Sahutan Hati

Hampir 1,5k kata. Enjoy ^^


Soal perasaan masih menjadi misteri Tuhan yang tidak pernah bisa diduga oleh manusia. Ketika orang bilang bahwa Tuhan Maha Membolak-balikan perasaan hamba-Nya, maka itu benar adanya. Pasalnya apa yang dikatakan oleh banyak orang tengah dialami oleh Ardania Eila Mahadarsa. Seorang wanita yang sedang tidak mengharapkan cinta setelah gagal beberapa kali, lalu dipertemukan dengan pria luar biasa yang baginya hanya pria dalam mimpi, tapi siapa sangka Eila malah jatuh hati, dan kini malah ingin memiliki.

Sesungguhnya saat Eila sudah menjatuhkan pilihan untuk membiarkan perasaannya mekar untuk Jibran, dia tidak pernah berharap sang pria akan membalas. Namun, kala Jibran mengaku bahwa dia memiliki perasaan yang sama, bahkan jauh sebelum Eila memilikinya, sang puan tak mau begini saja. Lisannya saat itu boleh hanya mengucapkan terima kasih, tapi hatinya mengatakan aksara lain yang hanya diketahui oleh dia dan Tuhan.

Saat itu, relung hatinya berkata bahwa ia menginginkan Jibran untuk menjadi miliknya seorang. Tanpa peduli apa status Jibran dan apa anggapan orang-orang terhadap Eila. Pasalnya sejak dulu, ketika Eila menyukai seseorang dan orang itu menyukainya juga, maka saat itulah harapan untuk memiliki muncul dan pasti Eila akan bersama orang yang dia suka.

Namun, kasus kali ini berbeda, karena Jibran bukan orang sembarangan yang bisa Eila harapkan tanpa pertimbangan panjang. Jibran seorang selebritas, memiliki nama besar yang tidak bisa disepelekan, ada banyak orang yang mengaguminya dan berharap bisa menjadi Hawa yang beruntung karena dicintai sang Adam, ditambah lagi katanya Jibran sudah dijodohkan.

Beberapa hal itu menjadi pertimbangan penting jika Eila ingin mengaku bahwa dia juga menyukai Jibran, apalagi sampai memberi tahu keinginannya soal memiliki sang pria.

Ini baru pukul 7 malam, tapi Eila sudah berada di kamarnya yang hanya diterangi lampu tumblr berwarna gold yang melintang di dinding kamar membentu namanya. Eila duduk sembari memeluk lututnya, sedangkan tangan dan netranya fokus pada ponsel. Eila membuka Twitter, salah satu media sosial yang sering ia gunakan. Selain untuk bercuit di akun pribadi sebagai tempat pelampiasan hati, Eila juga mempromosikan usahanya di sana yang sedang berkembang berkat bantuan Jibran.

Di timeline-nya sekarang, sedang ramai soal audisi untuk film terbaru Jibran yang sudah berlangsung tiga hari lalu. Foto-foto Jibran saat proses audisi pun tersebar luas, baik dari penggemar sampai media online. Semua kolom reply dan QRT dipenuhi oleh komentar penggemar serta penonton yang tak sabar dengan film terbaru dari sang aktor laga.

Eila membaca balasan pada salah satu akun berita online yang mengunggah berita soal audisi. Senyumnya tak bisa ditahan karena Eila senang banyak yang merespons baik film Perfect Wife sejak masih proses awal. Eila juga bangga, karena orang-orang akan melihat akting terbaik Jibran di film genre romansa pertamanya. Jibran masih dalam masa latihan, tapi perkembangan pesat sudah ditunjukkan dan Eila yakin hasilnya akan sangat luar biasa.

Senyum Eila perlahan memudar ketika membaca beberapa balasan yang komentarnya kurang enak kala dibaca. Bukan komentar miring soal filmnya, tapi soal siapa yang akan berperan dengan Jibran.

Gue berdoa semoga Jibran gak cinlok! Gue gak rela, ya!

Gue udah lama ikutin Jibran dan nonton semua filmnya. Sekarang dia main film romantis tuh kayak ada nggak relanya. Sori kalau lebay, tapi gue nggak siap lihat dia pegangan, pelukan, apalagi ciuman sama cewek lain.

Belum apa-apa, udah mau bejek-bejek lawan mainnya Jibran aja!!!!!!!

Semoga Jibran kagak cinlok sama pemainnya. Gue belum rela lihat dia pacaran. Banyak juga fans Jibran yang belum rela dia pacaran. Pokoknya jangan!!!!!

Komentar terakhir mendapat seribu like, 675 retweet, dan QRT sebanyak 350 yang mayoritas menyetujui komentar tersebut. Akibatnya Eila terpengaruh, karena artinya banyak penggemar yang tidak merestui bila Jibran berkencan dengan seseorang. Eila menjatuhkan ponselnya begitu saja karena tak mampu membaca lebih banyak komentar buruk soal Jibran.

Apa yang dikhawatirkan memang belum terjadi, tapi Eila tetap merasa ngeri membaca pembahasan miring terkait sesuatu yang akan Jibran alami di masa mendatang. Namun, kengerian itu juga berdampak pada keinginan Eila untuk mengikuti hatinya agar mengaku suka dan memiliki Jibran. Bukan saja demi memenuhi hati yang ingin diisi, tapi demi melindungi sosok yang berarti. Sayang, Eila tak bernyali. Karena jika nantinya kabar Jibran dan dirinya terendus massa, maka Jibran bisa kena getahnya berupa ulasan negatif soal dirinya.

Ada ngilu yang menghambur ke seluruh tubuh dan gagal membuatnya kukuh. Debar jantungnya berdebar hebat, antara mencari balasan cinta serta ketakutan ketika mendapatkannya. Tak mampu menahan diri seperti biasa, Eila kembali raih ponselnya dan menghubungi seseorang yang bisa membuatnya tenang.

Eila tempelkan ponsel di telinga, sedangkan sebelah tangannya masih memeluk lututnya yang mulai bergetar. Saat panggilan akhirnya tersambung, Eila lantas bersuara.

“Kak,” panggilnya, “kamu di rumah?”

Ya, Eila menghubungi kakaknya, Trian. Laki-laki menyebalkan, tapi anehnya bisa menenangkan Eila di situasi begini kala dibutuhkan.

“Iya, aku di rumah. Kenapa, Dek?”

“Aku mau jujur soal sesuatu. Boleh?”

“Silakan aja. Aku dengerin sampai tuntas.”

Jika Trian sudah bicara begitu, maka dia pasti akan mendengarkan tanpa menyanggah atau mengomentari hal yang tidak perlu. Lantas ketika Eila sudah diberikan lampu hijau untuk bicara, ia mempersiapkan runtunan kata yang telah dihimpun di ujung lidah dan ingin segera dilepaskan.

“Kamu ingat waktu aku bilang udah suka sama Jibran? Terus waktu Jibran tiba-tiba confess, aku bilang pengen banget milikin dia? Itu … nggak bercanda, Kak. Aku mau banget sama Jibran, aku mau kami saling memiliki karena punya perasaan yang sama, aku mau kami bisa berdampingan sebagai pasangan, bukan partner biasa. Tapi waktu Jibran bilang suka, aku nggak berani ngaku karena ada banyak pertimbangan dan akhirnya aku gagal bilang. Selain aku ngerasa nggak sepadan sama Jibran, dia juga punya karier yang harus dipertahankan, punya penggemar yang bisa aja patah hati atau marah dan nyalahin Jibran kalau aku sama dia. Ini—tunggu! Kenapa aku harus nangis, sih?”

Eila tak mampu menahan genangan air yang telah menumpuk di pelupuk, yang akhirnya runtuh jua tanpa bisa ditampung. Tidak ingin menutupi apa pun, Eila biarkan hati menyuarakan rintihan dengan lantang. Sembari lisannya mempersiapkan aksara untuk kembali bicara.

Eila menyeka air matanya yang membasahi pipi, tapi percuma saja karena genangannya tak kunjung berhenti. Belum juga memiliki, tapi patah hatinya sudah begini. Padahal perasaan Jibran dan Eila tidak bertepuk sebelah tangan, tapi salah satu di antara mereka memilih diam tanpa mau bertepuk tangan.

“Ternyata bener kata kamu, Kak …,” isak Eila susah payah, “dalam situasi aku sama Jibran, pasti ada perasaan yang tumbuh. Saat aku ngerasain itu, aku nggak mampu nahan diri dan biarin mekar gitu aja. Sekarang aku harus patah hati, padahal bukan siapa-siapanya Jibran. Aku bisa aja cuekin penggemar Jibran, nggak akan cemburu lihat dia akting sama aktris lain karena itu hanya kerja, dan cuekin fakta kalau dia aktor karena aku nggak pernah mandang dia sebagai orang terkenal, tapi sebagai laki-laki biasa yang pengen aku miliki. Sayangnya setelah dipikir-pikir lagi, aku nggak bisa buang fakta itu gitu aja karena Jibran yang bakal lebih banyak ruginya. Belum lagi … Jibran mau dijodohin, yang berarti kesempatan aku sama dia sedikit banget.

“Ini … aku ngaku sama kamu aja ya, Kak.” Eila meluruskan kakinya ketika mengingat bagian penting yang menjadi alasan terbesarnya tidak bisa menerima Jibran. Tumpuan dari seseorang yang membuat Eila tak berani bertindak banyak. “Mamanya Jibran … chat aku dan nyuruh buat jaga jarak. Beliau nggak larang aku buat suka sama dia, tapi aku tahu beliau nggak akan kasih satu pun restu kalau aku sama Jibran. Makanya aku nggak berani ngaku, padahal aku mau banget luapin semuanya juga biar Jibran tahu perasaan aku, tapi semua itu percuma aja karena aku sama Jibran nggak akan berakhir bahagia. Iya, ‘kan …?”

Trian tidak menjawab, tapi Eila tidak masalah dengan hal itu karena untuk saat ini dia hanya ingin didengarkan agar muntahan kata di benak bisa tuntas. Eila boleh saja lega, tapi tangisnya makin tak bisa ditahan. Segalanya jadi kacau seakan hatinya diobrak-abrik tak keruan oleh takdir yang mengikat.

Kali ini Eila meluapkan perasaannya dengan air mata dan rintihan yang memilukan, berharap segala kesusahan hatinya bisa terurai bersama dengan alirannya. Tidak apa-apa hanya sesaat, asalkan Eila bisa kembali muncul di depan Jibran dengan kondisi yang sama, tanpa patahan hati yang telanjur sulit merekat.

“Kak, aku nggak bisa gitu aja hilangin perasaan ke Jibran. Jadi, boleh aku tetap suka sama dia? Aku janji nggak akan bilang ke dia.”

“Itu terserah kamu, Eila. Kalau kamu bisa nahan semuanya, aku nggak akan larang walaupun banyak khawatirnya.”

Eila tersenyum, meski hanya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya kembali memudar. Ada jeda cukup lama karena Trian membiarkan Eila menangis lagi untuk menumpahkan sisa-sisa kesedihannya. Sekitar lima menit berjalan dan tangis Eila mereda, ada suara lain yang menyahut di seberang sana, membuat sang puan membeku hingga pegangan pada ponselnya menguat.

“Eila, apa mau aku ke sana dan tenangin kamu?”

“Jibran …?”