Record
2,2k Kata. Enjoy ^^

Para pemain, staf, kritikus, investor, aktris yang didampingi perwakilan agensi, dan penonton yang beruntung telah memasuki teater untuk sesi screening film Perfect Wife. Jibran, Kalani, dan Samuti Rakha duduk di deretan tengah bersama jajaran pemain lain yang tidak sabar untuk menonton hasil dari kerja keras mereka.
Di bagian operator, sang projectionist ditemani oleh Trian yang telah diajak bekerja sama untuk menayangkan sesuatu menuju akhir film. Projectionist tersebut tidak menaruh curiga saat Trian mengatakan ini kejutan untuk penonton, jadi dia menyanggupi perintah dari manajer Jibran tersebut. Setelah sambutan dari Samuti Rakha selaku sutradara dan produser, film berdurasi dua jam itu akhirnya ditayangkan dan para penonton mulai menikmatinya.
Para kritikus serius menonton, berusaha menilai secara objektif dari segi akting dan alur cerita yang disajikan. Dari semua jajaran pemain yang andal, akting Jibran jadi perhatian mengingat ini film romansa pertamanya dan banyak yang menaruh ekspektasi di dalamnya. Beruntung, sejauh ini penilaian yang diberikan sangat baik dan penonton berhasil larut dalam karakter manis Jeremy.
Kalani yang duduk di samping Jibran tiba-tiba meraih tangan pria itu dan menggenggamnya erat. Jibran yang fokus menonton lantas menoleh dan mendapati Kalani tersenyum manis, layaknya wanita yang kasmaran dan bangga dengan dirinya serta Jibran. Sang aktor hanya tersenyum seadanya, lalu kembali memusatkan atensinya pada film yang masih tayang.
Kalau boleh jujur, Jibran merasa geli melihat aktingnya sebagai pria romantis. Bukan karena jelek—sebab jika boleh percaya diri, Jibran merasa aktingnya sangat bagus—melainkan aneh melihatnya sok manis pada lawan main. Namun, rasa geli itu berubah jadi kebanggaan saat reaksi-reaksi positif berupa tawa dan sorakan kecil terhadap beberapa scene, yang artinya akting Jibran berhasil menggetarkan hati para penonton dan merasa ekspektasi mereka terpenuhi.
Di babak terakhir film para penonton tersentuh saat adegan Anata yang diberi restu oleh ibu Jeremy, beberapa bahkan Jibran tangkap sedang menangis dan menyeka air mata. Dari reaksi-reaksi itu, Jibran amat yakin ekspektasi penonton hampir seratus persen terpenuhi.
Sampai saat memasuki adegan terakhir, layar teater tiba-tiba mati dan membuat heran para penonton yang merasa digantung. Jibran tetap tenang karena rencananya akhirnya berjalan, berbanding sekali dengan Kalani dan Rakha yang panik tapi masih berpikir ini adalah kesalahan teknis semata. Begitu layar kembali menyala, semua penonton akhirnya bisa lega. Namun, kelegaan itu digantikan oleh kerutan di dahi saat yang terdengar hanya rekaman suara.
“Saya tahu kita lagi fokus makan, tapi gimana kalau sambil omongin sesuatu yang udah jadi rencana lama? Supaya makan malamnya nggak tegang.”
“Boleh sekali, Bu. Adik saya juga kelihatan nggak sabar mau cepet bahas hal ini.”
“Bu Mia, sebelumnya boleh saya memperkenalkan diri dulu di depan Jibran? Dia udah kenal saya sebagai sutradara, jadi kali ini saya mau kami saling kenal sebagai sosok lain.”
“Silakan aja, Pak Rakha.”
“Jibran, kenalin. Saya Samuti Rakha, papanya Kalani, perempuan yang mau dijodohin sama kamu. Di sebelah Kalani ini ada Timon, dia omnya Kalani, terus di samping Timon ada Aiden, anak sulung saya dan kakaknya Kalani.”
Suara orang tua Jibran—yang sudah dapat izin untuk dimasukkan—suara Aiden, dan suara Samuti Rakha saling bergantian di rekaman. Awalnya percakapan biasa, tapi berubah geger ketika Rakha memperkenalkan diri sebagai ayah dari Kalani. Makin geger lagi saat sesuatu yang besar kembali dibongkar hingga Kalani dan Rakha panik di tempat.
“Saya udah nyiapin film Perfect Wife sejak lama untuk anak saya, Kalani, yang jadi inspirasi sosok Anata Hapsari. Jauh sebelum ada perjodohan ini, saya udah latih Kalani untuk berperan sebagai Anata, dandan kayak Anata, karena itu dia sempurna. Setelah perjodohan ini dimulai, saya belum kepikiran untuk jadiin kamu lawan main Kalani. Sampai ketika mama kamu mau batalin perjodohan, saya nggak bisa diam aja dan ancam dia dengan bawa-bawa kamu.”
“Jadi, Anda yang ngasih ide untuk jatuhin karier saya dengan buat kabar hoax? Anda kerja sama dengan Mister Timon yang diajak sama seseorang untuk bikin kabar itu.”
“Kamu bener banget, Jibran. Lewat orang CelebStat, Timon diajak untuk ngasih kabar buruk soal kamu. Sayangnya Timon nggak setuju, kecuali soal perjodohan. Akhirnya saya pake alternatif lain, yaitu nawarin kamu main film ini lewat Timon. Apalagi saya tahu kamu mau keluar dari Punch, dan Timon setuju film itu akan jadi syarat supaya kamu keluar, sedangkan untuk saya iu adalah cara supaya kamu dekat sama Kalani.”
“Jadi, dari awal udah ada kecurangan,” ketus Jibran. “Enggak heran akting dan penampilan dia yang paling baik di antara yang lain.”
“Itu strategi, Jibran. Toh, kamu sendiri yang milih Kalani berdasarkan akting dan performanya. Malah saya sempat takut kamu nggak akan milih Kalani.”
“Tapi itu tetap curang, Pak Rakha. Anda sudah melatih Kalani lebih awal, bikin dia kelihatan kayak Anata Hapsari, yang jelas bikin saya kekecoh. Coba aja Kalani nggak dilatih dari awal, saya nggak yakin dia mampu jadi Anata. Terlebih lagi, saya ragu dia pantas jadi istri saya.”
“Kita pasti cocok, Jibran. Bahkan penggemar kamu juga berpikir hal sama.”
“Berhenti! Matiin sekarang juga!” hardik Kalani seraya berdiri saat suaranya jelas ada di rekaman, tapi tidak ada yang mampu menghentikan operator karena telah dijaga ketat oleh orang-orang Timon. “Jibran, kamu harus bantu aku. Jangan kayak gini.”
Yang dipanggil hanya diam, menulikan rungunya karena tidak peduli asalkan setiap kecurangan dibongkar satu per satu. Rakha mencengkeram kuat tangan Kalani dan memberinya kode untuk duduk kembali. Wanita itu tidak membantah dan menjatuhkan bokongnya kembali ke kursi, sedangkan Rakha yang berusaha tenang meski rahangnya mengetat akhirnya mengambil alih.
“Kalau niat kamu mau menjatuhkan keluarga kami dengan bongkar perjodohan ini, salah banget, Jibran. Ini sama aja dengan pencemaran nama baik.”
Lisan Jibran tetap bungkam dengan mata yang terus menyorot ke arah layar untuk menunggu rekaman lain muncul. Perhatian pun diberikan secara bergantian pada layar dan Jibran serta dua orang yang gemetar takut karena segalanya mulai dibongkar.
Sampai ketika rekaman suara Timon muncul yang membeberkan soal kasus suap terhadap agensi yang aktrisnya lolos sampai audisi ketiga, agar mereka menolak jika akhirnya terpilih memerankan karakter Anata Hapsari, sorakan yang memojok tersangka utama mengisi sunyinya teater. Saat itulah Rakha menarik Kalani kabur untuk menjaga putrinya, tapi tidak ada satu pun yang mengejar termasuk Jibran.
Sebab saat dua orang itu sudah hampir tiba di pintu keluar, ada empat orang polisi yang langsung menahan mereka disaksikan oleh ratusan penonton di teater. Rakha dan Kalani tidak dibiarkan kabur atau dibawa keluar, karena Jibran ingin mereka melihat semua rekaman sampai selesai.
“Rakha yang hubungi saya secara langsung dan penyuapan diberikan ke perwakilan saya. Dia ngancam akan bawa skandal besar untuk semua aktris saya, bahkan jelasin secara rinci skandal apa aja yang akan dia bawa ke publik kalau saya menolak disuap. Karena nggak mau aktris saya kenapa-napa, saya terpaksa nerima.”
“Saya juga, Timon. Kami bisa aja bertindak tegas, tapi Rakha punya bukti kuat untuk skandal itu. Setiap skandal bisa berdampak jangka panjang.”
“Tapi apa tiap aktris yang ada di agensi kalian tahu akan hal ini?” Suara Jibran ikut mengudara dari rekaman, menanyakan hal penting pada empat perwakilan dari tiap agensi yang disuap oleh Rakha.
“Cyntia tahu setelah audisi selesai. Dia awalnya nggak nerima, tapi nggak bisa apa-apa juga setelah dikasih tahu skandal apa yang akan dituduhkan ke dia.”
“Anya juga sama. Dia udah hampir mau nuntut, tapi buktinya terlalu sedikit dan Anya pasti bisa kalah.”
“Makanya kami makasih banget karena kamu sama Timon mau ngurus hal ini.”
“Bener. Walaupun aktris kami nggak kepilih, setidaknya kecurangan dalam film ini harus diungkap supaya nggak ada lagi korban.”
Suara Timon menjadi final di rekaman pertemuannya bersama Jibran dengan perwakilan empat agensi. “Saya sama Jibran bakal bantu sebisa mungkin. Jadi, saya berterima kasih karena kalian mau menjawab jujur.”
Rekaman berganti pada suara Jibran yang menemui tiap pemain film Perfect Wife untuk memberi tahu mereka terkait kecurangan yang dibuat oleh Rakha. Berdasarkan rekaman itu, semua pemain kecewa karena kecurangan yang dilakukan Rakha dan Kalani sudah merugikan banyak pihak. Audisi yang tidak murni, ancaman besar, sampai adanya korban demi memenuhi keinginan pribadi.
Sampailah pada rekaman suara percakapan Kalani dan Eila, membuat sang aktris utama mendadak lemas hingga nyaris tidak mampu berdiri jika saja tidak ada polisi yang menahannya. Dari percakapan yang menjadi puncaknya itu, mayoritas bingung siapa Eila, tapi sedikit terjawab bahwa rupanya hubungan Jibran dan Kalani hanya sandiwara—bahkan banyak yang diam-diam menyimpulkan bahwa Kalani telah merebut Jibran dari Eila berdasarkan percakapan itu.
Di rekaman terakhir, semuanya syok. Sebab di rekaman yang tidak pernah Kalani dan Rakha duga, seorang tersangka rencana penusukan Eila akhirnya terbongkar.
“Saya masih di dalam, tapi dia udah keluar … Saya nggak peduli mau rame atau nggak, kamu harus jalanin sesuai rencana yang saya suruh … Terserah tusuk dia bagian mana aja, yang penting dia nggak ganggu saya sama Jibran … Kamu orang profesional, jadi harusnya bisa kerja di keramaian … Tunggu aja, mungkin dia ke toilet, makanya belum kelihatan keluar … Itu gimana kamu mau nusuk dia sampai mati atau gimana, saya nggak peduli … Ya, kalau dia mati, saya bakal bayar kamu lebih.”
“Gila! Kalani!”
“Sumpah, sih. Kalani jahat banget sampai bikin rencana gitu.”
“Itu bukan dia!” sangkal Rakha demi membela putrinya saat diolok-olok oleh beberapa penonton. “Anak saya nggak gitu. Saya sama Kalani dijebak!”
“Anda yang sudah berbuat curang, Pak Rakha!” Jibran berdiri dan bicara lantang hingga menjadi pusat perhatian semua orang yang masih syok dengan rekaman yang ditayangkan. “Semuanya udah terbongkar, jadi Anda nggak bisa nyangkal termasuk kasus Kalani.”
“Kamu bikin saya dan para pemain rugi demi keuntungan sendiri, Jibran!” Rakha masih melawan sambil berusaha melepaskan diri dari tahanan dua polisi di sisi kanan dan kirinya.
“Sesuai yang ada di rekaman, semua pemain udah setuju untuk membeberkan hal ini. Semua yang ada di rekaman dan merasa dirugikan oleh Anda sudah menandatangani perjanjian di atas materai sebagai bentuk persetujuan. Jadi, saya lakuin ini bukan untuk keuntungan pribadi, tapi demi keadilan pihak-pihak yang dirugikan.”
Rakha memandang jajaran pemain yang duduk di deretan sama dengan Jibran. Semuanya mengangguk sebagai pembenaran, berada di pihak Jibran yang sudah menghubungi para pemain lebih dulu sebelum melancarkan aksinya.
Seakan tidak menyerah, Rakha tetap mencari pembelaan untuk dirinya dan Kalani, serta mencari kesalahan atas tindakan Jibran. “Rekaman anak saya itu pasti editan. Kalaupun bener, nggak sopan rekam secara diam-diam begitu.”
“Malah bagus kali direkam.”
“Iya, jadi kebongkar jahatnya gimana.”
“Pinter sih cewek yang namanya Eila, walaupun gue nggak tahu yang mana dalam hidup Jibran.”
Saat bisik-bisik tetangga menciptakan sedikit kegaduhan di dalam teater yang lampunya sudah dinyalakan, ada rekaman lain yang membuat keadaan teater kembali hening. Kali ini rekaman video punggung seseorang yang tengah duduk di kursi roda, sedangkan di hadapannya ada penyidik yang duduk di sofa—lokasi yang familier sebab tiap malamnya Jibran berada di sana.
Tunggu! Apakah itu …. Astaga! Jibran terduduk lemas melihat punggung wanita yang berusaha tegar, menunggu diberi pertanyaan oleh penyidik yang masih menyiapkan alat perekam suaranya. Benar, itu Eila—yang entah sejak kapan sudah sadar.
“Sebelumnya boleh saya tahu kapan Anda sadar?”
“Saya sadar seminggu sebelum Jibran mulai promosi film. Jibran sama sekali nggak tahu saya udah sadar, soalnya dia datang pas malam setelah saya tidur, terus pulang sebelum saya bangun.”
“Apa hubungan Anda dengan Jibran?”
“Mungkin Anda nggak akan percaya, tapi sebelumnya kami pacaran. Tepatnya di masa-masa audisi film baru dia. Kami putus karena Jibran mau dijodohin, terus bisa baikan setelah tahu orang yang dijodohin sama Jibran dan keluarganya nggak terlalu baik. Saya tegasin sekali lagi kami cuma baikan, bukan balik pacaran. Sampai sekarang Jibran nggak tahu saya sadar, karena saya larang orang-orang ngasih tahu supaya Jibran fokus sama promosinya.”
Tenggorokan Jibran terasa perih akibat susah payah menahan tangis mendengar suara Eila setelah sekian lama tidak dia temui. Well, sebenarnya Jibran pun marah karena dia tidak diberi kabar perihal sadarnya Eila. Namun, alasan yang dibeberkan Eila masih bisa Jibran terima, dengan catatan dia akan menyalahkan orang-orang secara rahasia karena sudah menipunya.
“Siapa orang yang pertama dan terakhir dihubungi?”
“Saya chat Jibran untuk ngasih tahu mau ketemu Kalani. Handphone saya sekarang nggak ada, mungkin dibuang atau gimana, saya juga nggak ngerti. Tapi chat saya sama Jibran, bahkan sama Kalani sebelum kami ketemu ada di email saya. Nanti bisa saya kasih. Setelah ketemu sama Kalani, saya telepon adik saya. Saat telepon itu kejadiannya berlangsung dan setelahnya saya udah bangun di rumah sakit.”
“Lalu kenapa Anda merekam percakapan Anda saat bertemu dengan Kalani?”
“Beberapa waktu sebelum ketemu, Kalani chat saya dan nyuruh untuk jauhin Jibran. Dari chat itu, saya berinisiatif untuk rekam percakapan saya sama Kalani untuk jaga-jaga. Enggak lama ngobrol, saya milih pulang karena obrolan kami udah nggak baik. Tapi karena saya rasa masih harus ngobrol sedikit untuk minta maaf udah nyinggung dia, makanya saya balik lagi. Pas saya buka sedikit pintu private room-nya, saya denger Kalani ngobrol sama seseorang di telepon. Karena kedengeran serius, saya rekam dan nggak nyangka ada nama saya dan rencana penusukan di situ. Setelah cukup ngerekam, saya kirim rekaman itu ke email adik saya, terus keluar dari tempat pertemuan dan telepon adik saya. Selanjutnya udah saya jelasin di pertanyaan sebelumnya, ya.”
Terungkap sudah bagaimana caranya Eila mendapatkan rekaman percakapan Kalani yang menjadi bukti bahwa dia bisa menjadi salah satu tersangka. Jibran tidak mendengarkan rekaman selanjutnya, sebab fokus utamanya saat ini adalah segera dipertemukan dengan Eila. Jibran bahkan tidak menyadari Kalani sudah menangis dan berusaha ditenangkan oleh ayahnya.
Tidak peduli juga saat Rakha memakinya dari kejauhan sembari dibawa dari teater. Kegaduhan kembali mengisi sepi setelah rekaman selesai, kelegaan dari jajaran pemain lain, aktris yang tidak terpilih, serta perwakilannya pun ikut melegakan sesi screening yang tidak pernah diduga akan diberi kejutan hebat.
Namun, dari semua yang hadir, Jibran menjadi korban pertama sejak awal munculnya rencana film ini jadi bisa istirahat se—oh, tidak! Jibran justru berdiri dan menuruni anak tangga untuk keluar dari teater. Mengabaikan kehebohan di belakangnya, Jibran memilih pergi menuju tujuan utamanya; Ardania Eila Mahadarsa.