Rungu yang Tahu

tw // body shaming

Dari semua makanan yang ada, bagi Martin makanan yang dibuat oleh Martha jadi paling nikmat. Baik itu makanan yang kompleks dan pengerjaan cukup panjang, atau yang sederhana telur mata sapi, rasanya seperti masakan kelas atas. Entah bumbu apa yang Martha masukan di dalamnya, mungkin saja karena Martin terlalu cinta, jadi semua yang diciptakan oleh tangan istrinya terasa luar biasa.

Bila bagi mayoritas orang masakan ibu adalah yang terbaik, tidak bagi Martin karena Wulan kurang pandai memasak jadi tidak pernah melakukannya. Maka untuk konsumsi sehari-hari ketika Martin masih bujang dan belum tinggal di rumahnya sendiri, ada ART yang mengurusnya.

Saking nikmatnya makan siang yang dibuat oleh Martha, Martin selalu memakannya sendiri agar karyawan yang lain tidak memintanya. Di studio ada dua tempat makan. Satu pantry, satunya lagi ruang makan berkapasitas delapan orang di lantai atas studio yang digunakan untuk makan bersama.

Di pantry sendiri ada meja makan berkapasitas tiga orang dengan meja bundar dan Martin memilih makan di sana, memisahkan diri agar tidak ada yang meminta masakan Martha karena sebelumnya pernah jadi bahan rebutan hingga Martin tidak kebagian.

Sekarang Martin bisa damai menikmati setiap suapannya, memuji melalui netra yang membeliak senang, sampai makanan itu habis tidak tersisa. Selesai makan siang dan merapikan alat makannya yang telah dicuci bersih, Martin berencana untuk naik ke lantai dua dan bergabung bersama yang lain demi menikmat hidangan penutup sebelum memulai syuting.

Baru saja menginjak anak tangga terakhir, pintu kaca ruang makan yang dibuka lebar membuat Martin bisa mendengar percakapan Julian bersama karyawan lain secara jelas.

Bila saja itu percakapan yang biasa, Martin akan ikut bergabung tanpa repot-repot menguping. Namun, karena yang dibicarakan adalah Martha, pria itu justru menyimak dengan dada yang pedih dihantam oleh setiap kata terlontar dari lidah mereka.

“Menurut kalian, Martha bakal sukses diet dalam waktu cepet nggak?” tanya Julian, pendahulu percakapan.

“Menurut gue sih bisa-bisa aja. Toh, dia badannya pernah langsing banget sebelum nikah. Harusnya nggak susah,” balas Sigit, si jangkung yang posisinya sebagai editor video.

Tak setuju dengan ucapan Sigit, perempuan yang bekerja sebagai pembuat pertanyaan dan pencari topik podcast bernama Selly menanggapi, “Menurut gue malah bakal susah dan lama banget. Soalnya dia begitu dari pas hamil, terus setelah lahiran kelihatannya makin gede aja, tuh. Kalau berbulan-bulan nggak ngurus badan, pasti susah banget.”

Julian manggut-manggut karena ucapan Selly ada benarnya. “Gue juga mikir kayak Selly, soalnya diet dengan badan sebesar itu bakal susah sambil ngurus anak. Bagus sih Martha diet, tapi si Martin kayaknya bodo amat istrinya begitu. Gue sih ogah kalau lihat istri badannya berubah gitu.”

“Masa sih Martin gitu?” Seorang karyawan baru dan adik Julian yang bekerja sebagai penghubung dengan narasumber, Dalia, merespons karena tertarik dengan ucapan kakaknya.

“Iya,” jawab Julian semangat, memprovokasi para karyawan yang masih makan untuk ikut bereaksi heboh. “Mungkin dia udah bucin sampai buta sama penampilan istri. Tapi kalau tiba-tiba sadar dan nyari yang lain, gue nggak kaget, deh.”

“Kemungkinan besar bakal nyari lagi buat ilangin bosen,” sahut Yanuar, seorang kameramen yang biasanya pendiam, tetapi sekalinya bicara seperti orang tahu segala.

“Padahal istrinya cantik gitu, tapi nggak sayang sama badan, ya. Menurut gue walaupun gendut masih cantik, tapi emang beda dari pas masih langsing.” Dalia mendesah pelan, bicara seakan menaruh simpati tinggi pada Martha. “Sayang banget, ya, udah nggak ideal. Padahal pas pacarannya kayak couple goals banget sama Martin. Gue aja iri banget kalau lihat mereka lagi posting apa-apa di IG. Semoga bisa lihat yang begitu lagi.”

“Iya, kalau Martha udah kurus,” gurau Julian, mengundang tawa semua yang ada di ruang makan, seakan itu lelucon paling lucu yang layak menang di ajang tahunan.

Martin tidak tahan lagi, dia harus menegur secara terang-terangan meski akan berdampak pada pekerjaan yang bisa saja kacau. Biarkan Martin meluapkannya sekarang karena ucapan mereka sudah berlebihan. Sayang, ketika Martin akan melanjutkan langkah dan masuk ke ruang makan untuk melampiaskan amarah di ubun-ubun, ada panggilan masuk di ponselnya yang tertinggal di pantry.

Martin lantas turun untuk tahu siapa yang menghubunginya di waktu istirahat, tidak bisa diabaikan karena mungkin saja itu dari Martha. Saat ponsel sudah di tangan dan nama Bunda Martha tertera di layar, Martin segera menjawab panggilan dari mertuanya yang jarang menghubunginya begini.

“Martin, kamu lagi sibuk?” Suara Marni bergetar ketika akhirnya bisa bicara dengan Martin.

“Baru selesai makan siang. Kenapa Bunda?”

“Ini.” Suara Marni makin tidak keruan, membuat Martin yakin ada sesuatu yang salah hingga sang mertua butuh bantuannya. “Bunda lagi di rumah kamu dan sekarang Martha pingsan. Boleh tolong … pulang?”