Sadar Diri
Sidang pertama berjalan tanpa hambatan, tetapi tidak ramah bagi Martha yang untuk pertama kalinya tampil di muka publik, di salah satu tempat paling sakral untuk menyaksikan para pelaku kejahatan yang mengorbankannya mendapatkan balasan setimpal. Martha duduk di bangku paling depan, memangku tangan di atas pahanya ketika mendengar orang-orang di ruang sidang bicara satu per satu.
Jujur, Martha tidak menyimak dengan baik karena fokusnya seakan ditarik jauh dari realitas, tidak memberinya kesempatan untuk bernapas lega akibat terlalu banyak orang yang memperhatikan. Pelaku yang bertindak paling parah—khususnya Dalia—boleh saja sudah di tangan para ahli hukum, tetapi kekhawatiran akan komentar negatif terkait dirinya tidak hilang hingga detik ini.
Martin di samping Martha beberapa kali melirik, memastikan kondisi istrinya stabil, tidak tiba-tiba jatuh akibat rasa takut yang menghampiri. Begitu sadar ada yang mulai tidak beres, Martin akan mengelus punggung Martha atau menggenggam tangannya erat untuk memberikan ketenangan sampai sidang selesai.
Upaya itu berhasil, karena buktinya Martha akan kembali relaks berkat lindungan pria yang menjadi penjaga terbaik. Martha tidak menghitung berapa lama sidang berlangsung, tetapi dia bersumpah itu adalah momen terlama dalam sejarah hidupnya, lebih lama dibandingkan ketika dia melakukan persalinan pertama setahun lalu.
Ketika akhirnya yang hadir dibubarkan dan para terdakwa dibawa untuk menunggu sidang kedua, Martha yang hampir mencapai pintu ditarik secara kasar oleh seseorang di bagian tangan, menyebabkan dia lepas dari jangkauan Martin yang menjaganya sebelum berhadapan dengan kerumunan awak media di luar.
Martha syok, makin menggigil ketika berhadapan dengan Dalia yang wajahnya merah padam penuh amarah, ekspresinya menggelap akibat tidak menerima dia berada dalam keadaan terpuruk sedangkan Martha bisa menikmati hidup bersama yang Dalia kagum.
“Lo harus bebasin gue, Martha!” hardik Dalia sembari menarik kerah baju Martha. Dalia sudah mengenakan borgol dan ditarik oleh dua petugas, tetapi tenaganya yang maksimal membuat siapa pun tidak bisa mengalahkan gadis itu. “Lo harus bebasin gue atau nggak hidup damai!”
Martin berusaha menarik lepas tangan Dalia dari kerah baju Martha. Adegan itu ditonton oleh awak media yang sudah menanti di luar ruang sidang saat pintu terbuka. Semuanya berbondong-bondong mengambil gambar untuk dijadikan topik hangat, menyorot wajah Dalia dan Martha bergantian sebagai dua tokoh utama di sana.
Entah keberanian dan tenaga dari mana, Martha berhasil menyingkirkan tangan Dalia hingga gadis itu terhuyung mundur akibat hilang keseimbangan. Takut ditambah nyali yang terisi penuh menciptakan energi besar, memberanikan Martha untuk bicara blak-blakan sebagai penutup hari yang melelahkan.
“Selama ini aku juga nggak pernah hidup damai karena ulah kamu dan yang lain, Dalia!” Martha meninggikan intonasi bicaranya, menyunyikan riuhnya kerumunan demi mendengar perlawanan Martha secara jelas. “Mungkin nggak akan pernah tenang walaupun kamu udah tinggal di tempat lain. Kamu di sini bukan karena kemauan aku pribadi, nggak akan bisa balikin aku dalam keadaan baik kayak dulu, tapi minimal bikin kamu sadar bahwa kelakuan kamu itu salah! Bebas atau nggak, aku bakal tetep takut sama orang banyak. Jadi, jangan nuntut aku untuk cabut apa pun yang terkait sama kamu sebelum kamu sendiri mau sadar.”
Napas Martha tersengal-sengal, tetapi puas bisa membuat Dalia kalah telak dengan kalimat singkat yang mewakili seluruh rasa. Tentu, dampak lain adalah Martha kehilangan energi sangat cepat, membuat dia harus mencari pegangan dan Martin adalah satu-satunya yang tersedia. Dalia yang masih bergeming akibat tertohok tidak dapat menolak ketika petugas membawanya menjauh, tentu diawasi oleh Julian dan orang tuanya yang kini tidak bisa menjangkau putri bungsu itu secara sembarang karena dalam penjagaan ketat.
Sebelum hilang dari jangkauan mata, Julian bisa melihat setetes kristal bening yang mengalir dari mata Dalia, menciptakan ngilu di dada karena sang kakak tidak dapat melindungi adiknya dari ancaman. Dalia boleh menyebalkan, boleh membuat Julian muak, boleh pula bersalah, tetapi hati Julian sebagai kakak tidak berbohong jika sebenarnya dia iba.
Sayang, Julian tidak mau mengulurkan bantuan terlalu banyak agar Dalia menyadari perbuatannya yang berdampak buruk pada seseorang.
Di luar ruang sidang, Martin dan Martha dikerumuni oleh awak media yang meminta pernyataan, khususnya terkait drama kecil yang baru saja terjadi dan menjadi tontonan terbaik untuk dibahas. Martha tentu diam, sedangkan Martin berusaha merangkul istrinya dan meminta awak media untuk menyingkir agar memberi jalan.
Kendati demikian, Martha bisa lebih percaya diri karena merasa lega setelah menumpahkan sedikit beban pada Dalia, setelah sebelumnya gagal akibat hampir diserang oleh sang pelaku yang hilang kendali. Ditambah banyak awak media yang ada di pihak Martha, berhasil membangkitkan kembali semangat yang sempat sirna karena terpuruk dalam luka.
Martha sesekali tersenyum meski hanya bertahan satu detik, tetapi itu sudah cukup menandakan bahwa sang puan mulai merangkak naik untuk menemukan arti hidupnya lagi.