Red
“Kamu suka gaunnya?” Martin bertanya sembari mengelus pinggang Martha ketika sang istri sedang menyiapkan makan malam—kebetulan Martin pulang cepat—sedangkan pria yang mengenakan kacamata itu duduk manis di kursi menanti makan malam siap. “Aku beli itu sambil mikirin kamu, lho. Aku yakin bagus banget waktu dipake sama kamu.”
Martha tersenyum tipis, sesungguhnya ragu dengan gaun yang dikirim Martin tadi siang karena tanpa dicoba saja sudah pasti akan tampak buruk ketika dikenakan. Well, mungkin itu pikiran buruk Martha saja akibat telanjur pesimis dengan desainnya, padahal bisa saja benar bagus ketika sudah dikenakan.
“Gaun warna merahnya cukup … menarik,” ucap Martha, tidak bisa memberikan pujian berlebihan untuk gaun itu.
Tak tersinggung, Martin malah tertawa sembari menarik wanitanya agar lebih dekat. Martha berpegangan pada sandaran kursi selagi Martin tidak henti mengelus pinggangnya seduktif, lupa ada Markus di sampingnya yang sedang duduk di high chair menunggu makan malam siap.
“Dresscode-nya merah, terus aku beliin warna yang pas kok buat kamu. Tenang aja, pasti kamu nyaman waktu pake.”
Martha sebenarnya skeptis dengan kata nyaman, sebab melihat gaun merah itu saja sudah membuatnya tubuh merinding memberikan penolakan nyata. Itu adalah tanda yang tidak baik, tetapi niat Martin tidak bisa Martha tolak. Martin membeli gaun itu sembari memikirkan Martha, bukan bersamanya. Maka wajar bila ada ketidakcocokan sesaat karena Martha tidak memilihnya secara langsung, bukan berarti pula itu sangat buruk.
Tidak ingin membuat Martin kecewa karena mengira Martha menolak pemberiannya, sang puan membelai pipi suaminya, lantas mengecupnya sebagai ucapan terima kasih tersirat untuk gaun yang dikirim bersama pesan manis sebagai sisipan. Tak cukup di pipi, Martin meraih birai Martha dan menciumnya tepat di sana. Membuainya tiada henti sembari terus memainkan pinggang Martha secara intens.
Ciuman itu baru berhenti ketika Markus tiba-tiba terisak, mengejutkan sejoli yang asyik bercumbu mesra dan lupa ada anak mereka sedang menunggu makan. Martin dan Martha kompak menertawakan Markus yang tiba-tiba menangis akibat diabaikan, memprioritaskan sang tunggal yang tidak bisa merasa sendirian barang sedetik pun.