Pria Terpilih

cw // mature content

Dalam kamus Martin, nama Martha hanya memiliki dua makna; cantik dan baik. Jadi dalam keadaan apa pun, memiliki kekurangan atau kembalinya kejayaan dulu, tidak mengubah pandangan Martin terhadap istrinya. Namun, di atas itu semua kepercayaan diri Martha adalah segalanya bagi Martin. Dengan percaya diri, bagaimanapun penampilan Martha akan selalu jadi sanjungan, minimal bagi mata Martin yang selalu tulus kala itu semua tertuang melalui aksara maupun aksi nyata.

Hampir empat bulan diet tanpa siksaan besar tidak sia-sia, karena buktinya Martha berhasil mengembalikan tubuh idealnya lagi tanpa terganggu dalam mengurus Markus. Pun tidak mengganggu kesehatannya seperti yang dulu-dulu. Targetnya masih harus menurunkan sepuluh kilo, tetapi tubuhnya yang sekarang pun sudah mengembalikan kehidupan impian Martha dulu.

Martha sudah berani tampil di depan publik, bisa memakai pakaiannya yang dulu lagi, lebih lincah dan segar sampai Martin tidak bisa menandingi dayanya. Seperti sekarang, di kasur, saat hari berganti gelap, ditemani rembulan yang menerangi pekatnya malam, dan tentu Markus telah tidur nyenyak, sejoli itu bersanggama bebas demi meraih kenikmatan.

Martha berada di atas Martin, memacu cepat seakan hari esok tidak ada lagi waktu untuk merasakan gairah yang sama. Dari bawah sana bisa Martin lihat jelas bagaimana indahnya tubuh Martha meliuk bebas dengan ringan, bermandikan peluh deras, membuat gumpalan bulat menggemaskan itu ikut naik turun seirama, serta melatunkan nyanyian merdu bernama desah yang memecah kesunyian malam.

Sesekali Martha tersenyum saat melihat Martin tidak berdaya di bawahnya, merasa hebat bisa memonopoli sang suami yang biasanya merajai tanpa henti. Martin yang mengelus kedua paha itu merasa bangga, sebab dari jutaan laki-laki, dialah yang terpilih untuk memiliki dan berada di bawah kuasa Martha. Terpilih dan dipercaya menjadi satu-satunya pria yang diberi dan melihat segala sisi dari sang pujaan.

Martin angkat tubuhnya, ikut duduk karena tidak mau menjadi pasif padahal biasanya mendominasi. Martin raih tengkuk Martha, mempertemukan birai dan saling menyatu dalam ciuman panas sebagai pengganti desah. Mereka tidak mau Markus bangun, jadi sebisa mungkin diredam agar tidak tanggung. Sebelah tangan Martin yang bebas ia gunakan untuk mengelus punggung Martha, merajai titik sensitif yang memicu adrenalin sang ratu dalam gapainya.

Kepala Martin pening bukan main saat puncak sudah tiba di ujung. Martha menengadah kala berhasil mencapai puncak lebih dulu, sedangkan Martin masih harus berusaha sedikit demi memuaskan syahwat yang sama. Hingga akhirnya Martin mengerang, meredamnya sembari bersembunyi di balik dada Martha yang terengah. Entah itu peluh siapa yang menempel di tubuh, mereka sudah tidak peduli, karena yang penting permainan pertama berhasil digapai dengan luar biasa.

Martha kumpulkan rambutnya jadi satu, dibiarkan terurai ke belakang sebelum akhirnya meraih bibir Martin dan mencumbunya mesra. Martin balas sama mesranya, sedikit rakus akibat masih haus akan gairah. Di bawah sana sudah terpuaskan, tetapi keinginan untuk melanjutkan tetap ada.

Martha menarik bibirnya, lalu menyatukan dahinya bersama dahi Martin tanpa mengubah posisi. Mereka saling melempar senyum, memberi jeda sebelum memasuki ronde dua yang tidak sabar menanti karena buktinya pusat gairah Martin kembali bangkit.

“Sekarang aku udah ringan ya pas di atas gini.”

Martin belai pelipis Martha, menyeka peluh yang tidak henti-hentinya menetes di sana. “Dari dulu juga kamu selalu ringan, kok.”

Martha percayakan segala pujian yang Martin berikan untuk dia. Namun, pujian saat tak ada sehelai perca yang membalut jelas memberikan sensasi berbeda. Lebih menggairahkan, lebih panas, dan lebih membangkitkan kepuasan.

“Sekarang kamu udah lebih pede,” puji Martin lagi. “Aku seneng banget. Diet kamu juga berhasil.”

“Aku pede bukan karena berhasil dietnya aja, tapi udah bisa nanggepin omongan orang tanpa kepikiran terlalu lama.”

Ah, benar. Jika saja tidak ada gunjingan yang diterima, sejak dulu Martha tetap percaya diri dengan keadaannya. Baru ketika berbagai komentar itu muncul, Martha yang dulu runtuh tanpa jejak. Toh, saat awal-awal berusaha mengembalikan bentuk tubuh, Martha sudah berani keluar hanya bersama Markus untuk belanja atau sekadar jalan-jalan sekitar tempat tinggal. Membuktikan bahwa keadaannya berangsur pulih tanpa ada lagi yang menyakiti.

Kini Martin lega Martha-nya telah kembali secara utuh, senantiasa hidup lebih baik dan berusaha cuek bebek terhadap omongan negatif. Di bawah sana ada yang bergerak lagi, menciptakan desah dari belah bibir Martha yang buru-buru ditahan karena volumenya begitu keras.

“Ihhh!” erang Martha. “Bukannya ngomong dulu mau gerak.”

Martin sebagai pelaku utama malah tertawa tanpa dosa, memulai lagi untuk mencapai kenikmatan dan kali ini jauh lebih panas karena mereka berani bermain di luar kamar.

Markus, jangan kaget jika nanti kamu punya adik di usia yang masih muda, Nak ….