Sandiwara Kecil

Martha terkikik geli membaca rangkaian pesan yang Martin kirim pada Dalia—adik Julian—atas nama dirinya. Dalia langsung bicara formal di pesan itu setelah Martin memberi tahu bahwa Martha yang membalas pesannya, sedangkan pria itu dikatakan telah tidur.
Nyatanya sekarang Martin dan Martha tengah berbaring di tempat tidur, lalu di antara mereka ada Markus yang sedang bermain dengan boneka kecilnya, masih terjaga dan membuat orang tuanya ikut membuka mata sampai putra tunggal mereka tidur.
Martin tidak membalas pesan terakhir Dalia, menganggapnya sebagai final percakapan mereka yang tidak perlu diperpanjang. Martin lantas letakkan ponselnya di atas nakas, lalu berbaring miring agar bisa ikut bermain dengan Markus yang masih anteng seorang diri. Beginilah Markus. Siang rewel, malamnya kadang sulit tidur.
“Kenapa harus bawa-bawa nama aku, sih?” tanya Martha heran. “Entar Dalia mikir yang aneh-aneh soal aku.”
“Enggak akan, Sayang. Paling Dalia mikir istrinya Martin tegas banget, jadi takut buat godain.”
Martha membeliak. “Dia suka godain kamu?”
Martin menggeleng pelan. “Enggak, tapi aku tetep sebel sama dia. Soalnya waktu itu dia ngatain kamu juga, tapi caranya pake muji gitu, lho. Manis banget, padahal sebenernya ngeledek. Udah gitu dia kalau nanya apa-apa ke aku terus, padahal bisa ke Julian yang lebih banyak tahu. Enggak tahu, ya, tapi aku ngerasa dia kayak kurang profesional kalau lagi deket aku. Terus selalu muji ganteng, aku ‘kan jadi geli.”
Martha spontan terbahak mendengar keluhan Martin, sedikit mengejutkan Markus hingga boneka di tangannya terlepas yang segera sang mama kembalikan pada pemiliknya. Itu adalah fenomena teraneh yang pernah Martha dengar, karena sepanjang mengenal Martin, pria itu pasti akan senang ketika ada yang memujinya tampan atau menggemaskan.
“Tumben banget kamu geli dibilang ganteng. Kan biasanya juga dipuji terus sama penggemar kamu.”
Markus berdalih, “Kalau mujinya di IG, Twitter, atau komen YouTube aku nggak geli. Ini ‘kan langsung gitu mujinya.”
“Tapi kamu juga pernah dipuji langsung dan nggak geli, tuh. Malah bilang makasih kayak biasa.”
“Itu ‘kan beneran nge-fans dan biasanya dipuji langsung kalau lagi ada acara apa gitu, jadi pujiannya bisa aku terima. Nah, kalau Dalia mujinya pas aku kerja dan harusnya ‘kan paham itu nggak profesional. Tim di studio yang cewek nggak cuma dia, tapi dia doang yang demen muji aku sampai kayak gitu. Makanya aku nggak suka, kayak nggak inget aku udah punya istri.”
Alasan itu sangat masuk akal karena tidak semua pujian di waktu sembarangan bisa membuat Martin senang. Bila Martha mendengar langsung ketika Dalia memuji suaminya, wanita itu pasti akan ikut marah dan menegur karena tindakan adik Julian sangat tidak sopan.
Well, beruntunglah Dalia tidak berhadapan langsung dengan Martha ketika momen itu terjadi. Bila sampai terjadi, Martha tidak akan bertanggung jawab atas apa yang menimpa Dalia karena sudah menggoda suaminya.
“Aku juga pura-pura jadi kamu karena males ladenin chat Dalia di luar jam kerja. Kalau sama yang cowok aku masih oke, tapi kalau sama yang perempuan tuh males. Baru pertama nih dia tim perempuan yang chat aku jam segini, padahal dia bisa bilang ke kakaknya aja. Kan yang suka usulin narasumber itu Julian, bukan aku.”
Diam-diam Martha ikut kesal karena ulah Dalia mengganggu ketenangan Martin yang jelas tidak suka dengan caranya bekerja. Mau menegur, Martha bukan siapa-siapa di studio itu. Menegur pun atas alasan apa? Dalia menggoda suaminya? Alasan yang terlalu dangkal, apalagi bila hanya berasal dari lisan Martin saja.
Jika Martha menyaksikan langsung, dia pasti akan menegur secara terang-terangan. Bukan semata-mata tidak suka, tetapi memikirkan Martin yang tidak nyaman akibat ulahnya.
“Yaudah, sekarang kamu istirahat. Nanti kalau Dalia chat lagi, aku beneran yang bales,” titah Martha, di saat bersamaan baru sadar Markus akhirnya terlelap berkat mendengarkan ocehan orang tuanya.
“Aku nggak akan kegoda cewek lain, Martha,” ucap Martin saat Martha sudah duduk dan bersiap memindahkan Markus ke tempatnya.
Martin turut bangkit, merapatkan posisinya pada Martha yang sudah membawa Markus di pangkuannya. Pria itu raih dagu Martha, menyatukan birai mereka dan membagikan sebuah ciuman lembut yang penuh kasih tanpa pamrih. Martin tarik wajahnya dengan enggan, tetapi begitu rapat dirasa dengan Martha yang masih terbuai dalam ciuman singkat mereka.
“Mau kamu kayak gimanapun, aku tetep buat kamu. Jangan terpengaruh omongan orang lagi, oke?”