Runtuhnya Martha

Martin tiba di rumah ketika Martha baru saja menyuapi Markus makan dan mengajaknya bermain di ruang keluarga, membiarkan sang putra duduk dan memainkan boneka kecilnya yang sama menggemaskannya seperti dia. Melihat Markus bermain adalah relaksasi terbaik, meski ketika Martin akhirnya mendarat di kediaman mereka, ketenangan Martha menghilang begitu saja.

“Biar aku jelasin yang kemarin.” Martin tidak mau basa-basi, menunggu waktu yang tepat hanya membuang durasi dan bisa digunakan untuk bicara hal penting.

Tanpa menatap Martin yang berdiri di samping sofa Martha bertanya, “Kamu nggak lihat aku lagi ngasuh Markus?”

Kemarin Martha diam, sekarang wanita itu mampu bicara lancar tanpa ramah tamah seperti yang biasa ditunjukkan. Hasil kesalahpahaman kecil berdampak besar dan Martin makin tidak mau menunggu lama untuk menjelaskan semuanya.

Martin raih Markus ke gendongannya, membawa sang tunggal ke kamar dan dibiarkan sendiri di ranjang yang memiliki pembatas cukup tinggi hingga dia tidak akan bisa kabur. Setidaknya untuk beberapa saat sampai Martin dan Martha menuntaskan salah paham mereka.

Setelah memastikan Markus aman di kamar, Martin keluar dan menemukan Martha yang tiba-tiba sibuk di dapur. Sudah mengeluarkan tiga wortel dan memotongnya di atas cutting board.

“Duduk dulu. Biar aku siapin makan,” ujar Martha yang sadar Martin berada di dekatnya.

“Aku mau ngomongin soal yang tadi, Martha. Tolong jangan menghindar, biar kamu nggak makin salah paham.”

“Makan dulu, baru kita ngobrol.”

Martin menggeleng, menunda bukan pilihan yang baik. “Aku mau sekarang, Martha. Soalnya kemarin itu aku nggak serius ngetawain kamu.”

Martha meletakkan pisau di atas cutting board dengan keras, menimbulkan suara nyaring yang sedikit membuat Martin tersentak. Martha embuskan napas pelan, mengumpulkan secuil nyali untuk menghadapi kenyataan semalam yang paling membunuh jiwanya. Akhirnya Martha berbalik, menghadap Martin yang sudah tidak sabar untuk memberikan penjelasan sebelum sang istri makin jauh memahami ulahnya.

“Kalau nggak serius, apa harus sampai ketawa dua kali sekeras itu di depan temen-temen kamu?” Martha menyerang sebelum Martin sempat bicara lagi. “Aku bisa terima dipermaluin gitu sama orang-orang, videonya kesebar di sosmed pun aku nggak masalah, tapi ketawanya kamu jadi yang paling nyakitin, Martin. Aku ngomong kayak semalam bukan karena mereka aja, tapi kamu juga.”

“Makanya izinin aku jelasin dulu, Martha,” geram Martin seraya mencengkeram pundak Martha, berharap istrinya mau bungkam setelah diberi ketegasan.

Martha akhirnya mengangguk, meski sebenarnya enggan mendengar apa pun hari ini karena jiwanya sudah remuk. Setelah memastikan istrinya tidak akan memotong ucapan ataupun tindakan Martin sampai dia bisa menjelaskan secara tuntas, barulah pria itu bicara.

“Aku nggak tahu kamu denger sebanyak apa, tapi reaksi yang begini bikin aku yakin kamu nggak denger omongan aku selanjutnya. Aku ketawa bukan karena setuju sama omongan yang lain, tapi aku ngeledek mereka yang udah ngeledek kamu, Martha. Setelah itu aku negur mereka, kok. Aku nggak ada maksud buat ikut ngetawain kamu. Beneran.”

“Tapi kenapa harus sambil ketawa?” tanya Martha sarkastis. “Dengan ketawa itu bikin mereka ngira kamu setuju, bahkan Julian aja mikir gitu, kok. Aku pun yang denger nggak kepikiran kamu bakal ngebela, soalnya kamu kedengeran puas banget kayak dapet kesempatan buat ngetawain aku di belakang. Oh, terus gaunnya,” Martha memulai topik yang lebih jauh, “apa kamu sengaja ngasih aku gaun kayak gitu biar diketawain orang-orang? Gaun itu nggak bagus di badan aku, tapi aku tetep maksa pake karena coba ngehargain kamu!”

“Itu bukan gaun yang aku kasih, Martha!”

Pasangan itu saling meninggikan intonasi bicara, tidak ada ketenangan di balik perdebatan mereka karena terlalu lelah dengan masalah yang tidak kunjung usai.

“Gaun itu ditukar sama Dalia. Dia pasti lihat hadiah yang aku simpan dulu di studio, terus dia tukar waktu ada kesempatan. Desainnya beneran beda sama yang aku beli. Aku juga baru tahu hari ini, Martha. Seandainya aja kamu ngasih lihat gaunnya, aku pasti tahu dari awal.”

“Oh, oke! Itu salah aku karena nggak nunjukin gaunnya ke kamu buat make sure itu emang sesuai sama yang kamu beli.”

Martha berjalan menjauhi dapur. Ada banyak benda tajam di sana yang tidak boleh didekati untuk kondisinya saat ini. Martin mengekor, tidak membiarkan Martha menggantungkan percakapan yang belum usai.

“Itu salah aku,” aku Martin saat mereka tiba di ruang keluarga, berdiri berhadapan untuk melanjutkan perdebatan. “Aku nggak cek dulu gaunnya dan langsung kirim karena nggak kepikiran bakal ada yang nukar. I’m sorry.”

Martha menyeringai, kondisinya kian kacau mendengar permintaan maaf yang tidak diperlukan. “Kamu nggak usah minta maaf, itu sekarang percuma. Udah telanjur kejadian,” tutur Martha yang tenaganya tiba-tiba menipis. “Sekarang biar aku tanya. Apa pernah … sekali aja, kamu nggak suka sama penampilan aku yang sekarang? Jujur, biar aku nggak kepikiran ketawa kamu lagi.”

Martin ambil satu langkah mendekat seraya berkata, “Aku nggak pernah ngerasain itu, Martha. Aku suka kamu apa adanya, beneran. Semua pujian aku ke kamu itu tulus, nggak semata-mata mau bikin kamu jadi percaya diri, tapi emang itu yang aku pikirin setiap lihat kamu.”

Martin bersungguh-sungguh atas ucapannya, tidak ada ragu ataupun dusta yang tersirat di matanya, menandakan bahwa Martin tidak pernah memandang keadaan Martha sekarang sebagai kekurangan yang harus ditutupi. Alih-alih senang, Martha tetap gagal diselamatkan dari kejatuhan terdalamnya. Dia tetap terjebak di lubang kesakitan paling dalam yang Martin sendiri tidak pernah tahu sejak kapan Martha berada di sana.

“Kamu selalu ngomong manis, bahkan saat keadaannya lagi gini.” Martha gigit bibir bawahnya, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pandangan dan menyelipkannya di belakang telinga. “Tapi jujur, ucapan manis kamu itu udah nggak pernah mempan di aku lagi beberapa waktu terakhir ini, Martin. Setiap kamu muji, aku nggak ngerasa itu pujian yang layak aku terima. Aku nggak pernah baik-baik aja, tapi berusaha kayak orang paling cuek sedunia setiap di depan kamu. Aku lebih sering nangis sendirian daripada ketawa sama kamu, bahkan kadang kepikiran buat berhenti hidup aja daripada jalanin semuanya pake topeng yang sekarang udah nggak tahu ke mana.”

Martha terisak, kali ini membiarkan tirta membasahi pipi tiada henti. Sesekali menengadah demi mengumpulkan suaranya lagi, tidak mau membuat dusta soal kondisinya yang telah hancur berkeping-keping. Martin justru membeku, merasa buta karena tidak pernah tahu kondisi Martha yang sesungguhnya.

Setiap wanita itu berkata baik-baik saja, Martin akan langsung percaya lalu pergi seakan semuanya akan berlalu dengan cepat. Realitasnya, Martha makin dirusak oleh ucapan orang-orang yang tidak bersimpati padanya.

“Aku pasti berubah, aku udah nyusun rencana supaya bisa kayak dulu, tapi kenapa … kenapa orang-orang nuntut aku buat cepet-cepet? Kenapa mereka nggak bisa sabar? Sebenernya aku ada salah apa sama orang-orang sampai mereka ngomong sejelek itu? Kalau ada salah bisa ngomong, biar aku minta maaf satu-satu ke mereka. Sekarang aku yakin mau kayak dulu juga udah percuma, orang-orang udah telanjur lihat jeleknya. Bagi mereka aku bukan orang lagi, aku cuma bahan lawakan yang pantes diketawain.”

Martha tak sanggup lagi berdiri, hingga dia biarkan tubuh kuyunya jatuh ke lantai sebagai satu-satunya sandaran tempat dia biasa berlinang air mata. Martin perlahan mendekat, menyadari kesalahan fatal bahwa dia tidak mengenal Martha sedalam yang dikira.

Martha tetap terjebak di relung luka, sedangkan Martin masih berada di atas tanpa tahu harus menyelamatkan cintanya. Martin turut duduk di lantai, meraih Martha dan menguncinya dalam kurungan rengkuh yang dibutuhkan. Tidak apa-apa bila bajunya harus basah, selagi Martha bisa menuntaskan segala duka.

Kondisi Martha sekarang adalah bukti nyata bahwa lidah dan jari manusia adalah senjata paling mematikan yang membunuh secara perlahan. Menjauhkan jiwa dari keindahan dunianya, membiarkan derita terus menariknya agar terjebak makin lama tanpa tahu kapan selamat.

Tidak ada kesalahan yang Martha perbuat hingga dia harus meminta maaf pada kejamnya manusia. Justru seharusnya orang-orang pemberi luka itulah yang menunduk dan mengucap maaf secara tulus telah melukai Martha.

Runtuhnya Martha membuktikan bahwa membenci seseorang tidak membutuhkan alasan yang kuat, tetapi dampak kebencian itu amat besar hingga korban memiliki alasan yang banyak untuk menyerah.

Runtuhnya Martha adalah bukti nyata bahwa Martin telah gagal melindungi dari malapetaka, justru menjadi salah satu petaka yang makin menjauhkan sang istri darinya.

Runtuhnya Martha adalah bukti jika manusia bisa lebih kejam dari makhluk apa pun dan dapat membunuh tanpa perlu menusuk langsung, cukup dengan satu kata yang buruk, sudah mampu menancapkan banyak luka yang tidak mampu dihitung.

Rumah yang sejatinya ramah kini jadi sumber kesusahan. Keluarga yang mencari bahagia malah menemukan siksaan. Sumpah Martin untuk membalas semua derita Martha pada sumbernya harus segera terlaksana, selagi dia melindungi keluarganya dari mara bahaya lain sebelum menyerah itu nyata.