Roadshow

Jika memperbaiki keadaan semudah membalikkan telapak tangan seperti meminta uang atau mendapatkan uang, maka seharusnya para tersangka bisa bebas dengan suapan yang mereka berikan pada pihak-pihak berwenang.
Well, sebenarnya niat itu ada, negosiasi juga sempat dilakukan Rakha agar dia, dua anaknya, dan orang-orangnya bisa bebas dari segala tuduhan sebelum ketuk palu dilaksanakan. Namun, negosiasi berhasil digagalkan oleh Jibran dan Timon yang sudah lebih dulu beraksi agar pihak berwenang tidak terbuai dengan segala suapan, tidak lupa dibantu oleh para korban yang sudah mengembalikan uang suapan Rakha.
Sebagai orang yang pernah curang, langkah Rakha dan orang-orangnya sudah terbaca sejak dini. Maka dengan cara cepat pula Jibran usahakan semua keadaan tetap berjalan menuju penghakiman tanpa ada kebebasan sebelum waktunya. Jibran yakin Rakha dan dua anaknya bisa mendekam di sel sebentar saja, mungkin satu atau dua tahun lebih cepat dari seharusnya.
Namun, itu jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Setidaknya meninggalkan gemerlapnya dunia hiburan membuat Rakha, Aiden, dan Kalani bisa introspeksi diri—itu pun bila mereka akhirnya sadar dengan kesalahan, tidak digelapkan oleh gengsi dan kekuasaan.
Enam bulan berlalu dan kekuasaan yang Rakha miliki runtuh setelah resmi memasuki Hotel Borneo bersama kedua anak dan orang-orangnya. Di saat bersamaan pula, film Perfect Wife bisa kembali ditayangkan berkat usaha Timon dan petisi dari para penggemar yang tetap ingin menonton film tersebut. Tentu dengan konsekuensi film itu tidak akan masuk ke jajaran nominasi penghargaan apa pun dengan segala kontroversinya, serta hanya diizinkan tayang selama 2 minggu.
Meski begitu, izin tayang tetap menjadi bayaran setimpal untuk penantian penonton yang sangat ingin melihat aksi Jibran dengan karakternya yang berbeda. Maka di sinilah Jibran sekarang, di bioskop sebuah mal bersama para pemain lain untuk melakukan roadshow dan nonton bersama sebagai bagian dari kejutan.
Menjelang film dimulai dan penonton telah duduk di kursi masing-masing, Jibran masuk dan mengejutkan seluruh penonton yang heboh karena tidak menyangka akan didatangi oleh jajaran pemain film Perfect Wife.
“Halo,” sapa Jibran seraya melambaikan tangannya yang dibalas dengan heboh, khususnya para kaum hawa yang telah menyiapkan ponsel untuk mengabadikan momen langka tersebut. “Gimana kabar kalian hari ini?”
“Baik!”
“Good. Aku seneng banget karena semuanya dalam keadaan baik dan makasih banget udah nyempetin waktu buat nonton film Perfect Wife, ya. Sebelumnya aku dan jajaran pemain lain minta maaf atas keterlambatan penayangan filmnya karena masalah yang terjadi, tapi kami berharap banget kalian bisa enjoy dengan cerita yang dikasih.”
“Pasti enjoy!”
“Aku udah nggak sabar, Kak.”
“Kak Jibran ganteng banget, ya ampun!”
“Kak, please marry me.”
“Filmnya pasti bagus!”
Beragam respons dari para penonton memecah kesunyian teater, berusaha mencuri perhatian sang aktor utama yang jadi pusat perhatian dengan visual dan pesona ajaibnya yang memikat. Saat jajaran pemain lain bicara pun responsnya tidak kalah heboh, tapi tidak dapat dipungkiri atensi yang Jibran terima jauh lebih banyak.
Sesi foto dilakukan bersama para penonton, lalu dilanjutkan dengan menonton bersama. Jajaran pemain duduk di row G sambil harap-harap cemas karena ini hari pertama film Perfect Wife ditayangkan. Beruntung kecemasan itu luntur berkat reaksi penonton yang tidak dilebih-lebihkan di tiap adegannya, sebab secara alami para penonton memuji dalam diam dari segi alur dan akting.
Tentu ada yang ogah melihat wajah Kalani, apalagi di adegan ciuman yang dinanti, tapi semua ditutup oleh rasa puas setelah film selesai dan para penonton berhamburan keluar. Jajaran pemain yang ikut keluar dari bioskop sangat senang dengan reaksi yang mereka dapatkan, tapi kesenangan itu diganti oleh sedikit kericuhan karena kedatangan teman-teman media yang langsung menyerbu mereka untuk diwawancara secara terpisah.
“Jibran, gimana perasaannya pas tahu film Perfect Wife bisa tayang?” tanya salah satu wartawan dan menyerahkan micnya pada sang aktor utama.
“Jelas seneng, ya. Secara filmnya udah ditunggu sama banyak penggemar, sampai-sampai ada petisi juga dari mereka. Terus ceritanya pun bagus dan layak untuk ditonton.”
“Tapi sedih nggak saat tahu filmnya nggak bisa masuk nominasi apa pun dan cuma tayang sebentar?”
“Aku nggak ngerasa sedih, secara itu udah konsekuensi yang harus diambil. Selama penonton bisa enjoy sama filmnya, semua staf dan pemain udah seneng,” jawab Jibran tenang, padahal nyatanya dia gugup karena sudah lama tidak berada di depan kamera dan akan dipublikasi di televisi sampai media online.
“Kalau boleh tahu, keadaannya Eila gimana, Jibran?”
“Iya, gosipnya dia pacar kamu. Boleh kami tahu?”
“Katanya dia punya usaha croffle. Apa itu bener, Jibran?”
Berawal dari satu wartawan, sekarang jadi semua wartawan yang mengelilinginya menanyakan hal serupa. Gara-gara cocoklogi dari penggemar—yang tidak salah juga—Jibran harus siap dihadapkan dengan segala pertanyaan terkait pacarnya yang dia tutup dari publik.
“Dia baik banget, kok. Makasih ya udah tanya.” Dari jawaban itu, secara tidak langsung Jibran mengonfirmasi banyaknya pertanyaan yang dilayangkan untuknya. Meski begitu, masih banyak wartawan yang tidak puas dan saling berebut untuk memberikan pertanyaan terkait Eila.
“Apa sekarang dia di sini, Jibran?”
Dari sekian banyaknya pertanyaan, mempertanyakan keberadaan Eila rasanya seperti tebak-tebak berhadiah karena wanita itu memang ada di sini. Hanya saja jauh dari kerumunan agar kekasihnya tidak terlalu kelelahan.
Berusaha tetap tenang menghadapi segala pertanyaan agar tidak dijebak oleh pertanyaan lain, Jibran akhirnya menjawab, “Ada atau nggak itu bisa diatur, ya. Makasih, temen-temen. Have a great day.”
Jibran bergegas pergi dari kerumunan yang masih mencoba bertanya terkait Eila, tapi beruntung pria itu bisa bebas berkat bantuan Natta yang menjadi asistennya sepanjang roadshow mendatang. Jibran dan Natta bergegas pergi ke area parkir, lalu masuk ke van hitam yang sudah dinanti oleh dua orang di sana; Trian dan Eila.
“Aduh, kayaknya capek banget di dalam, ya,” ucap Eila sembari membantu menyeka keringat di dahi Jibran menggunakan tisu, lalu menyerahkan sebotol air mineral pada kekasihnya dan Natta yang duduk di depan.
Trian yang menyetir bertanya, “Gimana di dalam?”
“Seru banget. Orang-orang suka sama filmnya. Banyak komentar bagus, jadi aku seneng banget bisa nobar gini,” jawab Jibran dengan napas sedikit terengah, tapi cukup lega karena akhirnya dia bisa pulang.
“Tadi Kak Eila ditanyain wartawan mulu, tuh,” adu Natta yang gatal ingin cerita. “Tapi Kak Jibran jawabnya cuma sedikit, takut keceplosan dan bilang ikut kayaknya.”
Eila tertawa antusias mendengar cerita itu. “Oh, ya?”
Jibran mengangguk membenarkan. “Makanya aku keringetan, Eila. Bukan karena nonton, tapi karena wartawan ngejar-ngejar. Ini aja tadi agak lari. Hasil wawancaranya nanti kamu lihat aja di TV atau sosmed, pasti ada.”
Trian terbahak mendengar cerita yang tidak familier di telinganya itu. “Baru kali ini kamu lari dari wartawan. Udah nggak biasa, ya?”
“Banget. Entah aku yang nambah tua atau aku udah nggak cocok lagi di tempat rame.”
Eila terkekeh pelan saat Jibran menyinggung usianya yang sebenarnya masih muda, apalagi dengan penampilannya yang masih cocok berperan sebagai anak kuliahan. “Kamu nggak tua, Jibran.”
Jibran manggut-manggut dan mencium kedua pipi Eila tanpa peduli dua orang di depan. “Iya, kalau di deket kamu rasanya muda terus.”
“Woy! Jangan bermesraan di dalam mobil, ya. Mau aku turunin?” tegur Trian setengah mengancam.
Lain sekali dengan Natta yang malah tersenyum gembira bisa melihat kemesraan sejoli dari dekat. Tentu dia juga geli, tapi jauh lebih senang karena Jibran dan Eila bisa bersama kembali.