Pulang

cw // harsh word

Suara pintu utama yang ditutup dan dibuka terdengar dari kamar tempat Zanitha sedang berbaring nyaman dalam sepinya. Biasa ditinggalkan oleh Tara yang pergi ke rumah Liona dengan alasan menghampiri Charity, membuatnya tidak berselera untuk menghuni ruangan lain setelah memasuki sore hari. Toh, tidak ada Tara yang perlu dia urus makan dan minumnya, atau diajak berbincang soal pekerjaannya hari ini, apalagi bemesraan layaknya pasangan suami istri yang bahagia. Zanitha juga sudah makan lebih cepat dari jadwal biasa, jadi bisa santai dan menikmati kesendirian yang sudah biasa dia jalani setiap kali Tara pergi.

Hari ini harusnya sama karena Tara sendiri yang meminta izin untuk pergi ke rumah Liona, tapi ketika ada langkah kaki yang mendekat, suasana jadi lain karena yang pergi telah kembali hadir. Sayang, tidak menarik minat Zanitha untuk menyambut hadirnya Tara, apalagi setelah meledak di chat yang dia yakin membuat suaminya marah ketika membaca.

Zanitha tentu khawatir, tapi berusaha tidak peduli bila Tara sekarang akan marah karena kata-kata perempuan itu keterlaluan. Sebab jika tidak begitu, Tara tidak akan menyadari ulahnya sendiri yang terlalu sering pergi. Memang bukan ke tempat aneh, bukan ke rumah orang asing, tapi terus meninggalkan Zanitha untuk pergi ke masa yang tidak dapat diterima oleh nalar.

“Zanitha ….”

Suara pria yang begitu pelan memanggil Zanitha. Bisa dilihat Zanitha tidak bergerak di dalam selimut ketika Tara terus mendekat dan berakhir duduk di tepi kasur.

“Aku pulang, Sayang.”

Panggilan mesra itu tidak meruntuhkan pertahanan Zanitha yang masih mengurung diri setelah gagal tidur nyenyak. Saat tangan Tara mulai membelai selimut yang membungkus sang istri, Zanitha tetap bergeming.

“Kamu udah makan? Aku belum.”

Tidak ada kemarahan dari nada bicara Tara, malah hati-hati sekali demi membujuk Zanitha yang sudah tidak mampu menghadapi tingkah suaminya. Hanya satu tingkah, lalu dibarengi kebohongan, hingga membuat lelah.

“Makan bareng, ya. Aku udah beli biar kamu nggak capek masak.”

Tara menarik selimut Zanitha pelan untuk membebaskan sang istri dari udara tipis selama bersembunyi di sana. Zanitha terjaga, matanya menatap kosong ke arah lantai ketika Tara menemukannya. Hati-hati Tara raih tubuhnya, membawa Zanitha yang tidak bertenaga untuk duduk, lalu membantunya berjalan keluar dari kamar untuk makan malam. Di ruang makan, Zanitha duduk dan masih membisu selama Tara menyiapkan alat makan. Tak lupa menuangkan dua gelas air untuk Tara dan Zanitha yang diletakkan di hadapan kursi masing-masing.

Saat makan malam siap, Zanitha tidak tergugah untuk makan. Bukan karena dia sudah makan sebelum mengurung diri, tapi belum mau berhadapan fisik bersama Tara yang berusaha menarik hati. Tara rapikan rambut panjang Zanitha dan mengumpulkannya menjadi satu, lalu menguncirnya menggunakan ikat rambut yang dia ambil sebelum memulai makan malam. Selain untuk memudahkan Zanitha ketika makan, Tara pun bisa melihat rupa Zanitha lebih jelas.

Istrinya tampak murung, tapi Tara mengerti dan tetap berusaha membujuk. Tara menggeser kursi agar lebih rapat dengan Zanitha, lalu duduk di sana tanpa mau melepas pandang dari sang istri yang tatapannya makin kosong dan jauh. Tara elus pipi kiri Zanitha, ingin meredakan durja yang muram akibat ulahnya.

“Makan ya, Sayang. Ini aku udah pulang.”

Zanitha sontak menoleh dan suguhkan tatapan nyalang yang sedikit membuat Tara gentar ketika melihatnya. Napas Zanitha seketika memburu, energinya timbul tanpa mampu dibendung. Bukan energi yang baik karena Zanitha keluarkan untuk memaki Tara lagi.

“Kamu emang harusnya pulang ke sini. Dari lama harusnya ke sini. Enggak usah nunggu aku marah dan tahu kelakuan kamu dulu buat pulang. Harusnya kamu inisiatif sendiri, Tara.”

Tidak ada panggilan mesra seperti di chat, tidak membuat Tara marah karena sadar dia yang harus mengalah. Beberapa tahun lalu dia mudah meledak setiap bertengkar dengan Liona, hingga mereka memutuskan usai karena sadar tidak bisa melunturkan ego masing-masing.

Sekarang ketika pertikaian kembali hadir di usia pernikahan yang masih belum menginjak setahun, Tara tidak mau mementingkan ego dan mendengarkan setiap keluhan Zanitha yang menyalahkannya. Toh, Tara pantas mendapatkan itu setelah berbohong seperti seorang pengkhianat.

“Kenapa kamu bohong?” tanya Zanitha sengit, membutuhkan seluruh penjelasan yang bisa diterima oleh nalar.

Tara raih tangan Zanitha yang mengepal erat, berharap selama mendengar penjelasannya tidak akan ada yang menghindar. Sekaligus meyakinkan Zanitha bahwa segala ulah dia tidak mengubah apa pun yang Tara rasakan untuk istrinya.

“Kita hampir berantem karena kamu marah setelah janji dinner yang aku batalin gara-gara di rumah Liona. Terus kamu jadi seneng setelah Chaca di sini dan aku pun nggak ke mana-mana setiap malam selama seminggu penuh. Waktu … Liona minta tolong, aku nggak bisa nolak, tapi nggak mau bikin kamu kecewa lagi. Makanya aku milih bohong dan udah janji sama diri sendiri setelah Chaca sekolah, aku nggak akan ke rumah Liona lagi kecuali pas waktunya sama Chaca. Aku … baru minta izin tadi karena nggak mungkin pake alasan lembur lagi. Terus ternyata kamu udah tahu duluan dan sekarang aku nyesel banget. Maafin aku, Zanitha.”

Tara ingin mengecup punggung tangan istrinya, tetapi berusaha ditarik menjauh oleh Zanitha yang enggan bersentuhan fisik terlalu intens. Setidaknya untuk sekarang. Permintaan maaf Tara dan raut wajah penuh sesal itu tidak meruntuhkan pertahanan Zanitha yang telanjur kecewa. Mau alasannya untuk Charity, kebohongan Tara tetap sulit dimaafkan.

“Setiap Liona minta tolong, kamu ada nggak … sekali aja … mikirin aku? Khususnya waktu ngebohong.”

Tara menelan salivanya susah payah, lidahnya kelu tak mampu menjawab. Reaksi itu makin menciptakan luka di batin Zanitha, merasa dirinya makin tidak dianggap karena sebelum muslihat Tara tercium, sang istri tidak pernah dipikirkan secara serius.

“Kamu takut aku kecewa karena terlalu sering ke rumah Liona, padahal ngebohong gini bikin aku jadi ragu sama perasaan kamu, Tara.”

Tara menggeleng cepat dan kini merangkum wajah Zanitha agar melihat kesungguhan hati melalui mata sang pria. Tidak berubah, selalu mencintai Zanitha sejak mereka masih memasuki masa kasmaran.

“Jangan ragu,” lirih Tara, “aku tetep buat kamu.”

“Terus kenapa kamu nggak mikir dua kali sebelum pergi? Aku kira kamu bakal berubah setelah aku hamil, ternyata malah lebih parah. Kamu pembohong! Kamu berengsek! Aku benci pernikahan kita harus ditambah kebohongan.”

“Iya, aku emang berengsek. Katain aku aja, tapi jangan raguin perasaan aku, ya.”

Mana bisa Zanitha begitu jika bukti terlalu kuat menunjukkan bahwa Tara tidak bisa adil antara yang dulu dan sekarang? Sekali berbohong, ke depannya mungkin akan sama. Zanitha tidak mau menerima kenyataan seberat itu. Sekarang Tara tidak berhenti mengucap kata maaf seraya memeluk Zanitha yang kembali tidak berdaya, tengah mengisi energi yang hilang terlalu cepat akibat luapan kata buruk untuk suaminya.

Tara cium kedua pipi Zanitha, mengungkapkan rasa yang sedang diragukan. Tidak mau kehilangan kepercayaan yang Zanitha berikan sejak mereka mulai memadu kasih, sekaligus mempertahankan hubungan yang tidak boleh gagal untuk kedua kali.

“Aku sayang kamu, Zanitha. Aku beneran sayang kamu.”

Tara terisak, terdengar putus asa saat Zanitha tidak goyah. Zanitha justru mendorong Tara menjauh, berdiri setelah bebas dari kurungan lengannya, lalu pergi meninggalkan ruang makan untuk kembali ke persembunyian. Tara tidak diam. Dia segera mengejar istrinya hingga ke kamar sebelum pintunya ditutup dan dikunci oleh Zanitha.

Mendapati dirinya gagal melindungi diri, Zanitha melempar bantal tepat ke tubuh Tara yang membiarkan dia jadi sasaran empuk dari serangan istrinya.

“Kamu lagi hamil. Tenangin diri dulu,” bujuk Tara sambil mendekat.

“Kamu tahu aku lagi hamil, tapi kenapa nggak mikir sebelum bohong, hah?!” Zanitha membentak dan jantungnya bertalun dahsyat seakan ingin meledak bila kendali dirinya sudah hilang. “Sekarang kamu pulang karena ketahuan bohong, ‘kan? Bukan bener-bener peduli sama aku atau minimal anak kita. Seandainya nggak ketahuan, kamu bakal ke sana lagi, pulang tengah malam, terus mungkin ada kebohongan lain setiap mau ke sana.”

“Itu nggak mungkin, Zanitha. Aku janji nggak akan bohong lagi.”

“Apa jaminannya?” tanya Zanitha sedikit menantang. “Aku hamil aja nggak jamin kamu berhenti berulah. Terus kalau dipikir-pikir, alasan minggu lalu kamu bisa selalu ada tiap malem karena ada Chaca di sini. Setelah Chaca pulang, kamu langsung bohong dengan bilang lembur padahal ke rumah Liona.”

Zanitha menjeda untuk mengelus perutnya yang dirasa mual dan perih. Tenggorokannya pun sakit karena bicara terlalu keras tanpa memperhitungkan efek yang diberikan. Tara ingin kembali mendekat untuk membantu Zanitha meredakan sakit ketika perutnya tidak berhenti dielus, takut terjadi sesuatu pada anak mereka yang masih rentan dan harus dijaga ekstra.

Namun, Zanitha menggeleng karena untuk saat ini dia tidak butuh perlindungan apa-apa, dia hanya ingin bicara sampai tuntas. Gelengan itu menghentikan Tara dan tetap bergeming di tempat, membiarkan Zanitha bicara sampai selesai.

Setelah mualnya mereda, Zanitha berkacak pinggang dan berusaha bicara lebih tenang. Jangan minta Zanitha untuk berpikir jernih, karena bisa sabar sedikit saja sudah sangat bagus.

“Aku selalu ngerti Chaca anak kamu. Aku sayang dia,” ucap Zanitha merendahkan volume suara agar tenggorokannya tidak makin perih. “Tapi sekarang jadi ragu kamu bakal peduli sama anak kita kalau ke aku aja belum bisa adil.”

Lutut Zanitha tiba-tiba lemas. Tubuhnya mendarat di tepi kasur sebagai penopang agar setidaknya Zanitha masih bisa mempertahankan diri selama bicara.

“Aku selalu siap nikah di umur segini, mau itu sama kamu atau bukan. Tapi kalau rumah tangga kayak gini yang kamu kasih, aku nggak yakin bisa tahan.”

Tara tidak mau diam diri lagi. Dia mendekati Zanitha dan berlutut di hadapannya. Tara berlinang air mata, iba dan menyesal melihat Zanitha yang tersiksa akibat ulahnya.

“Aku bakal berubah. Aku janji. Aku nggak akan begini lagi, Zanitha. Beneran … janji.”

Gagap di akhir kalimat sebab Tara tidak mampu membendung tangis. Dia bersimpuh dan memeluk lutut Zanitha sebelum kabur tanpa sempat dikejar. Zanitha belum juga luluh, masih terlalu kecewa dengan nasib yang dia terima sepanjang pernikahan.

Teringat lagi bagaimana Tara begitu manis di masa mereka pacaran, selalu ada untuk Zanitha bahkan saat tidak membutuhkan bantuan. Waktu yang mereka habiskan saat masih pacaran bahkan lebih banyak dibandingkan setelah menikah. Tidak ada alasan Charity yang mengganggu waktu temu. Zanitha dijadikan pusat dunia Tara yang kembali mencinta setelah gagal dan menduda.

Setelah menikah, kenangan manis itu hanya jadi bayangan pahit karena tidak bisa dimiliki lagi. Tara berubah hanya dalam waktu singkat, membuat Zanitha merasa jadi yang kedua, bahkan kadang seperti pajangan yang dilihat saat dibutuhkan. Hanya karena masalah kecil yang berulang, Zanitha hampir menyerah.

“Sekarang aku tahu kenapa hubungan kamu sama Liona nggak berhasil,” ucap Zanitha lemas. “Apa harus kita—”

No,” Tara menyambar. Matanya merah dan pipinya basah akibat air mata ketika mendongak untuk menatap Zanitha. “Jangan ngomong gitu. Jangan … aku nggak mau ditinggalin kamu.” Tara tersedan-sedan sambil menggenggam pergelangan tangan Zanitha yang dipangku di atas pahanya. “Tolong … jangan …. Jangan ke mana-mana.”

Seperti ada yang meninju ulu hati, perih yang Tara rasakan bukan main. Tubuh yang seringnya berdiri tegak itu kini lemah di hadapan Zanitha, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan oleh sang ibu padahal hanya pergi ke depan. Tidak semata-mata takut gagal, Tara juga takut Zanitha pergi tanpa mau kembali ke pelukan. Tidak ada sedikit pun niat jahat, tapi Tara sadar tindakan dia sangat fatal.

Zanitha katupkan bibir, dia pun tidak mampu mengikrarkan kata pisah karena masih ingin berjuang, tapi takut jika harus tersiksa akibat hal sama. Bermenit-menit kemudian tidak ada satu aksara pun yang dilisankan baik oleh sang Adam dan Hawa. Mereka menangis bersama sebagai pemberi dan penerima luka. Salah satunya takut ditinggalkan, tapi terlalu sering meninggalkan. Satunya lagi sering ditinggal pergi, tapi takut memisahkan diri.

Ditampar oleh realitas besar soal rumah tangga yang tidak mudah, bahkan bagi Tara yang sudah dua kali hidup di dalamnya. Namun, jika timbal balik gagal didapat, apa masih berhak untuk bertahan?