Properti


“Aku masih suka kaget waktu mama kamu tiba-tiba chat aku. Coba aja Kak Trian nggak ngasih nomor, pasti aman.”
Eila mengeluh pada laki-laki berstatus anak tunggal yang ibunya sempat bertukar pesan dengan sang puan. Masih menjadi salah satu momen paling mendebarkan, padahal permintaan Mia Yahya tidak aneh-aneh. Jibran yang diberi tahu juga ikut merasakan kekhawatiran Eila, tapi ketika mendengar wanita itu mengeluh, Jibran malah menahan tawa karena baginya keluhan Eila menggemaskan. Jibran sampai menunda menikmati croffle buatan Eila karena lebih fokus pada sang pembuat dibandingkan makanan buatannya.
“Tapi setelah itu mama aku nggak chat lagi, ‘kan?” tanya Jibran setelah bisa mengendalikan diri dari tawa.
“Enggak, tapi bisa aja nanti-nanti chat, ‘kan? Secara beliau sayang banget sama anak tunggalnya, terus butuh informasi dari siapa pun yang menyangkut anaknya, termasuk dari aku.”
“Sorry, harusnya kamu nggak jadi incaran mama aku. Biasanya Mama emang tanya ke Trian, itu juga hitungannya jarang. Sekarang malah ke kamu.”
“It’s okay,” balas Eila enteng sembari memotong croffle menjadi bagian kecil, lalu menyodorkannya pada Jibran. “For you.”
Perlakuan manis itu mengundang senyum Jibran, yang kemudian memasukkan suapan croffle dari Eila ke mulutnya yang terasa lebih nikmat dari suapannya sendiri. Kalau dilihat sekilas, apalagi mereka hanya berdua di rumah, sang aktor dan sang partner terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah menikmati quality time berdua tanpa gangguan siapa pun.
Harus diakui setelah latihan adegan ciuman itu, serta permintaan Jibran agar mereka tidak canggung, kedekatan Jibran dan Eila jadi lebih intens seperti pasangan yang baru mulai memadu kasih. Masih malu-malu yang tak ragu untuk memadu rayu. Awalnya mereka boleh lebih canggung sampai Eila sendiri khawatir dia tidak bisa mengendalikan diri, tapi untung mereka sudah tahu caranya untuk tenang di hadapan masing-masing setelah bertemu lagi hari ini. Sesi latihan tidak pergi dari ingatan mereka, justru menjadi alasan mereka sedekat ini.
“Satu jam lagi Trian sama Natta datang. Kayaknya kita harus act normal supaya nggak digodain.”
Jibran mengangguk setuju. Dia tidak mau rumahnya riuh karena Trian atau Natta mengungkit soal latihan waktu itu saat melihat Jibran dan Eila tampak seperti pasangan. Bisa-bisa Trian mengomel dan Natta malah menggoda tiada henti. Jibran dan Eila kembali menikmati croffle masing-masing, tapi tidak semesra sebelumnya dan secara tidak langsung membentuk benteng pertahanan dari godaan.
Di tengah keheningan yang berkuasa, rasa penasaran Jibran tiba-tiba merangkak naik soal alasan sesungguhnya mengapa Eila mau membantunya latihan hingga ke adegan-adegan yang membutuhkan sentuhan fisik. Maksudnya, mereka tergolong orang asing meski pernah satu sekolah—yang sampai saat ini Jibran belum berani akui pada Eila. Jadi, aneh sekali jika Eila mau saja melakukan kontak fisik selama latihan bersama Jibran.
“Eila, boleh aku tanya?”
Eila yang akan menyimpan piring ke dishwasher langsung menunda dan memilih merespons pertanyaan Jibran. “Silakan.”
“Aku tahu sekarang kita udah akrab, tapi tetap mau nanyain ini.”
Jibran membetulkan posisi duduknya dan sedikit mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Eila. Sang partner menatap Jibran penuh minat, seolah tak sabar menunggu pertanyaan apa yang sekiranya akan diajukan.
“Kenapa kamu mau aja latihan kontak fisik sama aku yang bisa dibilang masih asing? Aku nggak maksud ungkit soal latihan yang itu, tapi—aku yakin kamu paham maksud aku.”
Tanpa perlu dijelaskan secara rinci, Eila paham maksud Jibran. Seharusnya sebagai aktor, Jibran sudah tahu jawabannya. Meski begitu, Eila tetap menjawab pertanyaan Jibran untuk menepis segala tanda tanya dalam benaknya.
“Dalam dunia peran, kita nggak pernah nebak akan akting sama siapa, tapi kita udah tahu harus apa dan siap untuk melakukannya. Aku dipercayai untuk jadi partner kamu selama latihan film romansa ini. Terus aku baca naskahnya dan jadi tahu harus apa sepanjang latihan. Makanya aku mau aja latihan adegan skinship, selagi kamu juga nggak keberatan dengan hal itu. Walau amatiran, aku juga pernah akting sama orang yang nggak terlalu kenal dan ada kontak fisik. Jadi, bagi aku itu nggak masalah sama sekali, selama kamunya juga nyaman.”
Jawaban Eila tak bisa Jibran bantah, karena yang ia katakan benar adanya. Setiap kali ditawarkan untuk audisi film baru, Jibran tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi lawannya. Jibran baru akan diberi tahu setelah teken kontrak dan sesi pembacaan naskah pertama.
Termasuk di film Perfect Wife ini, Jibran belum menemukan pemeran utama yang tepat, tapi sudah tahu harus apa. Kalau boleh jujur, Jibran tidak ingin mencari pemeran utama untuk memerankan sosok Anata, karena Eila sudah cukup memenuhi standar dan tinggal diasah sampai matang bersama Jibran.
Namun, Eila bukanlah orang yang mau berada di depan layar. Jadi, Jibran harus berpuas diri menyaksikan akting Eila selama latihan, sebelum nantinya sang aktor memainkan peran dengan pemeran utama sesungguhnya.
“Makanya kamu nawarin juga untuk adegan skinship termasuk yang itu?”
Eila mengangguk seraya tersenyum lebar. “Sebagai partner latihan kamu, aku nggak ada bedanya kayak properti yang bisa kamu gunain saat butuh. Makanya aku berusaha ada saat kamu perlu properti itu.”
Lengkungan di bibir Jibran perlahan memudar, digantikan dengan ekspresi masam sebagai tanda bahwa dia tidak menyukai jawaban Eila. Bukan karena menyebalkan, tapi karena Eila menganggap dirinya serendah itu dengan menyebut properti semata. Padahal di mata Jibran, Eila jauh lebih berharga tanpa berpikir bahwa wanita di hadapannya properti atau barang yang digunakan demi kepentingan latihan.
Eila terlihat santai setelah mengatakan hal tersebut, lain sekali dengan Jibran yang mengetatkan rahangnya, berusaha menahan himpunan aksara untuk tetap berada di tenggorokannya dan jangan sampai merangkak naik ke ujung lidah, karena Jibran bisa gagal menahan segalanya. Di kala Eila pergi untuk memindahkan piring ke dishwasher, Jibran mengamati dengan mata menyipit tajam bak elang mengawasi mangsanya.
Tak lama Eila kembali duduk di hadapannya, masih terlihat santai seolah menganggap dirinya sebagai properti di mata Jibran bukanlah kesalahan. Makin diam, Jibran gagal mempertahankan rangkaian aksara itu untuk tetap berada di tenggorokannya. Sebab kini, lidah Jibran sudah siap menumpahkan segala hal yang ia tahan setelah menyinkronkan pikiran dengan hatinya.
Tak peduli dengan akibatnya, tak peduli dengan respons yang Eila berikan padanya, Jibran tetap ingin mengatakan hal ini pada Eila agar wanita itu tahu bertapa berharganya dia di mata Jibran.
“Eila ….”
Eila yang tengah memainkan ponselnya langsung memberikan seluruh atensinya pada Jibran. “Iya?”
“Bagi aku, kamu sama properti itu beda. Kamu lebih dari itu.”
Tak ada ekspresi berarti apalagi seulas senyum dari wajah Jibran, tapi Eila merasa keberadaannya begitu dihargai.
“Thanks, I guess.”
Eila menggigit bibirnya, berharap pipinya tidak menunjukkan warna alami akibat malu.
“Boleh aku ngakuin sesuatu sebelum Trian sama Natta ke sini?”
Eila memberikan izin tanpa berpikir aneh-aneh. Ada jeda sejenak karena Jibran masih perlu mempersiapkan diri untuk membuat pengakuan terbesarnya. Pengakuan yang ia rencanakan setelah menyelesaikan segala urusannya, kini dipercepat karena Jibran tak mampu menahan dan pura-pura seakan tidak ada apa-apa dalam dirinya.
Jibran menelan salivanya susah payah, mengumpulkan berjuta-juta nyali, hingga rangkaian aksara itu ia lisankan dengan netra yang fokus tertuju pada Eila seorang.
“Mungkin kamu nggak akan percaya ini, tapi alasan aku minta bantuan ke kamu bukan semata-mata karena adiknya Trian. Aku minta bantuan karena kita pernah satu sekolah, aku pernah lihat kamu main drama, dan kamu orang yang aku suka itu, Eila.”