatan di kampus, jadi tidak bisa ikut latihan terakhir dan hanya menitipkan salam.
Ketiganya duduk di ruang makan, dengan posisi yang pasti bisa ditebak—Jibran dan Eila duduk berdampingan, sedangkan Trian di hadapan mereka. Sesekali Jibran menggenggam erat tangan Eila di bawah meja, sengaja menggodanya, tapi sayang tidak mampu membuat Eila tersenyum.
“Jibran, sebulan sebelum syuting, kamu ada latihan sama Kalani. Ini latihannya nggak intens kayak kamu sama Eila, paling seminggu dua kali aja. Terus nanti ada fitting untuk baju yang bakal kamu pake saat syuting, sama penampilan kamu bakal diubah dikit biar lebih kelihatan kayak Jeremy.”
“Apa Eila sama Natta nggak bisa ikut buat temenin aku?”
Trian menggeleng tegas. “Aku aja yang ikut. Urusan soal kerjaan bareng Eila sama Natta ‘kan udah selesai, jadi jangan libatin mereka terlalu banyak. Tapi kalau mau minta saran atau komunikasi jalanin aja kayak biasa. Kamu sama adik-adik aku ‘kan udah deket banget. Mana yang di depan aku sekarang udah pacaran.”
Ada nada sindiran di balik kalimat terakhir Trian, mengundang tawa kecil Eila yang akhirnya mau bereaksi selain diam. Jibran lega karena Eila sedikit terhibur di tengah kondisinya yang kurang fit, tanpa menyadari ada makna di balik tawa kecil yang terasa hambar bagi sang pemilik.
“Gimana nih rasanya latihan sama Eila?” Kali ini Trian bicara lebih santai. “Adik aku nggak galak ‘kan, ya? Siapa tahu di luar latihan sama aku, ternyata dia galak banget.”
Jibran menatap Eila yang juga menaruh atensi padanya. Sang aktor tersenyum sebab ditularkan oleh senyum sang kekasih. Tanpa merasa malu, Jibran kecup pipi Eila yang membuat Trian pura-pura mual menyaksikannya.
“Aku malah seneng latihan sama Eila. Dia yang bikin aku terbiasa sama hal-hal yang sebelumnya terlalu kaku buat aku lakuin. Ditambah sekarang aku bisa pacaran sama Eila, orang yang jadi alasan aku untuk akting, dan aku beruntung bisa bareng-bareng sama orang yang aku sayang sejak dulu.”
Di akhir, Jibran menutupnya dengan mengecup punggung tangan Eila, makin membuat Trian merinding dan memilih memandang ke arah lain yang aman.
Eila tak bereaksi seperti malu ketika mendapat tatapan dan perlakuan manis, tapi itu tidak membuat semangat Jibran luntur karena ia terus berpikir kekasihnya belum terlalu fit. Sampai sepuluh detik setelah adegan manis itu, Eila tersenyum sengit dan raut wajahnya berubah sinis tanpa ditutup-tutupi. Perubahan itu dirasakan Jibran hingga senyumnya luntur. Pun oleh Trian yang heran karena tidak biasanya Eila begitu.
Eila menarik tangannya secara paksa dan berkata, “Sekarang kamu berhasil jadi laki-laki romantis, ya. Enggak ragu buat nunjukin kemesraan di depan orang, bisa ngomong manis, bahkan kelihatan bangga bisa pacaran sama aku.”
Sudut bibir Jibran bergetar sebab perasaannya berubah tak enak. Pasalnya yang dikatakan Eila bukan sebuah pujian, melainkan ledekan yang merendahkan Jibran.
“Aku … pastinya bangga, Eila,” balas Jibran sedikit bergetar, tanpa senyum yang terpatri seperti sebelumnya.
“Berarti strategi yang aku buat sukses, ya. Soalnya perubahan kamu drastis gini.”
Sang kakak yang menyimak akhirnya bersuara. “Strategi apa?”
Eila kembali memosisikan tubuhnya menghadap Trian, memainkan gelas berisi jus jeruk dengan jari telunjuknya, lalu menjawab, “Strategi buat bikin Jibran ngerasa dicintai dan pelan-pelan munculin sisi romantis dia supaya terbiasa buat syuting.” Eila tertawa ringan, sebelum akhirnya melanjutkan, “Strategi ini aku buat setelah latihan skinship. Di situ aku yakin Jibran punya sisi romantis yang butuh dipancing. Makanya aku mutusin untuk pake strategi lain tanpa ada yang tahu, di mana aku seakan-akan suka bahkan cinta sama Jibran, padahal aslinya nggak.
“Well, tadinya aku ragu walaupun udah pura-pura ngaku suka Jibran ke Kak Trian. Barulah waktu Jibran tiba-tiba confess soal perasaannya, aku nggak bisa biarin gitu aja. Aku pura-pura butuh waktu buat pertimbangin, padahal aslinya nggak pertimbangin apa-apa. Cuma nyiapin strategi yang lebih matang. Di hari aku telepon Kak Trian sambil nangis itu juga pura-pura, karena aku sengaja manfaatin Kak Trian yang pasti laporan ke kamu. Tapi malah ada kejadian yang nggak pernah aku tebak, karena ternyata Jibran lagi bareng sama Kak Trian dan denger semuanya.
“Dari situ aku mikir untuk manfaatin situasi di luar dugaan, sampai akhirnya aku sama Jibran pacaran, dan pelan-pelan sisi romantis dia mulai muncul. Strategi yang bagus buat film perdana Jibran.”
Eila menutup dengan tawa sinis yang membuat Jibran dan Trian saling berpandangan tak percaya. Mereka belum memberikan reaksi, pasalnya napas keduanya terasa sesak mendengar kenyataan pahit yang baru diumbar oleh Eila sekarang.
Tentu saja yang paling syok adalah Jibran, karena sang pujangga telah dikhianat. Mata Jibran mulai memerah. Sedih, marah, syok, dan kecewa bersatu menggerogoti dirinya. Sakit pada daksanya? Jangan ditanya. Jibran sampai tak mampu bergerak karena sedikit saja ada pergantian posisi, rasa sakitnya akan menguar hingga sepenjuru tubuh. Jibran mencoba menarik himpunan kata yang tertahan di tenggorokan. Sulit dan sakit, tapi ia paksa demi mengantongi kenyataan.
“Jadi …, selama ini kamu pura-pura?”
Eila mengangguk santai seraya menatap Jibran tanpa merasa bersalah. “Itulah akting, Jibran. Kamu latihan untuk akting, maka aku ikut akting saat ngelatih kamu. Bedanya, nggak ada orang lain yang tahu aku akting. Harus sedikit diakui kalau kamu agak susah dilatih tanpa pancingan begini. Walaupun kamu harus kecewa karena punya cinta pertama kayak aku yang malah ngebohongin kamu, tapi hasilnya setimpal, ‘kan? Akting kamu sebagai Jeremy jadi meningkat jauh berkat hubungan ini.”
“Dek—”
Trian ingin bicara, tapi ditahan oleh Jibran yang mengangkat jari telunjuknya, membiarkan segenap rasa sakit menyebar hingga seluruh daksanya. Tak peduli hatinya hancur berkeping-keping, Jibran tetap harus bicara.
“Tangan kamu gemeteran,” ucap Jibran tentang apa yang jadi perhatiannya ketika Eila bicara. “Artinya kamu bohong.”
Eila menaikkan sebelah alisnya dan mengangkat kedua tangannya selama lima detik untuk ditunjukkan pada Jibran. Ia tidak menampik soal tangannya yang bergetar, bahkan pengakuan yang sudah telanjur ia buat tetap dilanjutkan.
“Itu tanda kalau aku udah lega karena ngakuin semuanya sama kamu, Jibran. Enggak ada beban yang perlu aku sembunyiin di belakang orang naif kayak kamu.”
Bibir Jibran mulai bergetar. Jika saja pertahanan diri yang dia buat runtuh lebih cepat, Jibran sudah menangis sekarang. Setiap kali Eila mengatakan sesuatu yang menyakitkan, maka Jibran akan mengenang masa-masa indah mereka saat saling mencintai—yang Jibran yakin, Eila tidak pura-pura saat itu.
Namun, seberapa persen Jibran yakin, ia kurang tahu. Karena kesinisan Eila yang terlihat meyakinkan sekarang, membuat Jibran tak sepenuhnya yakin bahwa sang kekasih hanya pura-pura.
Paham bahwa Jibran hampir menangis, Eila kembali berkata, “Jibran, dari awal aku cuma manfaatin kamu untuk promosi usaha aku. Makanya aku berani ngambil langkah besar dengan ngaku suka dan mau aja diajak pacaran. Feedback-nya, kamu juga bisa nunjukin kasih sayang ke aku yang sebelumnya nggak pernah bisa. Terus sekarang latihan udah selesai, usaha aku juga udah lebih lancar, kamu juga udah cukup jadi pacar aku, makanya aku mau ngakuin ini semua supaya kamu nggak makin berharap.”
“Kamu keterlaluan, Dek,” lirih Trian yang memberikan reaksi kurang lebih sama seperti aktornya, hanya saja Jibran beberapa tingkat di atasnya.
“Aku bukannya keterlaluan, Kak,” jawab Eila seraya melirik Trian sekilas. “Aku cuma lakuin tugas sesuai perjanjian. Ngelatih Jibran selama enam bulan dan tugas itu udah dijalanin dengan sukses. Iya, ‘kan?”
Eila menyeringai, menambah derita yang terus mengakar dalam dada Jibran. Kediamannya yang selalu indah setiap Eila hadir, kini justru menjadi mimpi buruk yang Jibran harap bisa segera dibangunkan untuk kembali ke realitas. Di realitas itulah Eila akan hadir menjadi sosok gadis yang begitu Jibran cintai, bukan yang seperti ini.
Jibran membuka mulutnya, meraup serakah oksigen di sekitar ketika saluran pernapasannya tercekat. Di saat itulah rintihan kesakitan sempat Jibran perdengarkan, tirta di matanya pun sempat mengalir yang berusaha ia sembunyikan dengan membelakangi Eila, lalu kembali menutupinya meski percuma karena genangannya masih menumpuk di pelupuk.
Eila tahu Jibran sudah menangis, tapi tidak menarik simpatinya. Karena ini sudah saatnya ia jujur dan Jibran harus menerimanya.
Jibran kembali menatap Eila, berusaha membangun pertahanan diri terakhir sebelum nanti runtuh juga. Jibran berusaha tersenyum yang menyiratkan kesakitan di dalamnya. Senyum yang dipaksakan demi menguatkan hatinya.
“Kalau selama ini hubungan kita cuma didasari akting, berarti akting pengakuan kamu hari ini kurang bagus, Eila. Kamu harusnya lebih banyak latihan supaya aku makin yakin.”
“Tapi bisa bikin kamu nangis. Berarti aku berhasil bikin kamu percaya,” balas Eila santai tanpa peduli pengakuannya diragukan. “Terserah kamu sama Kak Trian mau percaya atau nggak, yang penting tugas aku udah selesai sekarang. Aku nggak perlu ngelatih dan jadi pacar kamu lagi. Permisi.”
Eila berdiri dan berjalan menuju ruang tengah di mana tasnya berada, meninggalkan dua orang yang masih tak percaya sepenuhnya dengan pengakuan Ardania Eila Madaharsa. Saat Eila baru akan beranjak dari ruang tengah setelah mengambil tasnya, Jibran berdiri dan menambah pilu pada daksa hingga air matanya tidak bisa dibendung lagi.
“Tunggu, Eila.”
Panggilan itu menghentikan langkah Eila, tapi tidak membuatnya menoleh demi menatap Jibran.
“Kamu pasti balik lagi sama aku, Eila. Aku yakin itu.”
Lirihnya suara Jibran terdengar jelas oleh Eila. Namun, tak menggentarkan niatnya untuk tetap maju dengan pilihannya.
“Aku sayang kamu,” aku Jibran sembari terisak. “Kamu juga gitu ke aku, Eila.”
Tanpa Jibran ketahui, Eila sedang menahan air matanya yang sudah di ujung. Ia nyaris ikut terisak, bahkan menjerit penuh penyesalan. Namun, Eila tidak bisa mundur lagi untuk menyusul Jibran. Maka dengan persona yang berusaha ia pertahankan, menyembunyikan persona sesungguhnya, Eila menoleh dan menyeringai pada sang aktor yang tak menutupi air matanya.
“Jibran, berhenti ngayal. Enggak ada cinta pertama yang berhasil, termasuk aku. Jadi, kamu nggak usah berharap apa-apa sama aku yang udah bohongin kamu, karena selama ini nggak pernah ada kita.”
Setelah itu, Eila berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia meninggalkan kediaman sang aktor, termasuk Jibran dan hatinya yang sudah ia buat hancur berkeping-keping. Jibran masih menangis tanpa bersuara, sedangkan lututnya lemas hingga ia jatuh terduduk dan masih tidak memercayai kenyataan yang dihadapkan padanya.
Trian, yang menjadi saksi hari ini, diam-diam mengirim pesan pada seseorang di tengah simpati yang ia berikan pada Jibran. Melaporkan apa yang ia lihat sembari berharap Jibran dan Eila akan baik-baik saja setelahnya.