Rencana Masa Depan

Saat Jibran bilang dia akan datang ke rumah Eila, dia tidak berbohong. Pasalnya dalam waktu hampir satu jam, Jibran sudah tiba di kediaman Eila, bahkan kini tengah berbaring nyaman dengan paha sang kekasih sebagai bantal. Mereka hanya berdua di rumah karena Natta menginap di rumah temannya.
Dia biasa begitu ketika sibuk dengan tugas, sengaja supaya ada teman belajar yang kompeten dibandingkan mengerjakan sendirian. Jadi, Jibran dan Eila bisa menikmati waktu berdua tanpa gangguan.
Berada di ruang keluarga dengan saling membisu, tapi tidak dengan debar jantung mereka yang enggan berhenti bergemuruh. Jibran memejamkan matanya, sedangkan Eila elus surai legam sang kekasih tanpa henti agar bisa tenang.
Setahu Eila, Jibran tidak memiliki banyak schedule setelah audisi ketiga. Namun, rasa lelah itu tetap Jibran alami karena ada banyak pikiran yang mengganggunya—salah satunya soal fakta bahwa sang mama sengaja meminta orang mengikuti kehidupannya.
“Ini … kamu nggak apa-apa?” Kali ini Eila mengelus dahi Jibran yang tiba-tiba mengerut, membuat sang pria membuka matanya dan langsung berhadapan dengan wajah sang dara. “Deket-deket audisi terakhir makin banyak pikiran banget, ya?”
Ingin sekali Jibran mengaku soal dia yang diikuti oleh orang asing atas suruhan mamanya, termasuk malam ini kala Jibran datang ke kediaman Eila. Namun, Jibran tak mau membuat Eila ikut panik dan berujung mengusirnya. Lebih berat lagi, Jibran tidak mau Eila terbebani dengan hubungan mereka. Jadi, ia memilih untuk menutupinya serapat mungkin selama Eila tetap aman.
“Aku belum pernah main film kayak gini, makanya kepikiran bisa akting dengan baik atau nggak.”
“Pasti bisa.” Eila optimis dengan jawabannya. “Pas audisi, kamu udah kasih bukti dengan sedikit akting. Menurut aku, aktor yang keren itu bisa akting dalam durasi lama ataupun singkat, dengan atau tanpa dialog. Waktu itu kamu cuma adegan pelukan aja udah kerasa banget feel-nya, apalagi nanti pas udah akting sepanjang film. Ragu nggak masalah, tapi orang sehebat kamu pasti bisa, Jibran.”
Pujian tak pernah berhenti dilayangkan oleh Eila, selalu menganggap sang kekasih hebat tanpa kekurangan. Padahal Eila menjadi saksi bagaimana kakunya Jibran di awal latihan, tapi tak pernah ia membuat sang aktor merasa buruk dengan akting di film romansa perdananya.
Jibran merasa jadi laki-laki yang paling beruntung, karena perasaannya yang telah lama ia miliki bisa terbalas dan bersatu dengan cinta pertamanya. Ia tak salah memilih Eila untuk menjadi tambatan hati, karena buktinya Eila begitu berarti.
“Aku pernah bilang mau berhenti berkarier. Ingat?”
Eila berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Kalau berhenti, kamu mau jadi apa? Dokter? Atau dosen kayak mama kamu?”
“Aku mau istirahat sekitar satu atau dua tahun. Selama istirahat itu, aku bakal nyusun usaha. Belum pasti usaha apa, tapi pas mutusin untuk berhenti, aku kepikirannya mau buka kafe.”
“Itu jadi keputusan fix?”
“Belum, tapi bisa jadi fix biar buka usahanya bareng kamu. Kamu yang bikin croffle, aku yang racik minumannya.”
Eila tertawa mendengar rencana sederhana Jibran yang melibatkan dirinya. Rencana yang lucu, tapi berhasil membuat Eila ikut membayangkan hal tersebut. Meski nantinya sudah tidak jadi aktor, Eila yakin nama Jibran tidak hilang dalam waktu singkat. Jika Jibran jadi mendirikan kafe untuk usahanya, pasti sukses berkat namanya juga. Eila tidak sabar menantikan masa itu agar rencana Jibran bisa terwujud.
“Aku berdoa semoga Ayah sama Mama bisa restuin kita.”
Suasana berubah sendu ketika Jibran mulai membicarakan orang tuanya. Percakapan santai dan manis jadi tidak menyenangkan karena topik ini terlalu sensitif. Eila sudah pernah beberapa kali terlibat dalam hubungan asmara, tapi dia tidak pernah merasa kesulitan mendapatkan restu. Lantas kini ketika ingat kenyataan yang ada, Eila baru merasakan apa itu rumitnya asmara.
“Ayah sebenernya suka sama hubungan kita, cuma karena beliau udah janji soal dijodohin itu, Ayah nggak bisa sembarangan.”
Eila cukup senang mendengarnya. Setidaknya hubungan mereka tidak sepenuhnya ditentang pihak keluarga Jibran.
“Kalau emang nggak bisa dipaksa, berarti jangan dipaksain, ya.”
“Aku bakal paksain.” Jibran bangkit dari posisinya dan duduk di samping Eila. Ia rangkul kekasihnya dan menatapnya penuh harap. “Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Percuma mereka milih orangnya tapi aku nggak mau sama dia. Jadi, kamu nggak perlu khawatir, aku bakal berjuang sampai kita dapat restu, Eila. Asalkan kamu selalu sama aku.”
Kesungguhan tampak jelas di balik manik hitam yang menatap Eila dalam. Harapan Jibran begitu besar dengan hubungan ini, yang mana Eila pun tak mampu untuk mundur lagi.
Eila sudah menetapkan dirinya untuk maju, maka apa pun yang terjadi, dia harus maju bersama Jibran di sampingnya. Eila elus pipi Jibran, lalu mengecup bibirnya hingga telinga Jibran merah karena tak siap dengan serangan itu.
“Aku pasti selalu sama kamu, Jibran.”