Prioritas

Tara pulang tengah malam dari kediaman Liona dengan langkah ringan tanpa beban menumpuk, apalagi rasa bersalah setelah membuat janji makan malam bersama Zanitha yang dia ingkar sendiri. Saat masuk, keadaan rumah masih terang menyilaukan mata, situasi yang seharusnya tidak terjadi jika Zanitha telah bermimpi dalam tidurnya.

Benar saja. Saat menemukan suara televisi yang menyala riuh di ruang keluarga, Tara segera mendekat alih-alih langsung masuk ke kamar untuk istirahat. Di ruang keluarga Tara menemukan Zanitha yang duduk dalam tegangan tinggi di sofa, menatap televisi dengan pandangan kosong. Televisi itu bukan digunakan untuk menonton, melainkan hanya mengisi kesunyian malam yang menabur pilu.

Aroma masakan di ruang makan masih tercium, tapi tidak menggoda selera Tara karena dia sudah kenyang. Disadari pula Zanitha mengenakan dress abu-abu selutut dan riasan wajah yang masih menempel rapi, rambut panjang lurusnya dibiarkan terurai bebas. Sayang, cantiknya Zanitha harus ditutupi oleh luka yang telanjur menjalar hingga tersenyum saja tidak mampu dilakukan.

Merasakan kehadiran seseorang yang masih berdiri di samping sofa, Zanitha lirik Tara melalui ekor matanya. Pria itu berdiri tenang tanpa niat mendekat ataupun pergi, seolah menunggu Zanitha bereaksi lebih dulu karena tahu Tara tidak akan mengerti apa yang dia rasakan jika hanya diam. Baiklah, Zanitha tidak mau membisu tanpa peduli Tara sedang lelah. Zanitha tidak mau menahan diri untuk bersuara mengingat ini perihal hati yang terlalu banyak terluka.

“Seru di rumah Mbak Liona?” tanya Zanitha sarkas tanpa berusaha menoleh ke arah Tara.

Suara Zanitha masih tenang, tapi dadanya bergemuruh tanpa tahu arah. Tara membuka mulut, tiba-tiba ikut tegang dan tubuhnya hanya mampu mematung di tempat yang sama.

“Liona butuh aku buat diskusi soal sekolahnya Chaca mau masuk ke mana. Aku nggak bisa nolak, makanya harus ke sana supaya bisa diskusi dengan jelas.”

Selalu Charity yang menjadi alasan dan sungguh, Zanitha mengerti itu. Namun, situasi kali ini berbeda. Tara terlalu sering pergi ke rumah mantan istri demi Charity padahal memiliki jadwal jelas kapan dia mendapat waktu eksklusif bersama sang putri. Kalaupun memanfaatkan waktu itu, Tara hanya akan pergi berdua bersama Charity tanpa melibatkan Zanitha yang hanya tahu setelah suaminya pulang ke rumah. Malah seringnya Tara memilih di rumah Liona saja dibanding rumahnya sendiri, padahal sering sekali Zanitha ingatkan agar Charity dibawa ke rumah mereka.

Sayang, Tara tidak mendengar. Tetap dengan dunianya yang terlalu indah untuk dirusak oleh pendatang. Sebab itu Zanitha tidak bisa percaya lagi jika alasannya soal Charity. Ada Liona di sana, masa lalu Tara yang entah sebenarnya telah selesai atau belum hingga sekarang. Hubungan mereka boleh sudah usai, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada rasa yang berpijar.

“Dibandingin sama istri sendiri, kamu lebih sering di rumah mantan istri.”

Tara berdecak lidah, sedikit tidak suka dengan cara bicara Zanitha yang penuh sindiran. “Jangan sebut Liona kayak gitu, oke? Dia tetep keluarga.”

Zanitha akhirnya berdiri dan mau beradu pandang dengan Tara, menunjukkan secara nyata dampak yang diberikan sang suami ketika terlalu sering meninggalkannya. Zanitha kepalkan tinju, menumpuk sebagian kebengisan yang dia tahan agar tidak keluar deras.

“Sengaja supaya kamu ingat status aku sebagai istri. Soalnya kalau nggak diingetin, kayaknya kamu bakal lupa. Setiap hari kerja pulangnya ke rumah Liona dan alasannya pasti Chaca. Udah gitu nyampe sini tengah malam kayak nggak ingat istri yang sendiri di rumah. Terus tiap aku nawarin diri buat ikut ke rumah Liona, pasti kamu larang dengan alasan bakal bosen.

“Pernah dua kali ke sana dan aku paham kenapa bisa bosen walaupun udah coba ngobrol, karena kamu terlalu punya dunia sendiri tanpa libatin aku sama sekali. Tadinya aku nggak mau kapok, tapi dipikir-pikir bakal terus rugi kalau akhirnya gitu lagi. Ujung-ujungnya aku tetep nungguin kamu di sini, pulang dari masa lalu yang lebih punya banyak waktu sama kamu.”

Zanitha terengah dan mengelus dadanya dengan gerakan cepat, merasa belum tuntas mengeluarkan semua beban di hati. “Dan ini bukan soal Chaca ya, Mas,” imbuh Zanitha sebelum Tara berpikir sang istri keberatan soal Charity. “Aku sayang Chaca, aku seneng lihat kamu sama dia, tapi nggak suka lihat kamu sama Liona!”

“Terus aku harus gimana, Zanitha?”

Tara ikut meninggikan intonasi bicara demi menyamakan emosi Zanitha yang nyaris meledak. Zanitha tersentak, tapi tidak mau gentar sebelum pembicaraan mereka tuntas. Entah itu berakhir dengan baik atau tidak menemukan solusi yang tepat. Tara berkacak pinggang dan mendengkus pelan, paling membenci pertikaian karena itulah penyebab dia dan Liona harus berakhir dalam perceraian; pertikaian panjang yang gagal mendapatkan solusi apalagi jalan tengah, memilih berakhir saat usia Charity masih dua tahun.

Perihal ini sebenarnya tidak perlu diperbesar, tapi Zanitha bertingkah seolah dia jadi korban penyiksaan yang membuatnya harus bersuara lantang. Tara menyugar rambutnya, berusaha tetap berkepala dingin sebelum akhirnya bicara agar pertikaian bisa segera usai.

Sambil menatap sang istri, Tara berkata, “Hak asuh Chaca ada di tangan Liona. Aku nggak bisa sembarangan bawa dia ke mana-mana kalau bukan waktunya dan tanpa izin Liona. Aku datang ke sana setiap hari beneran karena Chaca, bukan karena yang lain, apalagi Liona. Tadi juga aku datang buat kepentingan Chaca, kok. Kalau nggak ada, aku pasti pulang ke sini. Waktu kamu mau nikah sama aku yang punya status duda dan punya satu anak, harusnya udah tahu bakal gimana ke Chaca. Kamu harus ngerti Chaca itu prioritas aku, Zanitha.”

Penuturan Tara membuat Zanitha bungkam untuk beberapa saat, berusaha mencerna dan memilah kata sebelum menjadi rangkaian kalimat yang akan jadi balasan. Zanitha menunduk, jadi mempertanyakan apakah keputusannya untuk menikah itu benar atau tidak.

Soal kesiapan, jangan ditanya.

Zanitha tidak pernah menyesal melepas status lajang di usia muda, tak lama setelah dia mendapatkan gelar sarjana. Dipertanyakan pun rasanya percuma, Zanitha tidak bisa mundur begitu saja saat usia pernikahan masih seumur jagung. Zanitha tidak boleh kalah dari masalah yang dihadapi ini, tidak boleh terbawa arus badai yang memberikan luka di awal rumah tangganya ini.

Zanitha harus tegar, menganggap masalah ini sebagai adaptasi bagi dia dan Tara yang berstatus suami istri. Belum lama bagi Tara memulai lagi, tapi tetap bukan perkara mudah hidup berdua dalam ikatan pernikahan. Namun, jika semua harus Zanitha mengerti, rasanya tidak adil. Pernikahan dibangun oleh dua orang dan dua kepala yang dipaksa berjalan beriringan.

Zanitha tidak mau terjebak bersama orang yang mementingkan masa lalu hingga lupa masa sekarang. Nanti bila terus didesak oleh dominasi satu pihak, Zanitha hanya banyak makan hati karena terus mengalah. Zanitha kembali memandang Tara yang sudah lebih tenang, menunggu dengan sabar istrinya bicara dan berharap mau menyudahi segalanya lebih cepat. Bukan karena Tara ingin istirahat, melainkan tidak mau masalah sekecil ini jadi makin besar.

“Kayak yang aku bilang, ini bukan karena Chaca, tapi Liona.”

Suara Zanitha begitu pelan, nyaris tidak terdengar bila diucapkan di keramaian. Berkat sunyinya tengah malam, Tara masih bisa mendengar. Pria berkemeja hitam itu menajamkan rungu demi mendengar secara jelas semua yang Zanitha ucapkan.

“Aku udah bikin perhitungan sebelum nerima pinangan dari duda satu anak. Bukan cuma aku yang harus kamu nafkahin, tapi Chaca juga dan aku selalu ngerti itu. Satu hal yang aku lewatin itu Liona. Aku nggak nyangka bakal secemburu ini karena kamu habisin banyak waktu di rumah dia. Alasannya boleh karena Chaca, tapi tetep ada mantan istri kamu yang sekarang nggak bisa aku cuekin gitu aja. Aku tahu Liona nggak akan rebut, tapi aku takut perasaan yang sering kamu kasih tahu ke aku jadi berubah buat dia lagi. Terus akhirnya … kamu lebih milih masa lalu daripada aku.”

Zanitha menyeka sudut matanya yang berair, mengembuskan napas berat hingga dada sesak menahan tangis. Tidak, dia tidak mau menangis dulu sampai suara hatinya dituntaskan di depan Tara. Menangis bukan berarti lemah, tapi itu akan menyulitkan Zanitha untuk bicara dan akhirnya hanya mampu menangis tanpa sempat menyelesaikan.

Suara Zanitha makin bergetar di setiap kalimatnya, Tara sadar itu. Bukan mencoba menghentikan, Tara biarkan Zanitha memanfaatkan waktu untuk menuntaskan segalanya. Walau sayang, tidak dapat membuka mata Tara secara utuh.

“Aku istri kamu. Apa aku … bukan prioritas juga?” Zanitha menyeka lagi sudut matanya yang tidak berhenti berair, lalu melanjutkan, “Sebelum lamar, harusnya kamu udah tahu mau gimana sebagai suami ke istrinya. Kamu nyuruh aku ngerti status kamu sebagai seorang ayah, tapi kamu sendiri nggak ngerti status sendiri yang sekarang jadi suami lagi. Harus berapa lama aku nunggu kamu pulang dari rumah Liona tiap malam? Berapa lama aku baca chat kamu yang selalu minta izin ke rumah Liona dan alasannya selalu Chaca? Berapa lama sampai aku bisa jadi prioritas juga? Setahun? Dua tahun? Lima tahun?”

Zanitha mengambil tiga langkah mendekat, hingga kini berada tepat di hadapan Tara yang masih setia mendengar. “Kalau harus selama itu, mending aku lepas diri aja. Aku nggak akan sanggup punya keluarga baru tapi kamunya nggak mau ikut bangun.”

Setelahnya Zanitha angkat kaki, meninggalkan Tara ke kamar untuk mengurung diri karena sadar tidak sanggup lagi melawan derita di hati. Zanitha sudah menumpahkan semuanya. Tidak membuat lega, tapi Zanitha harap bisa menyadarkan Tara bahwa dia mulai lelah. Zanitha bungkus sekujur tubuhnya menggunakan selimut, menangis di baliknya sebagai pengganti aksara yang tidak mampu lagi terungkap.

Tidak peduli bagaimana perasaan Tara setelah mendengar, malam ini Zanitha hanya ingin fokus pada dirinya. Napas Zanitha putus-putus akibat tangis yang gagal ditahan keluar. Tidak apa-apa, untuk sekarang Zanitha biarkan, asalkan setelahnya dia lega. Masih sambil menangis dan entah sudah berapa lama waktu berlalu, ada gerakan kecil di sampingnya dan tubuh yang sedikit besar ikut bergabung ke dalam selimut.

Detik berikutnya Zanitha bisa merasakan lengan gagah seorang pria melingkar di sekitar perut dan pinggang sang empu. Bukannya lega dan senang, Zanitha makin terisak saat satu kalimat terlontar tepat di daun telinganya.

“Maafin aku, ya, Zanitha ….”